Akhirnya gedung serbaguna di Fakultas Film dan Televisi (FFTV), Institut Kesenian Jakarta (IKJ) kelar juga. Selasa, 2 Maret 2010 ini, sejumlah petinggi di kalangan IKJ berkumpul buat melakukan acara selamatan. Selain Dekan FFTV Gotot Prakosa, S.sn., M.Hum, hadir pula Rektor IKJ, Prof. Dr. Sardono W. Kusumo.
Menurut Gotot, sebelum memutuskan buat merenovasi ruang serba guna ini, pihak fakultas sempat terpikirkan menyewa gedung. Sebab, semakin lama jumlah mahasiswa FFTV semakin banyak. Sungguh sangat kurang representatif kalo pertambahan jumlah mahasiswa nggak diikuti dengan penambahan ruang kuliah, termasuk ruang eksebisi, entah itu eksebisi buat photografi atau pemutaran film.
“Setelah dihitung-hitung, sewa gedung lebih mahal,” ujar Gotot. “Akhirnya diputuskan untuk merenovasi ruang serba guna ini. Alhamdulillah ruang yang tadinya terlihat kurang representatif sekarang menjadi lebih modern seperti yang kita lihat sekarang ini.”
Perlu diketahui, sebelum menjadi ruang serba guna, beberapa tahun lalu di lokasi yang sama terdapat kantin mahasiswa FFTV. Setelah jumlah mahasiswa semakin banyak, kantin direlokasikan ke belakang, sementara lokasi bekas kantin dijadikan ruang serbaguna, dimana selain menjadi tempat kuliah umum, juga berfungsi sebagai ruang audio visual.
Setiap ada pemutaran film atau diskusi di FFTV, ruang serbaguna inilah yang dijadikan venue. Kebetulan kapasitas ruang serbaguna mampu menampung jumlah orang kurang lebih 60-100 orang. Kini oleh Ketua Jurusan Film dan Televisi, Hartanto, S.sn, yang dianggap sesepuh audio di Indonesia ini, ruang serbaguna ini menggunakan teknologi audio berkualitas digital.
“Dengan gedung baru ini kami ingin FFTV semakin produktif berkarya,” jelas Gotot. “Dari 600-an mahasiwanya, 5% berhasil menjuarai di berbagai festival film, baik festival film internasional, maupun nasional.”
Sementara Prof. Sardono lebih menekankan agar kita bersyukur dengan kondisi sekarang ini. Bahwa gedung IKJ berada dalam kompleks, dimana pusat kesenian selalu berlangsung. Berbeda dengan sekolah-sekolah kesenian yang ada, yang terpecah-pecah konsentrasinya, kalo nggak seni tari aja atau seni rupa. Sementara IKJ terdapat semua seni. Ada seni rupa, seni pertunjukan, dan seni audio-visual.
“Oleh karena itu kita bisa bersinergi satu sama lain,” jelas Sardono. “Kita bisa berkreasi dengan sangat luar biasa. Soal komersil sebuah kesenian, itu pasti akan ikut dengan sendirinya.”
Dalam kesempatan itu, Sardono mengingatkan kita semua lagi tentang sejarah IKJ. Bahwa lahan IKJ merupakan tanah wakaf Raden Saleh. Kita memang cuma mengenal beliau seorang pelukis. Padahal ia juga seorang ahli botani. Dahulu, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) seperti Kebun Raya Bogor yang terdapat aneka jenis pepohonan, dimana menjadi lokasi riset orang-orang Belanda. Singkat cerita, tanah kemudian dihibahkan ke Provinsi DKI Jakarta dan kemudian berdirilah IKJ.
“Saya berharap, idealisme pendahulu kita untuk menjadikan IKJ ini eksis bisa diteruskan ke adik-adik kita yang lebih muda,” ujar Prof. Sardono. “Kita tahu, pendiri-pendiri IKJ sudah berjuang sedemian keras tanpa berpikir tentang uang. Makanya kita nggak boleh lupa dengan mereka. Itu pula mengapa saya meminta melukis wajah-wajah orang yang telah berjuang untuk IKJ di gedung.”
Memang benar kata Presiden pertama kita Ir. Soekarno. Jangan sekali-kali "jasmerah", yakni "jangan melupakan sejarah". Tanpa para seniman terdahulu yang idealis, nggak akan mungkin IKJ eksis sampai sekarang, ya nggak? Sama aja dengan diri kita. Kalo kita melupakan sejarah, itu sama saja kita melupakan siapa orang yang berjasa melahirkan kita ke dunia ini.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar