Minggu lalu saya melancong lagi ke kolong jembatan Kampung Melayu, menemui teman-teman cilik di sana. Kalo rute nge-gowes saya biasa ke tempat elit (Sudirman, Thamrin, dan sekitar), di Minggu pagi kali ini, saya membelokkan diri ke arah pemukiman "kumuh".
Menyenangkan sekali ketemu lagi teman-teman cilik. Oleh karena kebetulan saya membawa sepeda lipat (seli), mereka saya pinjamkan. Ternyata hampir semua anak di situ belum bisa naik sepeda. Ya, maklumlah, darimana duit beli sepeda? Wong penghasilan rata-rata Bapak di situ paling besar Rp 300 ribu per bulan. Mending beli makan atau kebutuhan pokok yang lain ketimbang beli sepeda, ya nggak?
Teman-teman cilik saya ini cuma butuh kasih sayang. Lihatlah, mereka begitu manja dengan saya. Padahal belum juga lama kenal. Saya kayak Om yang sudah lama mereka kenal, sehingga tanpa canggung-canggung lagi mereka bergaya ketika saya minta teman saya mengabadikan kami.
Sambil teman-teman cilik main, saya menyempatkan diri ngobrol dengan Bang Kodok. Pria yang saya ajak ngobrol ini termasuk preman di kolong jembatan Kampung Melayu. Dia sih menyebut diri sebagai keamanan, tetapi saya tahu dia adalah penguasa di situ.
"Setiap ada orang yang masuk ke kolong sini, pasti saya harus kenal asal muasalnya," jelas Bang Kodok. "Saya nggak ingin daerah kolong ini jadi tempat pelarian para perampok, pembunuh, atau jadi lokasi judi."
Memang, kata Bang Kodok, dahulu pada saat di bawah kolong jembatan masih difungsikan sebagai pasar, banyak orang yang menempati. Orang-orang itu dari berbagai kelompok. Ada kelompok Padang (maksudnya orang yang berasal dari kota Padang), kelompok Medan, kelompok Ambon, kelompok Surabaya, maupun kelompok lain.
Itu baru kelompok, belum aktivitas masing-masing kelompok itu yang macam-macam. Ada penjudi, pemabuk, perampok bahkan pembunuh. Itulah yang membuat kolong jembatan Kampung Melayu sempat dianggap rawan dan dicap negatif.
"Tapi sejak kolong ini ditutup, nggak ada lagi kelompok-kelompokan," aku Bang Kodok. "Dan saya bertugas menjadi keamanan.
Bang Kodok akui, pernah ada kelompok yang mencoba menguasai kolong, tetapi Alhamdulillah bisa dicegah. Caranya? Kalo ada salah satu kelompok dari daerah tertentu masuk ke kolong, Bang Kodok akan minta bantuan dari preman dari daerah yang sama. Preman itu coba ngasih pengertian kelompok itu, bahwa kolong jembatan bukan tempat buat kabur dari aktivitas negatif. Dengan begitu, kini kolong jembatan memang cukup steril dari para penjahat atau kelompok-kelompok yang berprofesi negatif.
Terus terang ketika saya pantau, apa yang dikatakan Bang Kodok benar. Saya nggak melihat orang-orang yang mencurigakan buat diindentifikasikan sebagai penjahat. Itu pula yang barangkali menyebabkan anak-anak yang tinggal di kolong cukup sopan buat ukuran orang miskin. Beda dengan anak-anak miskin lain yang saya juga biasa temui, ketika lingkungannya keras dan kasar, maka secara psikologi anak-anak terpengaruh dengan karakter jiwanya.
Begitu saya pamit dan langsung naik sepeda buat nge-gowes pulang, teman-teman cilik ini mengantar saya sampai ke jalan. Ada wajah sedih ketika saya ingin tinggal. Saya mencoba membuat mereka tersenyum lagi dengan cara memfoto mereka. Hasilnya? Mereka pun bergaya kayak di foto yang Anda lihat ini.
"Yang sekarang jadi musuh orang-orang kolong sini ya Tramtib," jelas Bang Kodok. "Mereka seringkali mengusir kami tanpa alasan yang jelas. Bilangnya selalu, instruksi dari atas. Kalo kami yang hidup di sini nggak melakukan tindak kriminal dan merugikan orang, masa nggak dibiarkan hidup?"
Memang susah juga menjawab pertanyaan Bang Kodok ini. Susahnya, di satu pihak Tramtib itu memang punya tugas dari atasan buat membasmi orang-orang miskin yang tempat tinggalnya nggak jelas. Di lain pihak, Bang Kodok dan keluarga-keluarga yang ada di kolong jembatan juga punya hak hidup. Barangkali salah satu solusi yang netral, Pemerintah Daerah (Pemda) melokalisasikan mereka di suatu tempat, tetapi secara ekonomi menguntungkan buat mereka juga.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar