Sabtu, 13 Maret 2010

SSSTTT!!! TERNYATA NGGAK ADA HANTU DI JERUK PURUT...

Hantu Jeruk Purut ternyata cuma mitos. Memang sih sebagai umat beragama kita kudu percaya pada mahkluk gaib ciptaan Allah. Sebangsa jin memang eksis. Tetapi kalo hantu yang bergentayangan tiap malam atau seminggu sekali atau sebulan sekali di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, itu konfirm terlalu dibesar-besarkan. Bahkan sebagian besar warga asli bilang, itu mitos aja.

“Jeruk purut itu jalanan hidup,” ungkap pak Kardi, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah yang sudah duapuluh tahun mendiami daerah Jeruk Purut ini.

Yang dimaksud pak Kardi dengan ‘jalanan hidup’ adalah jalan yang pagi-siang-malam selalu dilewati oleh berbagai macam kendaraan. Jalanan nggak pernah sepi. Kalo nggak kendaraan umum, ya kendaraan pribadi yang melintas di wilayah ini.


Salah satu sudut di TPU Jeruk Purut. Kalo datang ke TPU Jeruk Purut, saya jadi mengenang detik-detik teman satu angkatan saya di SMA Labs School tahun 1988, Bima Subingar, yang dimakamkan di TPU ini.

“Nggak ada apa-apa, kok di sini,” tambah pak Kardi. “Di tiap-tiap sudut dipasang lampu. Kalo ada cerita soal hantu jeruk purut itu mah cuma dibesar-besarkan!”

Duapuluh tahun lalu, ketika pak Kardi datang ke TPU Jeruk Purut, pemakaman ini masih alang-ilalang dan duri. Nggak ada yang merawat. Makamnya pun nggak teratur seperti sekarang.

“Maklumlah ini kan makam wakaf warga asli Jeruk Purut sini,” kata pak Kardi yang siang itu memakai kaos t-shirt warna biru, celana pendek, dan tanpa alas kaki. “Beberapa tahun kemudian, tanah wakaf dikelola oleh pihak Pemda.”


Pak Kardi sudah 20 tahun lebih nongkrong di Jeruk Purut, tetapi belum pernah 'digodain' oleh hantu. "Hantu Jeruk Purut itu cuma dibesar-besarkan aja oleh mereka yang nggak tinggal di Jeruk Purut," kata pak Kardi. "Makanya warga asli Jeruk Purut protes dengan kisah hantu-hantuan itu, termasuk film 'Hantu Jeruk Purut' yang terlalu mendramatisir."

Kini selain pak Kardi, ada sekitar 50-an orang yang mencari makan di situ. Ada yang menjadi penggali kuburan, penjaga makam, atau tukang doa. Pak Kardi mengaku dibayar sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu per bulan per makam. Angka segitu tergantu juga. Seridhonya keluarga pemilik makam. Saat ini pak Kardi menjaga sekitar 10 makam. Jadi dihitung-hitung kalo satu makam mendapat Rp 40 ribu, maka dalam sebulan pak Kardi mendapat Rp 400 ribu. Itu belum termasuk tips kalo ada keluarga yang berziarah atau orang lain yang minta bantuan.

“Ya, lumayanlah, Pak!”

Buat saya, TPU Jeruk Purut ini bukan TPU asing. Kenapa? Sekitar tahun 1993, teman seangkatan saya di SMA Lab School dimakamkan di TPU ini. Nama teman saya adalah Bima Subingar atau biasa disapa Bimo. Bukan ingin membuka kesedihan, tetapi saya sekadar mengenang almarhum, karena almarhum adalah seorang yang sangat baik dan santun. Ketika beliau meninggal, saya sempat bertanya: kenapa orang baik lebih dulu dipanggil oleh Allah sih?

Bimo meninggal di Rumah Sakit Pertamina pusat, Jakarta Selatan. Sebuah kecelakaan di jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta yang menyebabkan ia kehabisan darah. Saya ingat betul, kecelakaan itu, karena malam itu kami sedang menuju ke Balai Sidang Senayan, Jakarta buat melihat teman kami, Riri Riza manggung. Kami iring-iringan mobil. Saya berada dua mobil di belakang almarhum.

Saya kaget begitu melihat di sebuah tikungan di jalan HR. Rasuna Said, persis di depan Kedutaan Arab saat itu, sebuah mobil menabrak sebuah pohon. Saya nggak sempat menolong, karena beberapa teman yang mobilnya persis di belakang almarhum sudah lebih dulu mengganggat korban. Oleh karena kecelakaan itu, iring-iringan yang tadinya ke Balai Sidang beralih ke RS Pertamina.

Ketika sang dokter mengabarkan Bimo nggak bisa diselamatkan lagi, kami semua nangis sejadi-jadinya. Saya dan beberapa teman bahkan tergeletak di dekat kolam di depan lobi RS Pertamina, karena nggak nyangka Bimo akan mengalami kejadian seperti ini, dipanggil Yang Kuasa lebih cepat.

Keesokan hari, saya bersama teman-teman lain langsung menuju ke TPU Jeruk Purut. Kami ingin melepaskan kepergian almarhum untuk yang terakhir kali. Saya ingat sekali, ketika ke TPU Jeruk Purut, saya memakai t-shirt warna pink. Hah, pink? Iya, pink! Terus terang saat itu saya sudah nggak memikirkan lagi soal warna baju yang dikenakan buat ke kuburan. Yang saya pikirkan bagaimana saya bisa melihat jasat teman kami tercinta dimasukkan perlahan-lahan ke dalam lubang kubur.

BENTENG BELANDA

Sebelum menjadi tanah salah seorang warga Jeruk Purut, menurut pak Kardi, wilayah yang menjadi TPU Jeruk Purut ini adalah bekas benteng Belanda. Entah apa nama bentengnya. Yang pasti ketika Belanda masih menduduki Indonesia, kuburan ini sempat dijadikan markas Belanda.

Begitu mendapat cerita soal bekas benteng Belanda di TPU Jeruk Purut, saya langsung mencari-cari literatur yang menguatkan info itu. Seperti biasa, yang saya lihat pertama adalah di mesin pencari data Google. Di Google, saya nggak menemukan info soal benteng Belanda itu. Memang sih, seharusnya kalo mau in depth saya mencari literatur ke library, pusat Kebudayaan Belanda, atau bahkan ke Belanda sana. Tetapi


Sebuah patok ini cuma satu-satunya bukti bahwa dahulu di TPU Jeruk Purut ini adalah bekas benteng Belanda.

Meski belum mendapatkan literatur yang menjelaskan benteng di wilayah Jeruk Purut, namun ada sebuah tanda yang bisa menguatkan kalo TPU Jeruk Purut memang bekas benteng. Ketika di TPU, saya berhasil diantarkan pak Kardi buat melihat satu-satunya tanda peninggalan Belanda. Tanda itu berupa patok.

“Sebetulnya dulu ada tiga patok, tetapi yang nggak bisa dihancurkan ya patut itu,” ujar pak Kardi.

Jadi ketika TPU Jeruk Purut diperlebar tahun 80-an, developer menemukan tiga buah patok yang dianggap sebagai peninggalan zaman Belanda. Selain menguruk makam-makam tua yang ada di sekitar makam Syeik Salim, sebuah buldozer juga mencoba merubuhkan tiga patok yang masih kokok berdiri.

“Beberapa kali buldozer itu mencoba merubuhkan, eh ternyata yang bisa rubuh cuma dua patok. Patok yang satu nggak bisa rubuh. Bahkan waktu itu mesin buldozernya sempat mati dan yang mengendarai buldozer sempat sakit.”


MAKAM KRAMAT

Ketika datang pertama kali, yang pak Kardi ingat sudah ada dua makam jadul yang sampai saat ini masih ada. Satu makam nggak ada namanya, satu lagi makam seorang Kiai asal Banten. Namanya Syaik Salim.

Syeik Salim sangat dihormati sampai sekarang. Berbeda dengan makan jadul satunya, makam Syeik Salim dibuatkan rumah. Pak Kardi nggak tahu siapa yang membuatkan rumah. Yang pasti rumah itu bertujuan agar kalo ada yang datang dan membaca yasin nggak akan kepanasan atau kehujanan.

Setiap hari memang ada orang yang berkunjung ke makam Syeik Salim. Nggak cuma hari-hari tertentu kayak Maulid Nabi atau Idul Fitri, tetapi pada hari-hari biasa juga banyak yang datang dan berdoa di depan makamnya. Yang paling rame kalo malam Jum’at.

Pas saya datang ke TPU Kebun Jeruk dan mendekat ke makam Syeik Salim, dua sepeda motor parkir di depan rumah makam itu. Saya lihat ada empat pasang sandal jepit di depan pintu makam. Artinya ada empat orang yang berada di dalam. Saya cuma bisa mendengar suara keempat orang itu mengumandangkan surat yasin dan beberapa doa-doa dari Al-qura’an. Terus terang saya penasaran dan ingin memfoto mereka, tetapi rasanya kok nggak etis banget sih. Padahal saya ingin memperlihatkan orang-orang musyrik ini, yakni orang yang mendurhakai Allah.

Ternyata yang datang ke makam bukan cuma dari warga sekitar Jeruk Purut, maupun warga Jakarta. Namun peziarah datang dari daerah Jawa Timur atau Jawa Tengah juga banyak yang mampir ke sini. Menurut pak Kardi, mereka yang sudah membaca yasin dan dikabulkan permintaan, mereka akan mendapat batu cincin atau bahkan keris.

“Banyak sekali cerita-cerita dari peziarah kubur yang pernah masuk ke dalam rumah makam Syeik Salim ini. Ada yang mengatakan sempat menjumpai Syeik dalam kondisi sedang berceramah di hadapan banyak orang dengan mengenakan jubah putih dan jenggotnya panjang,” papar pak Kardi. “Si peziarah seperti berada di tengah-tengah murid Syeik. Menurut peziarah ini, kalo seluruh isi ruangan baunya harum semerbak, itu tandanya apa yang kita minta dikabulkan.”

“Bapak percaya?” tanya saya.

Pak Kardi tersenyum.

“Sebetulnya mereka yang datang ke makan itu sebagian besar orang berpendidikan. Punya gelar. Saya mah nggak sekolah tinggi. Tapi saya pikir tindakan mereka itu salah. Masa berdoa pada orang yang sudah mati? Minta harusnya langsung sama Allah, ya nggak?”

Saya tersenyum. Ternyata pak Kardi luar biasa. Meski statusnya cuma jadi penjaga makam -sebelumnya tukang gali kubur-, pak Kardi ngerti kalo berziarah model begitu salah. Maksudnya, datang ke kuburan Syeik atau Kiai atau Sunan, berdoa di atas kuburan mereka, minta ini dan itu, adalah perbuatan musyrik. Nggak benar!

Pak Kardi mengerti, Syeik Salim adalah orang besar. Orang yang dihormati. Wong dahulu kala kuburannya itu bukan sembarang kuburan, kok. Konon katanya cuma sebuah lubang kecil sebesar lubang kepiting. Namun karena Syeik Salim memiliki kesaktian, lubang kecil itu bisa menembus ke Serang Banten. Hah?! Bayangkan! Lubang di Jeruk Purut bisa menembus ke Serang Banten! Itu jauh banget, bo!


KISAH BUAYA BUNTUNG DAN POHON BENDA

Meski nggak percaya orang meninggal bisa mengabulkan doa manusia, yakni kehadiran peziarah yang berdoa di makam Syeik Salim, namun pak Kardi percaya kisah-kisah mistis yang ada di seputar Jeruk Purut ini. Kisah buaya berbuntut buntung misalnya. Ia percaya kalo buaya buntung itu ada dan selalu menelan korban tiap 2 tahun sekali. Buaya ini biasa mendekam di kali krukut yang ada persis di jalan yang menanjak di antara jalan Cilandak dengan Antasari.

Selain buaya buntung, pak Kardi pun sempat diceritakan soal ular berkepala manusia yang ada di pohon benda. Menurutnya, dulu sempat ada shooting program televisi. Pada saat lampu diarahkan ke pohon benda, beberapa orang melihat ada ular berkepala manusia turun dari pucuk pohon ke tanah.

“Sayang, peristiwa itu nggak sempat direkam oleh kamera,” sesal pak Kardi. “Yang pasti ular berkepala manusia itu memang penunggu pohon benda.”

By the way apa sih pohon benda itu? Pohon benda adalah sejenis pohon yang tinggi besar, sebesar pohon beringin. Pohon ini sampai sekarang berdiri kokoh di pojok TPU Jeruk Purut. Sebenarnya pohon benda yang sekarang cuma ‘anaknya’. Menurut pak Kardi, pohon benda yang asli ada persis di depan makam Syeik Salim.

“Namun karena sudah tua dan keropos, pohon benda itu kini sudah ditebang.”


PEMEKARAN WILAYAH TPU

Beberapa tahun ini, TPU Jeruk Purut melakukan pemekaran dengan menambah tanah makam baru. Saat ini di TPU Jeruk Purut yang lama, sudah penuh. Nggak ada tanah tersisa. Makam-makam jadul masih diperpanjang oleh keluarga mereka, apalagi kalo yang dikubur di situ adalah pejuang 45.

Lho memang ada pejuang dimakamkan di situ?

Ada! Salah satunya adalah Ibu Yani, istri almarhum Jenderal anumerta Ahamad Yani. Tahu dong siapa Ahmad Yani itu? Beliau adalah Panglima TNI AD yang merupakan 1 dari 8 korban pembunuhan yang dilakukan oleh PKI pada 30 Sepetember 1965. Jendral Yani ditembak di rumahnya.

Memang nggak semua pejuang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Ketika saya berada di tengah-tengah kuburan, saya sempat melihat memang banyak pejuang-pejuang 45 dimakamkan di situ. Sebenarnya sih nggak cuma di TPU Jeruk Purut aja, di TPU lain pun banyak, misalnya kayak di TPU Karet.

Sangat mudah mengenali pejuang 45 yang dimakamkan di TPU, yakni dengan melihat patok yang ada di samping makam. Kalo ada patot berbentuk bambu runcing dengan bendera merah putih yang terbuat dari besi, maka di makam itu bersemayam pejuang 45. Apalagi selain cici-ciri patok, juga ada tulisan ‘pejuang 45’ yang ditulis di bawah bendera merah putih.

“Saya pernah tanya ke keluarga pejuang ‘kenapa nggak dimakamkan di Kalibata’,” kata pak Kardi. “Apa jawab mereka? Rata-rata menjawab: ‘ingin dimakamkan bersama rakyat’. Mereka bilang, ‘apa sih artinya pangkat? Mengapa sudah meninggal masih dibeda-bedakan dengan rakyat biasa?’”

Buat saya, apa yang dikatakan keluarga pejuang seperti itu luar biasa. Entah itu pejuang atau bukan pejuang adalah manusia biasa. Kebetulan pada saat revolusi fisik, ia adalah pejuang, tetapi ia adalah manusia biasa. Ketika meninggal, semua manusia di hadapan Allah adalah sama, ya nggak?

Mendengar kisah pak Kardi yang sempat ngobrol dengan para keluarga pejuang saya jadi tersenyum sendiri. Saya kembali flashback pada masalah pemberian gelar pahlawan pada Abdurrahman Wahid dan Soeharto yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Ada yang pro, ada yang kontra. Memang sih kedua tokoh bangsa Indonesia itu nggak dimakamkan di TMP Kalibata, tetapi di kompleks pemakaman Imogiri (Soeharto) dan kompleks Tebu Ireng Jombang (Gus Dur).

Back to subjudul soal pemekaran TPU. Bahwa beberapa tahun ini ada TPU Jeruk Purut yang baru. Adanya di bawah makam lama. Wilayah pemakamannya sempat membebaskan pemukiman penduduk. Sebagian lagi mengambil bekas rawa-rawa.


JAWARA JERUK PURUT

Di antara rumah-rumah yang dibebaskan menjadi the new TPU Jeruk Purut, ada rumah jawara. Nama jawara itu adalah H. Rimin. Warga di sekitar situ memberi cap pada pria ini sebagai ‘Macan Jeruk Purut’.

Menurut kisah yang turun temurun yang kemudian dikisahkan lagi oleh pak Kardi ke saya, bahwa H. Rimin adalah teman satu perguruan silat dengan si Pitung. Buat warga asli Jakarta, nama si Pitung nggak mungkin nggak dikenal. Kalo nggak kenal, jangan ngaku anak Betawi!

Nah, seperti juga si Pitung, H. Rimin berjuang melawan penjajahan Belanda di negara kita yang tercinta ini. Saya membayangkan, ketika TPU Jeruk Purut ini masih menjadi benteng Belanda, sementara rumah H. Rimin di seberang benteng Belanda, pasti warga penduduk di situ sempat diobrak-abrik oleh Belanda. Yaiyalah! Tentara-tentara Belanda berhidung mancung itu mencari H. Rimin yang dianggap sebagai pembelot. Bagi warga yang nggak memberitahu, nyawa taruhannya.

Kisah H. Rimin ini nggak banyak diceritakan oleh pak Kardi. Satu hal yang pasti, ternyata ‘Macam Jeruk Purut’ ini bersahabatan dengan Syeik Salim. Saking dekat, sebelum meninggal, H. Rimin mohon makannya nanti dekat dengan makam Syeik. Nah, nggak heran kalo di dalam rumah makam tua yang ada di TPU Jeruk Purut itu terdapat dua makam. Makan pertama adalah makam Syeik Salim, yang kedua makam H. Rimin si ‘Macan Jeruk Purut’. Pantaslah kenapa makam tua itu dikramatkan oleh banyak orang, nggak cuma dari warga sekitar Jeruk Purut, atau Jakarta, tetapi di luar Jakarta pun mengkramatkan makam itu.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar