Sabtu, 02 Juni 2012

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 3


Gudeg mengalami transformasi. Kesimpulan itu ditulis oleh wartawan Kompas, Budi Suwarna dan Aloysius B. Kurniawan di Kompas Minggu (3 Juli 2011). Dari hasil liputan mereka, gudeg saat ini tak sekadar dianggap kuliner lokal atau nasional, tetapi sudah menjadi makanan kelas dunia.

Gudeg tidak lagi dibukus dengan daun pisang atau box karton, tetapi sudah dikemas dengan kaleng. Layaknya ikan sarden kaleng, gudeg kini dimasukkan ke dalam kaleng, dimana mampu bertahan hingga dua tahun, meski tidak menggunakan bahan pengawet.

Bloggers, begitulah tuntutan zaman. Inovasi yang kini diterapkan oleh sejumlah pengusaha gudeg agar bisa mempu mengekspor makanan khas Yogya itu melintasi batas negara dan benua. Kemasan kelang ini jelas cocok bagi konsumen yang terbiasa dengan gaya hidup praktis dan instan.

Sejak muncul diperkirakan pada 1940-an, gudeg bukan sekadar dinikmati oleh penikmat kuliner lokal maupun nasional, tetapi juga wisatawan asing yang sempat merasakan kelezatan makanan khas Yogya ini. Penjual gudeg pun sudah turun temurun. Maryati (45) misalnya. Wanita ini adalah generasi ketiga pewaris tahta warung gudeg Bu Suharti yang berlokasi di Pasar Pakem, Sleman.

Tak beda dengan mbah Djum (78). Ia adalah generasi kedua yang mewarisi dunia gudeg. Orangtuanya, (alm) Geno Suwito adalah pembuat gudeg terkenal dari Kampung Mbarek. Padahal sebelum menjadi penjual gudeg, mbah Djum yang bernama asli Djuariah ini adalah seorang pencari rumput.

Namun warisan orangtuanya bukanlah bisnis yang sudah eksis. Ada motivasi dan tekad yang kuat dari mbah Djum. Ia tidak ingin menjadi pencari rumput yang cuma memiliki penghasilan pas-pasan. Nasibnya harus bisa berubah. Sementara ‘kendaraan’ yang digunakan untuk merubah nasibnya adalah ilmu per-gudeg-an warisan orangtuanya.

Setiap hari saya harus bisa mengumpulkan tiga keranjang rumput. Dua keranjang untuk makansapi, satu keranjang untuk dijual dan uangnya ditabung di dalam bambu yang jadi tiang rumah,” tutur mbah Djum mengingat masa lalunya (Kompas, Minggu, 3/7/2011).

Begitu tabungan cukup, mulailah mbah Djum membuka usaha gudeg. Kala itu, sekitar 1950-an, ia harus berjalan kaki menuju jalan Wijilan untuk berdagang gudeg. Orangtuanya yang membuat, ia yang menjual. Setiap malam memasak, pagi jualan. Begitu terus menerus dilakukannya bertahun-tahun.

Bloggers, kini, ketika kita ke Yogya, tak ada yang tak kenal dengan Gudeg Yu Djum yang berada di Kampung Berek, tepat sebelah utara kampus Universitas Gadjah Mada. Begitu pula dengan Gudeg Bu Lies yang berada di Wijilan. Meski sudah dipegang oleh generasi kedua, namun gudeg-gudeg mereka tetap manis dan gurih.

Guna memenuhi kebutuhan pasar, bu Elies membuat inovasi dengan menjual gudeg dalam kemasan kaleng. Sebenarnya inovasi ini pertama kali dirancang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunung Kidul, Yogyakarta pada 2008-2009.

Pada 2011, inovasi karya LIPI itu diadopsi beberapa warung gudeg, mulai dari Gudeg Bu Lies, Gudeg Bu Citro, dan Gudeg Bu Joyo. Gudeg kemasan kaleng ini telah berhasil menembus pasar Arab Saudi, Belanda, dan negara-negara Eropa lain. Menurut Agus Susanto, peneliti LIPI Gunung Kidul, setiap hari memproduksi 1.000-1.500 kaleng gudeg. Sementara kemampuan produksi bisa mencapai 8.000-10.000 kaleng per hari. Itu artinya, warung-warung gudeg bisa memanfaatkan kemampuan itu untuk menjual gudeg dalam bentuk kaleng.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar