Selasa, 12 Juni 2012

JANGAN PERNAH MAU MENGALAH DENGAN PENGENDARA MOTOR

Pejalan kaki memiliki kasta paling rendah karena dianggap paling miskin dan tak memiliki kendaraan”.

Pernyataan Pengamat Perkotaan dan Lingkungan Hidup, Nirwono Yoga yang penulis kutip dari Republika (2/3/2012) itu, tentu tidak sedang melecehkan pejalan kaki. Namun, justru ingin mengkritisi Pemerintah Kota (Pemkot) serta pemilik kendaraan yang memarjinalkan para pejalan kaki.

Buruknya kondisi trotoar di Ibu Kota, menurut Yoga, karena pola pikir Pemkot dan pemerintah pusat yang tidak memprioritaskan hak pejalan kaki. Jadi jika dikatakan pedestarian merupakan infrastruktur kota yang memiliki kasta paling rendah di kota besar, terutama di Jakarta, itu bukan omong kosong.

Bloggers, salah satu sebab mengapa pejalan kaki termarjinalkan, karena Pemkot lebih memilih memberdayakan pedagang kaki lima (PKL) dan juru parkir untuk memanfaatkan trotoar. Jika pejalan kaki ‘menghamburkan uang’, karena Pemkot harus membuat infrastruktur, sementara PKL dan juru parkir menghasilkan uang bagi kas Pemerintah Daerah (Pemda). Meski sebetulnya kas Pemda yang saya maksud di sini masih perlu dipertanyakan kelegalitasannya. Sebab, baik PKL maupun juru parkir off road, kebanyakan illegal. Tak terdata secara formal sebagai kas negara, tetapi lebih untuk pemasukkan oknum.


Dengan menggunakan pola pikir ekonomi illegal seperti itu, sampai kapan pun masalah pejalan kaki yang termarjinalkan ini tidak akan pernah selesai. Ini belum kita bongkar tentang proyek-proyek penataan area pedestarian yang dilakukan oleh 12 instansi di jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dinas Pertamanan dan Keamanan (Distamkam) mengurus masalah estetika, seperti bangku, tempat sampah, dan halte. Lalu, Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI mengurus terkait jalan dan utilitas. 

Banyaknya instansi yang memiliki kewenangan di atas trotoar membuat pengamanan dan perawatan terabaikan,” ujar Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna. “Akibatnya, banyak trotoar yang diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi. Masalahnya apa lagi kalau bukan soal uang. Mereka (PKL) kan dipungut retribusi”. 

Apa yang dikatakan Yayat memang terbukti. Fakta di lapangan, banyak halte yang dijadikan warung rokok atau kios koran. Begitu juga di jembatan penyebrangan. Saat ini jembatan penyeberangan tidak luput dari PKL. Mereka yang berjalan kaki sudah tidak nyaman lagi menyeberang, karena setengah area jalan sudah dicaplok oleh PKL. Sangat mustahil jika aparat dari Pemprov tidak tahu kondisi tersebut. 

Soal fungsinya beralih, bukan tugas kami,” begitu kata Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Jalan Jakarta Barat, Yusmada Faizal, seolah lepas tangan dari kondisi tersebut.

Sejak dari zaman Gubernur Sutiyoso sampai Fawzi Bowo (Foke) sekarang, PKL memang makin menjamur tanpa ada penertiban. Padahal sebetulnya Sutiyoso sudah sempat membuat prototipe melokalisasikan PKL di satu tempat. Namun entah kenapa di zaman Foke ini PKL dibiarkan bebas, sehingga mengganggu pejalan kaki.


Giliran di trotoar tidak ada PKL atau parkir kendaraan, para pejalan kaki belum juga aman. Mereka masih diganggu oleh para pengendara motor. Jika kebetulan sedang berjalan kaki, saya adalah orang yang tidak akan pernah memberi jalan motor-motor yang melaju di trotoar. Kompasianers, jika Anda juga pejalan kaki dan sedang berjalan di trotoar, saya sarankan JANGAN PERNAH MAU MENGALAH DENGAN PENGENDARA MOTOR. Anda punya hak untuk berjalan, bukan memberi jalan.

Ketika saya mengendarai motor, Alhamdulillah saya menahan diri untuk tidak mengambil hak para pejalan kaki dengan melajukan motor saya di trotoar. Semacet-macetnya jalan, buat saya HARAM berkendaraan di trotoar. Sebab, bagaimana kita mau mengkritisi orang lain untuk berdisiplin kalau kita sendiri tidak disiplin? Bagaimana kita mau berbicara tentang hak kita kalau hak orang lain saja kita injak-injak? Bagaimana kita membuat orang lain aman jika kebiasaan kita selalu membuat orang lain tidak aman?

Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Anda yang terbiasa merampok hak pejalan kaki. Alhamdulillah, saat ini di Kota-Kota besar tumbuh komunitas bernama Koaliasi Pejalan Kaki (KoPK). Menurut Ketua KoKP, Ahmad Safrudin, koalisi yang terdiri dari berbagai latarbelakang profesi ini merupakan komunitas yang ingin memerdekakan hak pejalan kaki dari pengguna pendaraan bermotor.

Sebuah kota yang beradab bukan terlihat dari gedung-gedung mewah, tetapi dari tingkat kedisiplinan yang terlihat di jalan raya,” ujar Safrudin ketika diinterview oleh Andy Noya di acara Kick Andy.


Beberapa waktu lalu harian Kompas sempat membuat jejak pendapat terhadap 418 responden di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok (Jabodetabek) tentang keamanan dan kenyamanan berjalan di trotoar. Tujuhpuluh koma tiga persen responden  usia 17 tahun ke atas dan sudah menikah ini mengatakan, tidak nyaman lagi berjalan di trotoar. Begitu banyak PKL dan motor melaju di trotoar. Lalu tentang faktor keamanan berjalan di trotoar, 70,3% juga mengatakan tidak aman.

Melihat fakta tersebut, kebijakan terhadap pedesterian sangat urgent! Namun, menurut Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Indonesia Ellen Tangkudung, perbaikan area pedestarian tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong. Tambah Yayat, harus jelas juga interkoneksinya dan orientasi pembangunannya.

Apakah menuju halte ke tempat kerja, rumah, ataupun stasiun bus”. 

2 komentar:

  1. perlu dicatat juga untuk pengendara motor yang naik trotoar ini juga banyak didominasi oleh tukang ojek, yang mana mereka ini memang mangkalnya juga diatas trotoar. Bukan tidak mungkin mereka ini membayar sejumlah uang untuk pangkalan tersebut kepada oknum, sehingga mereka jadi merasa "memiliki" area tersebut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Tukang Ojek mmng salah satu penyebab ketidakdisiplinan pengendara motor lain, secara mrk ini jasanya mengantar orang2 secepat mungkin dg berbagai cara. Mau lawan arus, lampu merah dihajar, naik trotoar, dll.

      Namun, agar kita sbg orang berpendidikan tdk pny kebiasaan layaknya mayoritas Tukang Ojek (kecuali kita mau disamakan dg mereka), tentu nggak boleh ikut2an tdk disiplin. Bukan begitu teman?

      Hapus