Gudeg telah mendunia. Itulah fakta pada gudeg yang tidak bisa lagi
menganggap remeh. Makanan yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan
santan dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur,
tahu, dan sambal goreng kerecek ini bukan makanan ndeso lagi, tetapi sudah menjadi makanan kaum urban.
Tentu Djuariah (79)
tak menyangka usahanya akan sukses seperti sekarang ini. Wanita yang dikenal
sebagai mbah Djum yang tak lain pemilik warung Gudeg Yu Djum ini hanya
bercita-cita tidak ingin menjadi pencari rumput untuk makanan sapi
selama-lamanya. Namun berkat kegigihannya, usaha gudeg di jalan Wijilan no 31
yang dirintis sejak 1946 maju pesat. Begitu pula warung gudeg di Dusun
Karangasem, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogya. Tak kuran dari 100 sampai
150-an mobil parkir di situ untuk menikmati gudeg Yu Djum, dimana rata-rata
satu mobil membawa 5 penumpang.
Melalui gudeg, cucu-cucu mbah Djum rata-rata telah mengecap
pendidikan tinggi. Begitu pula dengan dinasti bu Lies. Warung gudeg yang
didirikannya sejak 1990-an ini mengantarkan ketiga anaknya menjadi Sarjana.
Namun, Chandra (40), Elina (36), dan Feri (34) lebih memilih meneruskan bisnis
orangtua mereka menjual gudeg, ketimbang bekerja sesuai latar belakang
pendidikan mereka.
“Berikanlah semua yang
terbaik yang bisa kamu berikan pada pelanggan”.
Bloggers, itulah filosofi mbah Djum yang diwariskan pada anak-anaknya. Tak
heran, gudeg jualannya tetap laris hingga ke generasi kedua dan ketiga. Menurut
Haryani, anak mbah Djum, melalui filosofi itu, ibunya telah mempersiapkan
anak-anaknya untuk meneruskan tahta warung gudegnya. Sehingga, selain cita
rasa, anak-anaknya wajib mengikuti kultur yang sudah dilakukan ibunya, yang
membuat warungnya laku.
“Saya ingat betul, ibu
selalu bilang, ‘Apa yang sudah ada di tangan jangan sampai dilepas. Tekuni
saja, pasti berhasil’,” ujar Haryani (Kompas
Minggu, 3/7/2011).
Sejak 1982, tahta pergudegan mbah Djum sudah dipegang oleh
Haryani. Dinasti warung Gudeg Tugu juga diturunkan oleh Trispratoyo pada
Supadmi (57) sejak duapuluh satu tahun lalu. Trispratoyo sendiri mewarisi
bisnis gudeg dari orangtuanya yang sudah puluhan tahun berjualan di jalan AM
Sangaji, tak jauh dari Pasar Kranggan, Yogyakarta. Jadi, Supadmi adalah
generasi ketiga.
“Kami mau meneruskan usaha
ini (gudeg) karena usaha kami laku,”aku Supadmi, yang mewarisi tak cuma
pelanggan dan warung gudeg, tetapi dapur, hingga seluruh peralatan memasak.
Tak beda dengan Supadmi, Maryati (42) adalah generasi ketiga
penjual gudeg. Ia meneruskan usaha gudeg dari mertuanya, Suharti, yang laris di
Pasar Pakem, Sleman. “Ibu (Suharti)
sendiri meneruskan usaha gudeg si mbah,” ungkap Maryati. “Ternyata usaha ini (gudeg) menjanjikan”.
Bloggers, gudeg
memang sudah menjadi usaha yang menjanjikan. Makanan ndeso yang konon ditemukan
oleh Sri Sumantri, seorang istri prajurit Mataram, pada 1557 M ini bukan lagi
sekadar makanan untuk para prajurit yang membangun benteng Mataram, tetapi
sudah bertransformasi menjadi produk ekspor. Jelas fakta ini sangat
membanggakan bagi kita sebagai orang Indonesia.
(tamat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar