Rabu, 24 Maret 2010

"DULU SIH INDONESIA DITAKUTI, TAPI SEKARANG..."

Pernyataan Hadi Mulyadi tentu bukan tanpa alasan. Pada tahun 70-an, sepakbola Indonesia dikenal sebagai ‘Macan Asia’. Tim nasional (Timnas) PSSI kita berhasil mengalahkan Korea Selatan (Korsel). Nggak tanggung-tanggung, 5-2 di Djakarta Anniversary Football Tournament III di Stadion Gelora Bung Karno 19 Juni 1972. Bahkan sebelum akhirnya Korsel berhasil memasukkan gol ke gawang Ronny Paslah, para pemain yang dimonitori oleh Basri, lalu Anwar Ujang, Muljadi, Soenarto, Surya Lesmana, dan Sueb Rizal, sempat unggul 5-0. Luar biasa bukan?


Fam Tek Pong alias Hadi Mulyadi. Etnis Tionghoa terakhir yang berhasil masuk ke dalam Timnas. Ia berhutang budi pada orang bernama (alm) Drg.Endang Witarsa. "Belum ada pelatih di Timnas sehebat dia!"

Indonesia juga pernah mengalahkan Jepang 1-0 di final Pesta Sukan Singapura pada tahun 1972. Di event itu disebut sebagai All Indonesian Final. Kenapa? Sebab, Indonesia mengirim dua tim sepakbola. Hebatnya, dua tim ini memperebutkan posisi pertama dan kedua. Negara-negara lain yang ikut di Pesta Sukan, tewas semua. Terakhir pada tahun 1988, Indonesia meraih juara pertama sepakbola SEA Games XIV di Jakarta setelah mengalahkan Malaysia.

“Dulu Indonesia memang ditakuti di negara Asia,” ujar Hadi Mulyadi lagi. “Musuh bebuyutan Indonesia paling-paling cuma Burma (sekarang Myanmar) dan Korea Selatan. Kalo Malaysia, Singapura, atau Thailand waktu itu nggak ada apa-apanya. Takut sama Indonesia. Tapi sekarang?”

Hadi heran, kenapa Timnas Indonesia sekarang prestasinya di bawah tiga negara yang dulu ngeri sama Indonesia. Nggak usah ngomong mengalahkan Korea Selatan yang saat ini sudah jauh baget dari kita prestasinya, lawan Thailand saja keok.

"Sistem pembinaan kita memang harus diubah,: jelas Hadi Mulyadi. "Dibuat saja kayak dulu. Nggak ada salahnya kan mencontoh zaman dahulu?"

Padahal, tambah Hadi, teknis pemain Indonesia itu nggak kalah dengan pemain asing, lho. Yang salah memang mental dan semangatnya. Kalo pemain-pemain sekarang yang dipikirkan duit dulu. Kalo zaman dulu, main dulu sampai titik darah penghabisan. Soal menang memang risiko dari sebuah perjuangan.

Saya beruntung sekali masih bertemu dengan Hadi Mulyadi ini. Beliau adalah salah seorang legenda hidup dalam dunia sepakbola, dimana bisa bercerita soal masa kejayaan sepakbola tempo dulu. Bukan sekadar juara di Djakarta Football Tournament atau Pesta Sukan sebagaimana kisah di atas tadi, tetapi di berbagai event sepakbola kelas dunia.









Ketika menjadi juara King's Cup (1968). Presiden Soeharto bela-belain minta difoto bareng dengan Timnas. Dari semua pemain ini, yang sudah meninggal 6 orang. Tekpong (dua dari kanan) adalah pemain yang masih menjadi legenda hidup.


Siapakah Hadi Mulyadi itu?

Pria ini bernama lengkap Fam Tek Pong. Sehari-hari akrab disapa Tekpong. Ia akrab sebagai pemain Timnas di tahun 1963-1973. Awal karir Tekpong sebagai pemain bola dirintis dari bawah. Sejak kecil ia memang gemar bermain bola di Gang Kancil (kini Gang Kancil berubah menjadi jalan Keselamatan).

“Gang ini dulu dikenal banyak orang yang jago main sepakbola,” papar Tekpong.

Nggak jauh dari Gang Kancil, ada sebuah stadion sepakbola, dimana di stadion tersebut terdapat klab sepakbola yang paling tersohor sat itu, yakni Union Makes Strength (UMS). Klab ini kebetulan memang sudah lama dibentuk, yakni sejak zaman Belanda, tepatnya di tanggal 15 Desember 1905. Tepat di tahun 1959, Tekpong masuk ke UMS.



Beberapa penghargaan yang diterima Tekpong, salah satunya sertifikat dari Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PSSI.

Di UMS, karir sepakbolanya langsung melejit. Sekadar info, di UMS terdapat level-level buat menentukan pemain ini layak ‘naik kelas’ atau enggak. Ada enam level, dimana paling atas adalah level ke-6. Model level ini mirip kursus bahasa Inggris LIA. Nah, Tekpong berhasil naik dari level terakhir, yakni level 1 cuma dalam tempo 3 tahun. Nggak semua orang bisa secepat Tekpong, lho naik level-nya. Ada yang butuh 6 tahun, bahkan lebih dari itu.

Di UMS, Tekpong digembleng oleh pelatih Drg. Endang Witarsa. Tepat di tahun 1963, ia masuk ke Persatuan Sepakbola Jakarta (Persija) sebagai stopper. Di tahun yang sama, Persija berhasil menjadi juara klab sepakbola nasional. Kemenangan itu yang kemudian mengantarkan Tekpong masuk ke Timnas PSSI.

“Dokter itu sangat berjasa bagi karir sepakbola saya,” aku Tekpong.

Yang dimaksud dokter nggak lain adalah Drg. Endang Witarsa itu adalah otak dan arsitek dari Timnas di tahun 70-an. Pria yang bernama asli Liem Soen Joe ini disebut sebagai ‘dokter bola’. Ia rela meninggalkan praktek dokter gigi, demi menjadi pelatih di UMS dan kemudian Timnas.

Bersama rekan-rekan se-Timnas, Tekpong berhasil menjuarai beberapa event sepakbola kelas internasional, antara lain piala Agha Khan di India Selatan (1966, Bangladesh); Kings Cup (1968, Bangkok); Merdeka Games (1969, Malaysia); Presiden Cup (Korea Selatan); dan Pesta Sukan (Singapura).

“Gara-gara kami juara di Kings Cup tahun 1968, Presiden Soeharto menemui kita buat berfoto bersama,” kenang Tekpong. “Sebelum dan sesudahnya mana ada Pemimpin negara yang mau berfoto dengan Timnas?”

Iya juga sih. Sekarang ini nggak ada prestasi yang dibanggakan dari Timnas, sehingga wajar kalo Presiden setelah Soeharto nggak ada yang mau foto bareng dengan para pemain Timnas. Kalo dulu, bukan cuma Presiden, saya bangga pada PSSI.

Saya masih ingat ketika televisi baru TVRI. Setiap kali Timnas berhadapan dengan salah satu negara, TVRI selalu bersiaran langsung. Saya yang bukan pencinta bola yang fanatik, selalu saja dag-dig-dug menyaksikan Timnas berlaga. Darah nasionalisme saya begitu mendidih, sebagaimana para pemain yang sedang bertanding di lapangan hijau. Suara (alm.) Sambas pun membuat semangat kami menggelora.

“Dulu main bola memang hobi. Tapi hobi ini serius kami kerjakan,” kata Tekpong. “Setiap kali bertanding, yang ada di pikiran kami adalah bermain habis-habisan. Nggak mikirin bonus dan hal-hal yang nggak penting lain. Itulah yang barangkali membuat kami bergelora setiap menghadapi lawan.”

Pada tahun 1973, Tekpong ‘pensiun’ dari PSSI. Meski nggak tergabung dengan Timnas, ia masih bersentuhan dengan sepakbola. Ia kemudian ditawari bekeja di perusaaan Warna Agung. Tanpa menunggu terlalu lama, ia pun bergabung dengan Warna Agung. Selain jadi marketing, Tekpong bertugas sebagai pelatih klab Warna Agung. Selain Tekpong, di Warna Agung ada nama pemain nasional lain yang cukup terkenal, yakni Risdianto.







Bersama para tukang ojak langganan yang biasa mengantarkannya ke lapangan Petaksingkian yang kini bernama Stadion UMS.

“Sebenarnya banyak pemain sepakbola muda yang bagus-bagus. Sayangnya PSSI nggak membina mereka,” ucapnya. “Saya punya seorang murid yang jago main bolanya. Tapi begitu diterima di perguruan tinggi, ia pergi ke Ambon dan nggak tertarik buat main bola lagi.”

Pada tanggal 19 April 1980, Tekpong mendapatkan sertifikat dari Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Sertifikat ini berupa Lencana Mas kelas II yang diberikan tujuh tahun sepeninggalnya dari Timnas.

Kini Tekpon hidup di bersama seorang anak dan dua cucu di perumahan Green Garden, Jakarta Barat. Sebagai pemain sepakbola yang sempat mengharumkan nama bangsa, Tekpong jarang mendapatkan penghargaan oleh pemerintah. Boro-boro bonus uang, penghargaan lain pun belum pernah diberikan pemerintah, kecuali mendapat Sertifikat dari Ketum PSSI yang waktu itu dijabat oleh Ali Sadikin. Rumah yang ia tempati sekarang ini juga bukan hasil pemberian dari pemerintah, tetapi dari pimpinan Warna Agung.

“Dulu saya tinggal di dekat Lokasari (salah satu tempat terkanal di daerah Glodok, Kota). Namun kebetulan Warna Agung punya proyek mengecat seluruh rumah di kompleks Green Garden (dulu kompleks Green Garden bernama Taman Bumi Indah). Rupanya ongkos pengecetan tersebut dibarter dengan dua buah rumah. Saya kemudian diberikan jatah rumah barteran yang saya tempati sekarang ini sejak tahun 1986.”

Selain bermain dengan kedua cucunya, Tekpong juga melatih klab almamaternya, yakni UMS setiap Selasa dan Kamis. Menurutnya, kalo saja sistem pembinaan di PSSI baik, sebenarnya banyak bibit-bibit unggul yang baik di tiap klab, tertama di UMS yang ia latih.

"Saya dulu punya anak didik asal Ambon. Teknik dan mentalnya luar biasa. Tapi karena nggak ada komptesi atau sistem pembinaan yang baik, ketika diterima di perguruan tinggi di Ambon, ia nggak balik-balik lagi. Sayang kan?"

Selama ini setiap kali pergi melatih, ia berjalan kaki dari rumah di Green Garden ke halte terdekat di jalan Raya Panjang. Menurut saya cukup jauh, tetapi itu sudah biasa dilakukan oleh Tekpong. Dari jalan Raya Panjang ini, ia baru naik angkot jurusan Kebon Jeruk-Glodok. Sampai di Glodok, ia berhenti di salah satu gang, dimana dulu ia pernah main bola waktu kecil, yakni di Gang Keselamatan. Setelah itu barulah ia naik ojek langganan ke lapangan UMS yang ada di jalan Ubi Petak Sinkian, Jakarta Barat.


Rumah Tekpong di Green Garden. Pemberian dari pemilik perusahaan Warna Agung di tahun 1986. Satu-satunya harta hasil prestasi main bola. Bukan dari pemerintah, tapi justru dari swasta. Coba kalo nggak dikasih rumah, siapa yang mau memberi?

“Saya pernah kerampokan di angkot,” kata Tekpong yang mengaku honor yang ia terima sangat kecil, di bawah Rp 1,5 juta.

Menyedihkan banget sih nasib Tekpong ini? Ini baru Tekpong, atlet sepakbola, belum atlet-atlet tua lain yang sempat membuat bangga pemerintah Indonesia maupun internasional. Belum atlet-atlet lain. Namun beruntunglah bagi Tekpong. Selain rumah yang ia terima dari Warna Agung, kehidupan sehari-harinya kini dijamin oleh sang kakak yang punya bisnis besar.

“Kata kakak, saya disuruh main bola saja,” ucap Tekpong.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

2 komentar:

  1. Sialan! Mestinya gw yang gila bola bisa bikin catatan serupa ini. Kau memang brilian, Bung Bril...! Salut.

    BalasHapus
  2. Jgn panik bgt bung Jepe! Msh bnyk legenda hidup di dunia sepakbola yg bisa Anda bikin tulisannya....hehehe

    BalasHapus