Sejak dahulu kala, daerah Manggarai ternyata begitu-begitu aja. Maksudnya, nggak ada perubahan yang signifikan terjadi, sebagaimana daerah-daerah lain di Jakarta ini. Dari dulu, memang sudah ada sungai Ciliwung yang mengalir di samping terminal, para pedangan yang berada di sepanjang situ, dan terowongan yang merupakan jalur kereta api, dimana di bawahnya dilewati oleh kendaraan-kendaraan yang menuju ke arah jalan Tambak maupun Pramuka, Jakarta Timur.
Berbeda banget dengan stasiun kereta api Manggarai, terminal bus Manggarai ya begitu-begitu aja. Kayak nggak dimoderenkan. Kalo stasiun kereta api bakal menjadi stasiun utama bagi para pelaju (komuter) dari Jabodetabek dengan menambahkan infrastruktur stasiun dan akses menuju stasiun. Hal ini sudah diucapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Balaikota Jakarta (21/01/2010). Katanya, penambahan infrastruktur itu antara lain dengan mengintegrasikan stasiun dengan halte busway, jalan layang dan bus feeder. Keren banget nggak sih?
"Saat ini Stasiun Manggarai terletak di tempat yang tidak dijangkau berbagai moda transportasi," ujar Gubernur yang akrab disapa bang Foke ini. "Namun yang paling penting, halte busway akan kami buat di stasiun sehingga kedua moda transportasi tersebut terintegrasi dengan baik," ujarnya.
Rencana penambahan infrastruktur ini menurut bang Foke, telah diakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI 2010-2030 yang ditargetkan disahkan tahun 2010 ini.
Meski nggak mengalami perubahan yang cukup berarti dan kayak dicuekin, sebagai orang yang suka menggali sejarah pemukiman, saya tetap tertarik buat menggangkat soal terminal Manggarai dan sekitarnya. Alhamdulillah, saya berhasil mendapat secuil kisahnya. Kisah-kisah soal Manggarai ini sengaja saya rangkum dalam bentuk sub-judul. Selamat membaca!
DARI TAMAN BERMAIN MENJADI LOKASI PEDAGANG
Sebelum menjadi terminal seperti sekarang ini, terminal Manggarai adalah sebuah taman bermain. Di taman itu terdapat rumput yang hijau dan dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang membuat taman itu menjadi teduh. Saat itu belum ada perosotan atau papan seluncur, ayunan, atau marry go round sebagaimana taman-taman yang ada.
Lambat laun, taman itu dipenuhi oleh para pedagang. Satu persatu, pedagang itu memenuhi pinggir taman sampai akhirnya taman itu menjadi tempat berkumpulnya pada pedagang. Selain pedagang buah-buahan, ada pula pedagang nasi, sate ayam, warteg, dan juga pedagang buku.
“Saya sempat berdagang di pojok terminal yang sekarang jadi halte busway,” ujar pak Muhammad Tamin Lubis (67 tahun).
Pak Syukur (kiri) dan pak Tamin Lubis (kanan), dua orang warga senior yang tahu perkembangan terminal Manggarai.
Toko buku pak Tamin bernama toko ABC. Buku-buku yang dijual lebih banyak komik. Pelawak Ateng salah seorang pelanggan tetap toko buku ABC. Ketika komik Api Bukit Manoreh lagi naik daun, Ateng seringkali datang ke toko ABC untuk membeli komik.
Sekadar info, Api Bukit Manoreh adalah cerita silat Jawa yang paling populer. Komik ini karya pengarang legendaris SH Mintardja. Komik yang diterbitkan oleh Kedaulatan Rakyat ini terdiri dari beberapa seri. Seri I terdiri dari 100 jilid.
“Saya cuma jualan di situ sekitar lima tahun,” ujar pak Tamin yang sejak tahun 60-an tinggal di belakang masjid Ash-Shalihien yang terletak di seberang terminal Manggarai, tepatnya di gang Bhakti VIII, RT 02 RW 05 no 17 Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan 12850.
Di gang Bhakti yang dikenal sebagai Kampung Bakimatraman ini, pak Tamin tinggal bersama istri yang merupakan penduduk asli Manggarai. Nama istrinya Hermayety.
“Setelah toko digusur pada zaman Gubernur Ali Sadikin, saya beralih dengan membuka pangkas rambut.”
Menara masjid Ash-Shalihien yang terletak persis depan terminal Manggarai.
Setelah para pedagang digusur dan di lokasi bekas taman Manggarai dijadikan terminal, beberapa pedagang berpindah-pindah ke beberapa lokasi. Ada yang membuka lapak di pinggir sungai Ciliwung, dimana sudah sejak tahun 70-an lapak-lapak tersebut berdiri sepanjang sungai Ciliwung. Selain di pinggir sungai, pedagang gusuran bekas taman Manggarai berpindah ke Pasar Rumput.
DUA TERMINAL
Selain penuh dengan pedagang, beberapa kendaraan umum mangkal di situ. Ada oplet, ada bemo. Kedua kendaraan tersebut mangkal di pinggir jalan, tepatnya sepanjang jalan depan pos polisi terminal Manggarai sekarang ini. Saat ini, sepanjang jalan yang dulu banyak oplet dan bemo itu, penuh dengan tukang ojek dan pedagang kaki lima.
Selain oplet dan bemo, ada juga delman. Rute oplet dan bemo masing-masing berbeda. Kalo oplet rutenya ke arah Pasar Minggu melalui jalan Soepomo dan Sahardjo. Kalo bemo, rutenya ke arah Tanah Abang. Sementara delman, tergantung dari permintaan penumpang, bisa ke Pasar Minggu, bisa pula ke Tanah Abang.
Cuma bemo satu-satunya kendaraan yang masih bertahan sejak tahun 1930-an. Kendaraan lain kayak oplet, becak, maupun delman sudah 'ke laut'! Kabarnya bemo pun juga akan ditarik dari peredaran.
Terminal yang sekarang Anda lihat dahulu disebut terminal dua. Ada satu lagi terminal yang disebut sebagai terminal satu, yakni di perempatan lampu merah. Jadi kalo mengarah ke Pasar Rumput, Anda akan melewati Pasaraya Manggarai dan Rumah Sakit (RS) Agung. Setelah RS Agung, Anda akan menjumpai perempatan lampu merah. Nah, dulu di sebelah kiri adalah terminal satu. Memang nggak ada tanda-tanda bekas terminal, tetapi sebelum tanahnya dijadikan taman, lokasi itu sempat dijadikan mangkal kendaraan-kendaraan bak terbuka yang disewakan.
“Dibedakan dua terminal itu, karena rutenya berbeda-beda,” jelas pak Syukur (63), warga asli Manggarai yang sudah sejak lahir tinggal di daerah itu. “Kalo terminal satu adalah kendaraan yang ke arah lapangan Banteng.”
Sebenarnya ada satu tempat mangkal kendaraan umum. Tetapi tempat mangkal ini nggak disebut sebagai terminal. Tempat itu berada di depan terminal Manggarai, dimana saat ini penuh dengan tukang ojek. Menurut pak Dulloh (72 tahun), kendaraan umum yang mangkal di situ adalah oplet.
PAWANG BUAYA
Pak Tamin Lubis termasuk salah seorang warga pendatang yang sudah lama tinggal di Manggarai. Pria berdarah Batak bermarga Lubis ini tinggal belakang masjid Ash-Shalihien depan terminal Manggarai ini sejak tahun 1967.
“Waktu itu sungai Ciliwung masih bisa untuk mandi,” ujar pak Tamin. “Saya pernah mandi di situ.”
Selain digunakan buat mandi, sungai Ciliwung di pinggir Manggarai ini biasa digunakan buat cuci pakaian dan cuci-cuci lain. Selama tinggal di Manggarai, tercatat sedikitnya sudah ada 3 orang yang meninggal hanyut. Pak Tamin sendiri sempat ingin menolong salah seorang dari korban, tetapi sayang seribu kali sayang, korban nggak bisa ditolong, karena arus air lebih deras.
“Biasanya yang tewas di dekat lokasi perahu getek biasa beroperasi,” tambah pak Syukur. “Soalnya pada saat menjala ikan, saya sempat menemukan ada pusaran di bawah sungai di dekat situ.”
Ada pusaran di dekat getek beroperasi yang sering menewaskan orang yang mandi di sungai Ciliwung.
Seperti juga pak Tamin, pak Syukur adalah warga yang sudah lama bermukin di Manggarai. Bahkan pak Syukur lahir di Manggarai. Pria ini dahulu seringkali mencari ikan di sungai Ciliwung. Nah, ia membenarkan cerita pak Tamin soal banyak korban yang seringkali hanyut. Lokasi perahu getek yang dimaksud pak Syukur berada di seberang toko sepeda di Pasar Rumput.
Selain cerita tentang korban hanyut di pusaran, menurut pak Syukur, memang ada penunggu di sungai Ciliwung ini. Adalah dua buaya yang menjadi penunggu. Buaya putih dan buaya buntung.
“Kalo buaya putih cukup baik,” kata pak Syukur. “Tiap kali akan ada kejadian yang berbahaya, ia selalu memberi tanda. Biasanya kepala buaya putih akan muncul ke permukaan sungai. Kalo sudah muncul kepalanya, biasanya orang-orang yang biasa mencuci nggak berani mencuci di Ciliwung.”
Sementara buaya ekor buntung nggak seperti buaya putih. Buaya ini membiarkan bencana terjadi begitu saja tanpa memberitahu. Bahkan cerita yang beredar, buaya ekor putih ini selalu mengadakan rapat dengan buaya-buaya lain dari seluruh sungai di Jakarta ini buat melakukan aksi yang bisa membahayakan manusia.
Menurut pak Syukur, orang yang memberitahu kepala buaya putih muncul adalah pria yang disebut sebagai pawang buaya. Ia bernama pak Bugeg. Pria kelahiran Bugis ini biasa berada di pinggir sungai.
DARI KOLAM RENANG KE McD
Sebelum menjadi Pasaraya Manggarai, dahulu di lokasi itu adalah pemukiman warga dan beberapa toko. Bukan cuma warga asli Manggarai, tetapi beberapa warga pendatang. Ada toko buku Montana yang dimiliki oleh orang Batak. Ada apotek Farmatika yang dimiliki oleh orang Palembang. Ada pula rumah pak Roti yang asli Manado.
“Selain rumah dan toko-toko, sebetulnya di lokasi tempat Pasaraya Manggarai situ juga bekas kuburan,” jelas pemilik toko Hiau Miauw yang nggak mau disebutkan namanya itu.
Yang juga paling dikenal warga Manggarai adalah kolam renang Zwembad. Kolam renang ini berada di dalam satu gedung, dimana terdapat juga sebuah bioskop. Menurut pak Syukur, bioskop itu hanya buka pada malam hari.
“Kalo pagi dikunjungi orang yang mau berenang. Malamnya baru bioskop yang dioperasikan,” ungkap pak Syukur. “Tapi bioskop cuma bertahan dua tahun.”
Menurut pemilik toko Hiap Miauw yang nggak mau disebutkan namanya, yang merupakan warga etnis Tionghoa yang kebetulan lahir di Manggarai, kolam renang Zwembad cuma boleh digunakan orang-orang Belanda. Sebab, kebetulan di dekat situ adalah tempat bermukimnya warga Belanda.
Lokasi kolam renang Zwembad itu berada di lokasi McDonnald yang berada di gedung Pasaraya Manggarai. Kata pak Syukur, kolam tersebut sempat dipakai buat pertandingan renang pada saat Games of the New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1962 di zaman Presiden ke-1 Soekarno
Zwembad yang ada di Manggarai ini sebenarnya merupakan 'cabang' dari zwembad yang ada di jalan Cikini (dulu ejaannya Tjikini). Sejarah membuktikan, sampai tahun 1934, zwembad di jalan Cikini -sebelah Kebon Binatang- merupakan satu-satunya di Batavia (baca: Jakarta). Pada tahun 1934 di sebelah selatan Weltevreden, dekat Manggarai dibangun Zwembad baru.
Zwembad Manggarai langsung mendapat tempat di hati masyarakat Batavia dan pengunjungnya meningkat cepat. Di antara pengunjung, terdapat para juara renang. Mereka ini biasanya bisa terlihat dengan logo ‘M’ bersayap yang ada pada seragam renang mereka. Di tahun 1935-an terutama di Jawa, memang banyak sekali lomba renang antarperkumpulan.
Ternyata Zwembad ini nggak cuma buat orang Belanda, tetapi beberapa sekolah menjadi pelanggan kolam renang ini. Maklum, saat itu belum ada kolam renang lain, salain Zwembad yang ada di Manggarai ini dan Cikini (sekarang kolam Cikini ada di dalam hotel Formula 1).
Salah satu sekolah yang menjadi pelanggan Zwembad adalah SMP 3 Filial yang berlokasi di Tebet Timur, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (pada tahun 1975 SMP 3 Filian diganti menjadi SMP 73). Menurut pak Soetono, mantan pelajar SMP 3 Filial yang kini bekerja di perusahan Lion Air, bayaran bulanan berenang di situ sekitar 15 perak.
"Waktu itu kalo pergi ke Zwembad saya naik bus robur," ucap pak Soetono yang rumahnya di Tebet Timur Dalam IX A no 8 ini. "Ada juga sih yang naik sepeda dan jalan kaki."
Pada tahun 80-an, Abdul Latief membebaskan toko-toko di dekat terminal Manggarai, termasuk kolam renang Zwembad. Selain toko-toko, beberapa pemukiman di situ juga dibebaskan. Tanah itu kelak berdiri Pasaraya Manggarai.
POHONG SENGON TEMPAT BERTEDUH
Ada toko tua di Manggarai yang sampai saat ini masih eksis. Toko ini berlokasi persis tepat di samping gedung Pasaraya Manggarai, tepatnya di jalan dr. Sahardjo no 13. Toko itu bernama Hiap Miauw.
Toko ini berdiri tahun 1932. Menurut pria beretnis Tionghoa yang ogah disebutkan namanya, nama Hiap Miauw memiliki arti. Hiap berarti kerjasama, sementara arti Miauw adalah makmur. Jadi Hiap Miauw dimaksudkan agar toko ini menjadi makmur, karena kerjasama yang baik antarsaudara.
“Kami adalah generasi kedua,” jelas pria yang kita sebut saja sebagai Engko Miauw. “Oleh karena toko kami punya arti, makanya dari dulu sampai sekarang kami tidak mau mengganti nama toko kami.”
Toko Hiap Miauw (kiri) dulu agak maju ke depan dan kalo mau ke toko kita seperti naik ke bukit, karena menjorok ke atas. Sementara lokasi pohon sengon ada di sebelah kiri, yang berada di posisi mobil parkir.
Menurut pak Syukur, toko Hiap Miauw sebelumnya menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga. Toko klontong, begitu istilahnya. Di toko ini, pak Syukur biasa beli beras yang bagus atau pulen.
“Harganya waktu itu masih 4 perak per liter,” ingat pak Syukur. “Dengan harga beras segitu, saya dapat beras yang enak banget!”
Sejalan dengan waktu, toko Hiau Miauw berubah, dari toko klontong menjadi toko bahan bangunan. Dari menjual beras dan kebutuhan rumah tangga, menjadi jualan cat tembok, tripleks, semen, kayu kaso, dan bahan bangunan lain. Tetapi Hiau Miauw nggak menjual pasir dan semen.
Tepat di sebelah toko Hiau Miauw, ada dua buah pohon sengon. Menurut Engko Miauw, pohon sengon itu ditanam sejak orangtua mereka hidup, sekitar tahun 30-an. Dua pohon itu kemudian tumbuh besar. Selain meneduhkan toko Hiau Miauw, juga meneduhkan jalan di depannya.
Oleh karena rimbun dan teduh, nggak heran banyak orang yang memanfaatkan pohon tersebut sebagai tempat beristirahat. Nggak cuma orang biasa, tetapi para pedagang pun ikut-ikutan berteduh di situ. Selain tukang buah-buahan, ada juga tukang becak.
Seperti sudah saya jelaskan di atas, bahwa pohon sengon berdiri di jalan raya Sahardjo. Artinya, kendaraan umum yang ingin menuju ke Pasar Minggu, pasti melewati pohon sengon itu. Namun menurut pak Syukur, nggak semua kendaraan umum berani melewati pohon sengon.
“Beberapa tukang delman nggak berani, karena kuda delman seringkali ngamuk,” ungkap pak Syukur. “Maklumlah, pohon sengon itu ada ‘penunggunya’.”
Boleh jadi apa yang dikatakan pak Syukur benar. Pohon sengon yang ada di samping toko Hiau Miauw itu memang ada ‘penunggunya’. Maksud ada ‘penunggunya’, ada mahkluk halusnya gitu, lho. Terbukti, ketika zaman Gubernur Ali Sadikin meminta pohon itu ditebang, banyak orang yang jatuh sakit. Sedikitnya ada 4 orang yang sempat jatuh sakit.
“Ketika ada orang yang menebang sakit, penebangan pohon dihentikan,” ujar Engko Miauw.
Selain rimbun, tinggi pohon sengon mencapai lebih dari 15 meter. Kalo kita mendekat ke pohon itu, Anda pasti akan merasa seram. Maklumlah, akar pohonnya menonjol dan kalo udah tua, kulit pohonnya akan retak-retak nggak beraturan. Meski menyeramkan, konon pohon sengon bisa dibudidayakan, lho. Saya sempat dengar, pohon sengon bisa laku dijual mencapai 400 ribu rupiah perpohon. Bayangkan kalo punya 1000 pohon, kita bisa dapat uang sebesar Rp. 400 juta rupiah. Mantabs kan?
Anyway, akhirnya pohon sengon di samping toko Hiau Miauw berhasil ditebang. Penebangan ini berkaitan dengan pelebaran jalan Sahardjo. Selain pohon sengon, yang menjadi ‘korban’ di tahun 1976 itu adalah toko Hiau Miauw itu sendiri. Kalo sebelumnya toko tersebut berada persis di ujung aspal jalan Sahardjo yang sekarang ini, gara-gara pelebaran jalan, toko jadi mundur 1,5 meter.
“Dulu toko ini cukup tinggi, karena tanah menuju ke toko menanjak,” jelas Engko Miauw. “Kabarnya akan ada pelebaran jalan lagi. Kalo ada pelebaran, habislah toko kami.”
IKAN MABOK DAN IKAN SAPU-SAPU
Ada rutinitas tahunan yang terjadi di Manggarai zaman dahulu, yakni menangkap ikan di kali Ciliwung. Lho memangnya nggak bisa setiap hari menangkap ikannya? Eit, yang ditangkap bukan ikan sembarang ikan. Yang ditangkap oleh penduduk setempat adalah ikan mabok.
Ikan mabok bukan jenis ikan, tetapi hanya aktivitas ikan yang gayanya kayak ‘orang mabok’. Ikan-ikan tersebut muncul di atas sungai Ciliwung. Hal tersebut membuat penduduk setempat mudah mendapatkan ikan-ikan tersebut. Oh iya, jenis ikan yang ditangkap itu adalah ikan keting.
Ikan sapu-sapu. Mirip lele dan nampak seram. Kulitnya bertutul dan matanya putih.
“Ikan keting itu mirip kayak ikan lele,” ungkap pak Syukur. “Namun jenis ikan ini hilang seiiring dengan era Soeharto.”
Ikan keting hilang, muncul ikan sapu-sapu. Nah, ikan sapu-sapu ini juga mirip ikan lele. Namun jenis ikan ini unik, yakni bisa membersihkan sampah-sampah di sekitar sungai, sehingga sungai Ciliwung menjadi bersih gara-gara ‘disapu’ oleh ikan ini. Itulah kenapa namanya ikan sapu-sapu (Hyposarcus Pordalis).
Menurut buku Alam Jakarta karya Ady Kristanto dan Frank Momberg (penerbit PT. Rajagrafindo Persada, 2008, hal 118), ikan sapu-sapu dianggap sebagai alien species, yakni jenis ikan pendatang.
Ikan sapu-sapu dianggap sebagai ikan yang rakus. Ia senang makan apa saja. Hebatnya, ia mampu bertahan dalam lingkungan yang ekstrem, kayak sungai Ciliwung di Manggarai ini. Tempat tinggalnya di lubang-lubang di pinggir sungai. Ciri khas ikan sapu-sapu adalah punya kulit yang keras, sehingga kalo kita banting beberapa kali, ikan ini masih bisa bertahan hidup.
Sampai kini di sungai Ciliwung masih terdapat ikan sapu-sapu. Dulu, ikan ini punya khasiat sebagai obat. Makanya jangan heran, ada beberapa orang yang menangkap ikan sapu-sapu ini dan dijual. Pasar yang paling laku adalah etnis Tionghoa. Etnis ini memang mempercayai ikan sapu-sapu berfungsi buat obat.
"Tapi menjual ikan sapu-sapu nggak utuh. Cuma badannya saja. Sementara kepalanya dipotong dan dibuang ke kali. Saya geli melihat cara orang-orang yang menjual ikan sapu-sapu itu," ungkap pak Syukur.
Tambah pak Syukur, mereka yang melakukan penjualan ikan sapu-sapu akhirnya kapok. Mereka nggak berani lagi menangkap dan menjual. Soalnya mereka sempat didatangi oleh penguasa ikan sapu-sapu yang konon marah gara-gara cara mematikan dengan memotong kepala.
Selain sebagai obat, ikan sapu-sapu ini konon juga biasa dijadikan kerupuk. Tapi yang konsumsi sebagai kerupuk jumlahnya nggak banyak, karena dagingnya pahit rasanya. Namun kita dianjurkan tidak memakan ikan sapu-sapu ini. Bukan karena dagingnya pahit, tetapi karena ikan ini suka mengkonsumsi endapan sungai yang mengandung bahan-bahan tercemar, polutan. Endapan itu masuk dan terakumulasi ke seluruh tubuh ikan sapu-sapu ini. Kebayang dong kalo kita makan?
TERMINAL TERPADU MANGGARAI
Sekitar tahun 90-an, ada rencana memekarkan terminal Manggarai. Kalo dari tahun 70-an sampai dengan 90-an luas terminal cuma kurang lebih seribu meter persegi, maka menurut rencana akan diperluas sampai 70 hektar. Wow?!
Ketika Presiden Soeharto masih berkuasa, terminal Manggarai sempat akan menjadi terminal terpadu dan menjadi terminal terbesar se-Asia Tenggara.
Adalah Siti Hadiati Rukmana alias mbak Tutut yang punya proyek pemekaran terminal Manggarai ini. Nama proyek ini dikenal sebagai terminal terpadu Manggarai. Menurut pak Syukur, terminal ini akan menggusur warga sekitar Manggarai, dari depan terminal sampai ke hotel Haris.
"Tahun 90-an developer sudah masuk ke kampung dan menawar biaya penggusuran pada warga," ujar pak Syukur. "Saya nggak ingat berapa harga per meter yang ditawar developer itu."
Tambah pak Syukur, di terminal terpadu Manggarai ini, kereta apinya akan sampai ke airport. Saking luasnya, terminal ini akan menjadi terminal terbesar se-Asia Tenggara. Terminal Blok M kalah!
Namun sayang, proyek mantan putri Presiden Soeharto ini gagal total. Batal! Gara-gara Soeharto keburu lengser dari tahta. Padahal warga di sekitar Manggarai sangat mengidamkan mereka digusur. Kenapa?
"Soalnya harga gusurannya cukup besar," ucap pak Tamin Lubis. "Ibaratnya, kalo di Manggarai kita cuma punya tanah 100 m2, begitu digusur dan pindah ke pinggiran Jakarta kita punya tanah 700 m2. Lumayan kan?"
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Wuih! Tulisan bernas, Bung Tukang Gowes. Setelah Manggarai mana lagi ya? Ada Toko Pegangsaan di pertigaan lampu merah sebelum Tuprok tuh. Kayaknya toko tua deh. Nggak sabar membaca tulisan Bung Tukang Gowes tentang itu. [Ngarep!]
BalasHapusHahaha...kang Indrawisudha bisa ajah, nih! Yg bakal disiapkan adalah menelusuri sejarah Percetakan Negara. Soal Toko Pegangsaan, daku juga bisa menelusuri, tetapi belum jadi target operasi...hehehe. Nantikan eps-eps berikutnya....
BalasHapusWah! Mantap! Dan jangan lupa penjara Salemba itu. Sekalian ya! hehehe
BalasHapus