Dalam tulisan saya sebelumnya, Menyusuri Pangeran Kuningan, ternyata informasi tentang Pangeran Kuningan belumlah lengkap. Banyak sekali informasi yang kemudian saya gali lagi, baik dari warga senior yang menjadi ahli waris maupun melakukan studi literatur dari dua buku, yakni Mengungkap Kampoeng Koeningan: Nilai Sejarah dan Warisan Sosial Budaya Kota Jakarta (Sudarman Juwono dan Wardie Asnawie; November 2005; Kuningan Press) dan Makam Pangeran Kuningan Jakarta dan Mesjid Tua Bersejarah ‘Al-Mubarok’ (1986; Yayasan Pangeran Kuningan). Hasilnya, silahkan Anda baca dalam tulisan kali ini yang saya kasih judul: Perjuangan Belum Berakhir.
Setelah berhasil membereskan Kerajaan Islam Banten, bersama Falatehan, Adipati Keling, dan Pangeran Cakrabuana, Pangeran Kuningan mengusir pasukan Portugis dari Indonesia di Sunda Kelapa. Kemenangan pasukan Demak Cirebon dengan keempat pimpinan pasukan mengalahkan Portugis di Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527 diploklamirkan sebagai hari kelahiran Jakarta.
Masjid Al Mubarok, masjid tertua di Jakarta yang didirikan Pangeran Kuningan. Dari masjid ini, Pangeran Jakarta mendidik murid menyiarkan agama Islam.
Kehadiran Falatehan, Adipati Keling, Pangeran Cakrabuama, dan Pangeran Kuningan ke Banten sebenarnya ada hubungannya dengan perjuangan menegakkan agama Islam. Pada tahun 1526, terjadi pembrontakan di Banten yang dikuasai oleh Padjajaran. Kenapa? Pada saat itu, agama Hindu yang dibawa Padjajaran ingin menguasai Banten. Namun, sebagian besar tentara ingin memeluk agama Islam. Alhamdulillah Pangeran Sebakingkin -putra dari Sunan Gunung Jati dari ibu Putri Ratu Kawunganten- berhasil menggempur negara bagian Banten yang mencoba meng-Hindu-kan seluruh Banten. Pada tahun 1527, sebagian Banten sudah memeluk agama Islam.
Rupanya berita tentang pecah perang di Banten terdengar sampai ke kuping Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, pada tahun 1526, Gusti Sinuhun Sunan Gunung Jati dan Sultan Trenggono Sultan Demak III mengirim pasukan berupa tentara gabungan Demak Cirebon yang dipimpin oleh Falatehan. Pria terakhir ini digelari Penglima Besar, mirip kayak Jenderal Soedirman yang kita kenal belakangan.
Pasukan tentara gabungan ini berjumlah 1918 orang. Panglima dari Cirebon terdiri dari Pangeran Carbon (Putra Panglima Besar Carbon Pangeran Cakrabuwana), Dipati Keling, dan panglima lain. Dalam pasukan gabungan ini ada pula Dipati Cangkuang yang kelak dikenal sebagai Pangeran Awangga atau Pangeran Kuningan.
“Mereka (pasukan tentara gabungan-pen) ini ada yang jalan laut, ada yang jalan darat,” jelas Ketua Yayasan Pangeran Kuningan Soleh Manaf, yang pada tahun 1973 turut serta melakukan ekspedisi ke Cirebon untuk merekonstruksi sejarah Pangeran Kuningan. “Pasukan yang melewati jalan darat, mereka berjalan dari Cirebon melewati Kerawang, Pakuan Bogor, baru menuju ke Banten. Anda bisa bayangkan jarak tempuh perjalanan mereka? Luar biasa!
Setelah mengalahkan pasukan tentara Padjajaran, tentara gabungan Demak Cirebon melanjutkan perjuangan melawan penjajahan Portugis yang dipimpin oleh Fransisco de Sa. Kehadiran armada perang besar Portugis di Sunda Kelapa ini dikarenakan ingin melanjutkan deal-deal yang sudah dilakukan antara Hendrixus Leme dengan pihak Padjajaran. Selain itu, Portugis juga ingin menyebarkan ajaran Kristen dan menjajah bangsa Indonesia. Alasan-alasan itulah yang menyebahkan Falatehan dan panglima-panglima lain tidak bisa menerima. Mereka pun berperan dan Alhamdulillah menang. Momentum kemenangan di Sunda Kelapa itu yang kelak lahir nama Jayakarta yang artinya kemenangan.
Percaya nggak percaya, pada saat perang melawan Portugis, pasukan gabungan Demak Cirebon Cuma menggunakan senjata ‘blandringin batu bata’ dan senjata bambu kuning yang ujungnya diruncingkan. Sementara pasukan Portugis menggunakan senjata laras panjang dan meriam. Namun toh Portugis keok juga. Mereka meninggalkan Sunda Kelapa pada tahun 22 Juni 1527 menuju ke Basem Pasai yang memang sudah menjadi jajahan mereka sebelumnya.
Pasukan tentara gabungan Demak Cirebon yang tersisa kembali ke kota masing-masing. Selain pasukan, Adipati Keling dan Pangeran Cakrabuana pun kembali ke Demak dan Cirebon. Sementara Falatehan dan Pangeran Kuningan tetap tinggal di ibukota Batavia. Sepeninggal Falatehan (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah) yang sempat memegang tampuk pimpinan sebagai Adipati I atau setingkat dengan Gubernur, Pangeran Kuningan lah yang menggantikan sebagai Adipati ke-II. Pelantikan dilakukan oleh Sunan Gunung Jati.
Tidak seperti Falatehan, Pangeran Kuningan malah menggerakkan roda pemerintahan di daerah Selatan. Beliau melipir via Sungai Krukut menuju ke wilayah baru yang masih hutan belukar, dimana sulit mencapai wilayah baru ini melalui darat. Dengan menggunakan perahunya, Pangeran Kuningan dengan sebagian pasukan tersisa melintas dari kota ke wilayah yang kelak menjadi kampung Kuningan.
Sekadar info, sungai Krukut ini merupakan pecahan dari satu sumber sungai, dimana alirannya pecah menjadi dua bagian dari wilayah kota. Aliran pertama menjadi sungai Ciliwung, aliran kedua ya sungai Krukut itu. Sampai saat ini, sungai Krukut masih ada. Anda bisa melihat di antara gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan gedung Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selain mengalir melewati pinggir jalan Gatot Subroto, sungai Krukut mengalir juga ke arah Jeruk Purut.
Seperti juga Falatehan, Pangeran Kuningan yang bernama lain Adipati Awangga ini dianggap sebagai proklamator Jayakarta. Artinya, beliau termasuk pendiri dari kota Jakarta ini. Hal tersebut banyak orang yang tidak mengetahui hal ini. Selain itu, tentu saja beliau cukup berjasa mengusir penjajah dan menolak kolonialisme di bumi Nusantara ini. Lebih dari itu, beliau merupakan penyebar ajaran Islam yang kedudukannya tidak kalah penting dengan Walisongo di pulau Jawa.
Menurut sejarawan Cirebon Pangeran Rachman Sulendraningrat, Pangeran Kuningan lahir kira-kira tahun 1449 Masehi di desa Cangkuang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Beliau masih kerabat dengan Gusti Sinuhun Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1481 Masehi, Pangeran Kuningan mendapat predikat ‘Dalem Babakan Cianjur’. Tahun itu, ia datang ke Cirebon khusus buat memeluk Islam dan berguru pada Sinuhun Sunan Gunung Jati.
Gelar Pangeran Kuningan sebenarnya merupakan anugerah dari Sunan Gunung Jati. Ceritanya putra Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan Ong Tien Nio yang bergelar Ratu Rara Sumanding ini masih kecil. Oleh karena masih kecil, maka harus ada orang yang menjadi wali. Pangeran Awangga dinobatkan menjadi wali anak Sunan Gunung Jati dan diberi gelar Pengeran Kuningan.
Pusat pemerintahan Pangeran Kuningan berada di masjid Kuningan yang kini dikenal dengan nama Al Mubarok yang berada di jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ternyata butuh perjuangan yang cukup panjang buat menjadikan Pangeran Kuningan sebagai the real hero of Jakarta. Selama ini warga hanya mengenal Fatahillah sebagai satu-satunya pahlawan Jakarta. Bahkan pemerintah sendiri kurang mempublikasikan literatur tentang Pangeran Kuningan ini. Anda tahu, kalo saja tidak ada Drs. H. Wardie Asnawie, barangkali sosok Pangeran Kuningan nggak akan pernah kita kenal. Gara-gara tokoh masyarakat asli Kuningan, Jakarta Selatan ini, masjid Al Mubarok maupun nisan makam Pangeran Kuningan di dalam kompleks Gedung Telkom, jalan Gatot Subroto, nggak akan pernah ada.
“Beliau memang sangat concern dengan sejarah Pangeran Kuningan dan mengumpulkan situs-situsnya,” ujar Achmad Syarif Hidayatulloh, putra ke-5 dari (alm.) Drs. H. Wardie Asnawie.
Barangakali kalo nggak ada (alm.) Asnawie, masjid Al Mubarok nggak akan pernah berdiri sampai sekarang. Padahal masjid tersebut adalah masjid tertua di Jakarta, karena dibangun pada tahun 1527 M. Kenapa masjid ini nggak mungkin eksis tanpa Asnawie? Sebab, Dewi Soekarno pernah meminta suaminya Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno membongkar masjid peninggalan Pangeran Kuningan pada tahun 1963. Itu baru masjid, makam Pangeran Kuningan pun begitu.
Makam Pangeran Kuningan berada di sebelah utara masjid Al Mubarok. Pada saat Jakarta dipegang Gubernur Ali Sadikin, makam Pangeran Kuningan dan makam-makam yang lain di sekitar tanah bekas eigendom verpoding nomor 6242 dan 8012 di Desa Koeningan sebalah barat itu digusur.
“Dulu Ali Sadikin memang dikenal sebagai Gubernur penggusur kuburan,” ujar Achmad Syarif.
Gara-gara digusur, makam Pangeran Kuningan hilang. Bagi ahli waris dan juga mayoritas warga setempat, penggusuran makam Pangeran Kuningan sama saja sebagai upaya penghilangan sejarah. Padahal sudah jelas, Pangeran Kuningan adalah tokoh pejuang yang turut andil menaklukkan penjajahan Portugis. Lebih dari itu, beliau juga tokoh penyebar agama Islam di tanah air. Itulah yang membuat Asmawie berjuang menegakkan sejarah. Masa demi pembangunan kita melupakan sejarah?
Perjuangan Asmawie bukan cuma sampai menyelamatkan makam yang digusur di zaman Ali Sadikin, tetapi ketika tanah makam yang kosong kemudian ingin dipindahkan oleh PT. Telkom pada tahun 1986. Perusahaan pemerintah ini ingin mendirikan bangunan Witel IV di bekas makam-makam itu, termasuk bekas makam Pangeran Kuningan. Dalam surat tertanggal 18 September 1986, Asmawie selaku Ketua Yayasan Pangeran Kuningan memohon pada Kepala Wilayah Usaha Telekomunikasi IV, Jakarta agar tidak memindahkan makam Pangeran Kuningan.
Masa makam pahlawan cuma diletakkan di bawah tangga? di trotoar pula. Meski cuma nisan (di bawah tangga dekat AC), seharusnya makam Pangeran Kuningan diberi pelindung, entah itu besi atau dibuatkan rumah kecil. Ya, beginilah kalo kita kurang menghargai para pahlawan.
Di tahun 1986, antara Yayasan Pangeran Kuningan dan pihak Telkom memang sedikit tegang. Pasalnya, tanah wakaf seluas 1.000 m2 di tanah makam yang akan dipakai PT. Telkom akan dikurangi lagi luasnya. Pihak ahli waris sempat merelakan tanah seluas 500 m2 untuk diberikan ke PT. Telkom lagi, sehingga tanah wakaf tinggal 500 m2.
“Saya masih ingat lawyer pihak Telkom pernah meminta almarhum (Drs. H. Wardie Asnawie-pen) buat memindahkan makam,” jelas Achmad Syarif. “Almarhum malah bertanya pada yang menawari. Kalimatnya begini,’kira-kira menurut Anda kalo gadung teks proklamasi dipindah ke Cirebon gimana?’. Jawab lawyer tersebut,’Ya jangan lah. Itu sama saja menghilangkan sejarah!’. Almarhum langsung komentar,’Nah, itu sama saja dengan memindahkan makam Pangeran Kuningan ini’.”
Nggak cuma Yayasan Kuningan yang mengirimkan surat permohonan agar makam Pangeran Kuningan jangan dipindah. Pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Kantor Wilayah (Kanwil) Jakarta bidang permuseuman, sejarah, dan purbakala juga turut membantu. Atas nama Kepala Kanwil Depdikbud DKI Jakarta Hermansyah, sebuah surat tertanggal 26 September 1986 dilayangkan ke Kepala Wilayah Usaha Telekomunikasi IV.
Perjuangan buat menghormati makam Pangeran Kuningan ini memang panjang banget. Meski pada akhirnya gedung Telkom berdiri dan tanah wakaf yang dahulu tersisa tinggal 500 m2 sudah tidak ada lagi, toh Asmawie tetap berjuang. Perjuangannya terakhir sebelum beliau meninggal pada 7 Janurai 2008, terjadi pada tahun 2004. Pada tahun itu, tepatnya 17 Juni 2004, Yayasan Pangeran Kuningan berhasil meletakkan batu nisan di dalam kompleks gedung PT. Telkom. Itulah satu-satunya petunjuk seorang pahlawan Jakarta bernama Pangeran Kuningan dimakamkan.
“Sebetulnya nisan itu bukan perjuangan terakhir almarhum,” jelas Achmad Syarif. “Beliau pernah meminta Telkom untuk membuatkan pagar di sekitar nisan agar orang bisa menghargai Pangeran Kuningan. Tapi sampai sekarang belum juga direalisasikan.”
(alm.) Drs. Wardie Asnawie (kanan) ketika bersama (alm.) Presiden RI ke-2 Soeharto pada tanggal 3 Agustus 1980 saat meninjau Tapos. Selain sebagai Ketua Yayasan Pangeran Kuningan, Asnawie juga dikenal sebagai Ketua Koperasi Perternak Susu Sapi Perah DKI Jakarta.
Memang sih ketika saya berkunjung ke makam Pangeran Kuningan, nggak terlihat kesan di tempat itu sebagai tempat peristirahatan terakhir Pangeran Kuningan. Bayangkan, lokasi makan di pojokan dan berada di sebuah trotoar yang ada di lokasi parkir. Menyedihkan bukan? Kalo orang yang nggak ngerti perjuangan Pangeran Kuningan, nisan itu barangkali jadi tempat duduk. Sambil nunggu majikan lagi berkantor di gedung Telkom, sang sopir duduk di batu nisan. Inilah yang membuat kita kurang menghargai sejarah dan mereka yang pernah memerdekakan negara ini dari penjajah.
“Perjuangan memang belum selesai!” tegas Achmad Syarif. “Sebenarnya ada satu keinginan almarhum yang juga belum sempat terwujud. Memang sulit, tetapi sebenarnya bisa dilakukan, yakni menjadikan nama Pangeran Kuningan sebagai nama jalan sebagaimana nama Pangeran Antasari atau Pangeran Diponegoro. Masa nama pejuang dari daerah dijadikan nama jalan di Jakarta, eh sementara pejuang yang memperjuangkan Jakarta malah nggak dijadikan nama jalan? Masa pemerintah lebih suka menamakan jalan Warung Buncit ketimbang nama-nama pahlawan? Warung Buncit itu kan cuma sebuah warung etnis Tionghoa yang berperut buncit. Kontribusi Pangeran Kuningan terhadap perjuangan lebih besar daripada si Buncit itu.”
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar