Jumat, 19 Maret 2010

“DIA PENGEN NYIKSA SAYA KALI!”

Kalo saja tidak mengintip dari balik pagar kayu, barangkali saya tidak akan pernah tahu kalo di tengah pepohonan itu ada sebuah rumah tua. Maklumlah, lokasi rumah tua ini dikelilingi oleh pohon pisang, pohon singkong, maupun beberapa jenis pohon lain.

Barangkali kalo rumah itu itu berada di sebuah pedesaan, masih masuk akal. Rimbun pohon yang mengelilingi rumah menjadi hal yang lumrah. Tapi kalo Anda berpikir rumah yang saya maksud ini adalah sebuah rumah di salah satu desa atau kaki gunung di Indonesia, Anda salah besar! Percaya tak percaya, lokasi rumah tua ini ini tepat berada di samping gedung Menara Jamsostek di jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

”Saya sudah tinggal di sini seja tahun 1975,” ujar ibu Endang Rekno Besane Sutarti Sepuluh yang sejak married berganti nama menjadi Tumiyem atau biasa disapa bu Iyem ini. ”Rumah dan tanah ini bukan milik saya. Saya cuma ngejagain aja.”












Di balik pepohonan pisang yang ada di tanah yang luas yang ada di samping Menara Jamsostek dan gedung Tifa, Gatot Subtoto itu terdapat sebuah rumah yang ditempati oleh seorang janda. Namanya ibu Iyem.

Tanah yang sejak 35 tahun ditempati oleh ibu Iyem ini adalah salah seorang pensiunan dari Kejaksaan Agung. Beliau tinggal di Bantul, Yogyakarta. Menurut ibu Iyem, awal-awalnya ia baik sekali. Hampir tiap tahun, datang berkunjung ke rumah di jalan Gatot Subroto ini. Lambat laun, si pemilik tanah mulai jarang datang.

”Bahkan tiga tahun terakhir ini nggak pernah datang lagi,” kata ibu Iyem. ”Mungkin dia pengen nyiksa saya kali!”


JUALAN GADO-GADO

Ibu Iyem mengganggap, sikap pemilik tanah yang membiarkan Ibu Iyem hidup sendirian di rumah itu adalah sebuah bentuk penyiksaan. Kenapa? Si pemilik tanah sudah lama tidak pernah lagi memberikan uang sebagai honor menjaga tanah dan rumah. Pada saat suami ibu Iyem meninggal, ia cuma datang sebentar dan memberikan sumbangan duka 50 ribu perak.

”Padahal ada orang yang sempat memberikan sumbangan lebih dari 500 ribu,” aku ibu Iyem yang kini usianya genap 66 tahun.

Oleh karena dibiarkan sendiri tanpa memberikan gaji sebagai penjaga tanah, ibu Iyem menghidupi sehari-hari berjualan di samping rumah itu. Selain warung nasi rames, di warungnya juga dikenal menjual gado-gado.

Sekadar info, di lahan seluas kurang lebih 200 m2, ada tiga bangunan. Bangunan pertama dipergunakan sebagai warung, bangunan kedua sebagai tempat tinggal utama, dan bangunan terakhir adalah bangunan belum jadi. Bagunan yang belum jadi ini cuma bangunan kosong, dimana cuma tiang-tiang beton yang berdiri, tanpa atap.

”Sebetulnya dulu ingin saya jadikan kontrakan. Tapi sudah keburu nggak punya uang lagi, ya saya diamkan aja,” aku ibu Iyem.

Kehidupan ibu Iyem memang mengenaskan. Tetapi anehnya, dalam kondisi yang miskin, ia masih berusaha untuk melayani saya dengan baik. Ia berusaha menyiapkan teh manis hangat dan memasakkan kerupuk dengan menggunakan kayu bakar, karena tidak mampu lagi membeli minyak tanah.


KAWIN CERAI-KAWIN CERAI

Ibu Iyem lahir pada tahun 1944. Ia adalah anak pertama dari 6 bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai prajurit aktif di Angkatan Darat (AD) dan sempat bertugas ke beberapa wilayah, baik di dalam maupun luar negeri, antara lain Dili, Borneo, maupun ke singapura. Jabatan terakhir ayahnya adalah Sersan.

“Ayah saya tukang kawin cerai,” aku ibu Iyem. “Istri ayah saya tujuh! Ayah pernah nikah dua kali di Pacitan dan dapat dua anak. Sekarang anaknya tinggal tiga, karena yang tiga sudah meninggal. Saya adalah anak pertama dari istri pertama.”

Rupanya tradisi kawin cerai ini diturunkan oleh kakeknya. Kalo ayahnya punya tujuh istri, kakaknya lebih banyak lagi, yakni punya sembilan istri. Tapi menurut ibu Iyem, kesembilan istri kakeknya dibuat senang semua. Kalo ada istri dibelikan mobil, semua istri dibelikan mobil juga. Kalo ada istri yang dibangunkan rumah, kesembilan istri harus dibuatkan rumah.

”Kakek saya adalah anak Ratu Kidul ke-3,” ucap ibu Iyem.

Terus terang ketika ibu Iyem mengatakan soal Ratu Kidul, saya mulai ilfil alias ilang feeling. Kenapa? Saya mulai menyangka ibu Iyem gokil! Mana mungkin Ratu Kidul punya anak? Anaknya berwujud manusia pula! Lebih dari itu, Ratu Kidul yang saya kenal selama ini kan sekadar mitos?

Namun saya tidak mau menyakiti hati ibu Iyem. Toh, kedatangan saya ke rumah ibu Iyem bukan dalam rangka mengomentari soal kebenaran Ratu Kidul. So, saya mendengarkan saja seluruh kisah ibu Iyem dan mengganggap kisah Ratu Kidul adalah memang benar. Apalagi mendengar kisah-kisah selanjutnya soal keajaiban yang terjadi pada diri kakek dan bapaknya, saya jadi percaya tak percaya.


Ibu Iyem di depan pintu rumah utama.

Anda tahu, ayahnya ibu Iyem meninggal pada usia 170 tahun. Kakeknya lebih luar biasa lagi, meninggal di usia 180 tahun. Saya baru kali ini mengetahui ada orang Indonesia yang meninggal dalam usia lebih dari 100 tahun. Terus terang dalam riset saya, belum menemukan nama orang yang usianya panjang banget, kecuali cerita dari ibu Iyem ini.

Percaya tak percaya lagi, sang ayah pernah tapa (maksudnya bertapa atau bersemedi) di Gunung Damar, Jawa Timur selama 13 tahun. Kakeknya lebih dahsyat lagi, tapa selama 33 tahun.

”Eyang meninggalnya juga tidak dalam kondisi sakit-sakitan,” terang ibu Iyem. ”Eyang meninggalnya di kolam besar yang sudah diisi oleh bunga mawar. Sebelum meninggal, Eyang memakai kain kafan sendiri. Lalu berendam di dalam kolam itu. Ia masih sempat membaca Al-Qur-an yang ia bawa dan baca saat berendam.”

Beberapa detik sebelum menghembuskan nafas terakhir, Eyang meminta istrinya membunyikan kentongan. Tujuannya supaya warga di sekitar rumah mendengar ada yang meninggal. Setelah kentongan selesai dipukul tiga kali, Eyang pun meninggal. Menurut ibu Iyem, ketika warga mengangkat jasad kakeknya, beratnya mirip kapuk.

”Enteng banget!”


DIPAKSA MARRIED

Ketika masih berusia 8 tahun, ibu Iyem sempat dipaksa married. Saat itu wanita yang pertama kali datang ke Jakarta pada tahun 1958 ini masih berstatus siswa SD kelas 3. Oleh karena masih kecil, ibu Iyem membrontak. Meski begitu, sang ayah tetap memaksa dan sempat membuat saya hampir dibunuh.

Akhirnya pada tahun 1962 atau di usia 18 tahun, ibu Iyem married untuk pertama kali dengan seorang lurah. Dengan lurah, ia mendapatkan dua orang anak. Sayang, kedua anaknya sudah meninggal semua. Dua tahun berikutnya, ibu Iyem married lagi. Oleh karena suami keduanya ’jahat’, ia pun kabur dari rumahnya di Pacitan selama 35 tahun.

Selama 35 tahun itu, ibu Iyem tidak pernah berhubungan dengan keluarganya, termasuk dengan ayahnya. Ia pun belum married dengan siapa pun juga. Baru pada tahun 1972, ibu Iyem menikah lagi dengan pria asal Purworedjo. Sayang, dengan suami ke-3 ini, ibu Iyem tidak dikaruniai keturunan.

Sejak tahun 1975, bersama sang suami, ibu Iyem menunggu sebidang tanah di daerah Gatot Subroto. Namun beberapa tahun sang pemilik tidak lagi memberikan gaji. Ketika suami ibu Iyem meninggal pun tidak ada bantuan yang diberikan. Itulah yang membuat ibu Iyem terpaksa berjualan.

”Pelanggan saya banyak,” ungkap ibu Iyem. ”Ada yang dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, Brimop, ada pula dari Angkatan Laut. Mereka itu kerja di museum.”

Yang dimaksud museum oleh ibu Iyem tidak lain adalah museum Satria Mandala yang kebetulan lokasinya di samping rumah yang ditinggalinya. Biasanya, setiap kali jam makan, mereka datang ke warungnya. Ibu Iyem sangat menyayangkan, para pelanggannya itu kemudian ditarik ke Cilangkap sampai mereka pensiun.

Ada kisah soal para pelanggan. Suatu ketika, beberapa pelanggan yang semuanya adalah bujangan, duduk di warung sambil makan. Salah seorang meminta ibu Iyem untuk memilih satu di antara pelanggan itu.

”Kata salah seorang dari mereka: ’daripada jualan gado-gado terus, mending jadi istri saya’,” ingat ibu Iyem, mencoba mengingat salah seorang pria asal Surabaya yang mencoba mengajaknya married. ”Maklumlah saat itu suami saya sudah meninggal dan saya masih 21 tahun.”


KERAJAAN KANJENG RENGGO

Saat ini ibu Iyem tinggal sendirian di rumah tua yang persis di samping Menara Jamsostek, jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Meski sendirian, di halaman rumahnya, ia memelihara 5 angsa dan 10 kambing.

Seekor angsa dari lima angsa itu menurut ibu Iyem merupakan angsa jadi-jadian. Angsa itu muncul tiba-tiba dari dalam tanah. Angsa itu adalah angsa milik Kanjeng Renggo Syeik Purbo. Siapa itu Kanjeng Renggo? Menurut ibu Iyem, ia adalah Bapak kandung dari Nyi Roro Kidul.

”Wilayah ini adalah kerajaan Kanjeng Renggo,” jelas ibu Iyem. ”Di kerajaan ini terdapat kolam ikan yang bagus dan besar, ada buaya hitam dan putih, kodok yang gede, dan 12 pembantu. Mengitari halaman rumah ini juga terdapat lampu-lampu indah. Ada lampu templok seperti lampu aladin dan lampu kerlap-kerlip seperti lampu disko.”


Pohon yang gede di sebelah kanan foto adalah pohon kapuk. Sementara papan kecil di sebelah kiri adalah papan nama perusahaan pemilik area kosong ini. Meski kosong, seluruh area ini adalah milik kerajaan Kanjeng Renggo. Nggak ada orang yang berani menebang pohon kapuk itu, kecuali niat mau mati.

Angsa jadi-jadian itu menurut ibu Iyem merupakan angsa yang jelek. Di kerajaan Kanjeng Renggo banyak angsa yang lebih bagus dari yang ada sekarang. Ketika muncul dari tanah, angsanya sepasang. Angsa jantan dan angsa betina. Namun sayang, angsa betinanya sudah mati, karena dimakan musang.

Kisah mendapatkan angsa jadi-jadian ini cukup unik. Ceritanya suatu hari sekeliling perut ibu Iyem seperti tersengat listrik. Cukup kuat sekali sengatannya. Ia yakin sengatan itu merupakan petunjuk. Entah kenapa, ia langsung membuka lemari makan. Di dalam lemari, ia menemukan beberapa telur angsa pecah. Padahal saat itu ia belum memelihara angsa.

Lokasi utama kerajaan ada di pohon kapuk yang ada di tanah yang dekat rumah ibu Iyem. Meski Kanjeng Renggo tidak pernah ada di pohon kapuk tersebut, namun tidak ada seorang pun yang berani menebang pohon kapuk tersebut.

”Termasuk pak Saji,” kata ibu Iyem.

Yang dimaksud pak Saji adalah seorang bapak yang bertugas menunggu tanah puluhan hektar milik PT. Idola Tunggal. Sekadar info, di samping Menara Jamsostek ada tanah yang sangat luas yang diantaranya dimiliki oleh PT. Idola Tunggal dan gedung Tifa yang ada di belakang tanah ini. Nah, di tanah tersebut kini hanya tinggal rumah ibu Iyem yang memang belum dibebaskan.

Tugas pak Saji adalah mengawasi serta membabat alang-alang liar yang ada di tanah tersebut. Beberapa kali beliau mencoba menebang pohon kapuk yang persis di samping papan PT. Idola Tunggal. Namun beberapa kali pula, pria yang sudah 13 tahun melakukan pekerjaannya ini sakit. Oleh karena itu, sampai sekarang ia tidak berani memotong lagi pohon kapuk itu, karena ia tahu pohon tersebut milik Kanjeng Renggo.


ANGSA ITU BERNAMA YOSIS

”Dia kan Ratunya saya!”

Begitu kata ibu Iyem, ketika saya tanya kenapa ia begitu tahu soal Nyi Roro Kidul. Ia tahu, bencana yang terjadi belakangan ini di Indonesia, karena Nyi Roro Kidul hendak menikahkahkan anaknya. Tidak mengherankan, korban-korban longsor maupun gempa dikirim ke Pantai Selatan.

Pernahkah ibu Iyem bertemu dengan Kanjeng Renggo?

”Pernah!” jawabnya. ”Saya cuma puasa 3 hari 3 malam di rumah samping ini, tiba-tiba Kanjeng datang. Dia bilang: ’kenapa di luar?’. Saya kemudian disuruh masuk. Saya bilang ke Kanjeng: ’saya ingin yang punya tanah ini disiksa’. Kanjeng bilang: ’sudah. Memangnya tidak dikasih tahu pembantu saya?’”







Halaman rumah yang ditempati oleh ibu Iyem.

Rupanya Kanjeng Renggo menghancurkan rumah si pemilik tanah yang saat ini ditempati ibu Iyem. Bukan yang di Menara Jamsostek, tetapi yang di Bantul. Tentu Anda masih ingat peristiwa gempa di Bantul? Nah, salah satu rumah yang hancur adalah rumah beliau.

Kanjeng Renggo memang baik sekali pada ibu Iyem. Angsa jadi-jadian yang diberikan padanya menjadi ’penjaga’ sehari-hari di rumahnya. Angsa ini bisa menjadi pocong, bisa pula berwujud sebagai manusia raksasa yang bertubuh besar dan tinggi.

”Pernah suatu hari saya mencari angsa pemberian Kanjeng dan baru ketemu jam 3 pagi,” jelas ibu Iyem. ”Wujudnya waktu itu Pocong. Dia bilang: ’cari sopo kowe? Aku iki Yosis’. Pocong itu kemudian menunduk ke tempat minum angsa dan lambat laun berubah menjadi angsa.”

Ibu Iyem tidak mengerti kenapa angsa itu menamakan dirinya Yosis. Nama itu terucap dari Pocong yang merupakan wujud dari angsa jadi-jadian itu. Ketika saya berkunjung ke rumah ibu Iyem dan memfoto sudut-sudut rumah maupun halaman, angsa bernama Yosis itu memang nampak paling ’berisik’. Menurut ibu Iyem, kalo belum kenal orang, angsa Yosis seperti itu.

”Kalo sudah kenal dan orang yang dikenal jarang datang, angsa itu pasti akan ngomong: ’kok jarang datang?’”


GARA-GARA PECANDU NARKOBA

Baik ibu Iyem, apalagi saya, tidak tahu seperti apa kehidupan Ibu Iyem selanjutnya. Si pemilik tanah sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan janda berusia 66 tahun ini, sehingga ia tidak lagi punya uang bulanan.

Si pemilik tanah seolah sedang ’menyiksa’ ibu Iyem dengan membiarkan tetap hidup, tetapi tidak ’diurus’. Padahal Developer sudah menawar harga pembebasan rumah dan tanahnya Rp 1.250.000 per meter persegi. Ketika para tetangganya menerima harga Rp 250 ribu, tanah yang ditinggali ibu Iyem ini sempat ditawar Rp 1.250.000 per meter.


Rumah yang ditinggalin ibu Iyem dilihat dari Menara Jamsostek lantai 5 (kanan). Rimbun banget ya? Cuma terlihat atap genteng di tengah rerimbunan pohon. Perhatikan jalan di sebelah kanan, itu jalan mobil di kompleks gedung Menara Jamsostek yang mengarah ke jalan Gatot Subroto. Lihat kan gedung-gedung yang ada di jalan Gatot Subroto?

”Bahkan ada developer yang menawar sampai lima juta per meter,” jelas ibu Iyem. ”Tetapi saya kan bukan pemilik tanah. Jadi saya ingin dia (maksudnya pemilik resmi tanah ini) ngomong saya harus bagaimana.”

Maksud ibu Iyem, si pemilik tanah seharusnya mengerti, sebagai orang yang sudah puluhan tahun menjaga tanah, ya diberikan pesangon berupa uang. Ketika pihak Developer sudah menawar, seharusnya pemilik tanah memutuskan: setuju atau tidak. Kalo setuju, bagaimana nasib Ibu Iyem selanjutnya. Kalo tidak, bagaimana pula nasib ibu Iyem.

”Jangan disiksa kayak sekarang ini! Dia pengen tunggu saya sampai mati kali!”

Wajarlah kalo Ibu Iyem protes seperti itu. Buat janda seperti dia, tentu butuh penghasilan untuk menutupi kehidupan sehari-hari. Apalagi dalam tiga tahun ini, usaha warungnya telah tutup.

”Gara-gara keponanan saya,” aku ibu Iyem yang sempat dilamar oleh duda yang lebih muda usia darinya yang kini.

Tiga tahun lalu, keponakannya sering main ke rumah ibu Iyem. Ia tidak sendirian, tetapi bersama ketiga temannya. Awalnya ibu Iyem tidak curiga dengan kedatangan mereka. Namun lambat laun, ibu Iyem baru mengerti alasan mereka datang ke rumahnya.

”Pantes saja sendok saya sering hilang. Saya pikir siapa yang ambil. Eh, ternyata sendok itu dipergunakan mereka untuk pakai narkoba.”

Kecurigaan ibu Iyem terbukti dengan ditemukan beberapa sendok yang sudah bengkok yang ada di halaman belakang, tepatnya di dekat kandang kambing. Selain itu, ia juga menemukan beberapa jarum suntik di kebun belakang.

”Saya nggak mau rumah ini jadi sarang narkoba dan saya dipenjara. Makanya sejak itu saya nggak mau lagi jualan. Biar rumah ini sepi lagi.”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

4 komentar:

  1. Bung Bril! Mengesankan kisah ini. Sangat!

    BalasHapus
  2. oohh,, pantesan.. kira'in itu tanah sengaja di kosongin buat lahan terbuka....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lahan ini sekarang sudah tidak lagi kosong. Sedih sekali jika membayangkan saya sering jalan ke lahan kosong itu dan bertemu dg bu Iyem...hiks!

      Hapus