Rumah no 14 yang berada di jalan Cianjur ini memang sudah lama saya incar. Bukan hendak menggrebek penghuni rumahnya, lho. Tujuan saya nggak lebih dari sekadar ingin berkenalan dengan pemilik asli rumah ini dan numpang mengabadaikan rumah tua peninggalan Belanda ini.
Alhamdulillah, saat jadwal bersepeda Minggu (07/03/10), saya menyempatkan diri mampir ke rumah ini. Eh, ndilalah ada seorang ibu di beranda rumah. Tanpa membuang waktu, saya mencoba menghampiri Ibu yang mengenakan daster warna biru muda itu.
"Rumah ini bukan milik pribadi saya," ujar Ibu Evi. "Saya cuma kontrak. Pemilik aslinya etnis Tionghoa. Sekarang tinggal di Singapura."
Ibu Evi tinggal di rumah ini sejak tahun 80-an. Entah bagaimana ceritanya, ia bersama keluarganya bertahun-tahun ngontrak di rumah ini. Satu hal yang pasti, rumah itu dibagi dua keluarga yang masing-masing nggak ada hubungan keluarga. Ruang bawah ditinggali oleh Ibu Evi dengan anak-anaknya, sedangkan di paviliun dan di lantai dua ditinggali oleh orang lain. Oh iya, di atas ada kamar kos-kosan.
"Kira-kira duaratuslimapuluh kali ya?" ujar Ibu Evi mengingat-ingat harga kontrak per bulannya. "Mungkin juga limaratus ribu. Ah, nggak tahu, deh. Soalnya yang biasa bayar anak saya."
Wah, kalo benar harga kontrak per bulan antara Rp 250 ribu- Rp 500 ribu, menurut saya relatif murah ya? Bayangkan, lokasi strategis banget. Memang sih, kondisi rumahnya nggak begitu bagus, tetapi kalo dipikir-pikir, buat tidur dan tempat tinggal buat kesana-kemari asyik juga!
Di sebelah rumah tempat Ibu Evi, ada rumah bernomor 12. Rumah ini nggak berpenghuni. Menurut Ibu Evi, rumah sebelah ini juga dimiliki oleh etnis Tionghoa yang saat ini bermukim di Singapura. Kok semuanya bermukin di Singapura ya?
"Anak saya sering telpon-telponan dengan yang punya rumah," kata Ibu Evi. "Udah beberapa kali ganti satpam. Habis, banyak barang-barang yang dicuri terus."
Rumah bernomor 12 yang nggak berpenghuni ini berada persis di pojok jalan Cianjur. Waktu SMA dulu, saya masih ingat jalan ini sering dipakai buat mejeng para bencong asal Taman Lawang. Gara-gara bencong mejeng, tiap malam -terutama malam Minggu-, jalan situ macet banget. Ya, ngapaian lagi kalo bukan buat ngeliatin bencong yang memamerkan keseksian tubuh mereka.
Wah, saya jadi curiga, jangan-jangan pemilik rumah no 12 ini nggak tahan tiap malam di depan rumahnya ditonggkrongin bencong. Atau malah belum bayar bencong sehingga harus kabur ke Singapura? Ah, hanya dia dan Tuhan yang tahu!
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar