Jumat, 01 Juni 2012

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 2


Setiap hari  Sukarman (49) mengolah 200 kilogram gori (buah nangka muda) menjadi gudeg, mengupas 2.000 butir telur, dan menyembelih 150 ekor ayam. Tentu saja, bukan cuma Sukarman sendiri. Ada sekitar 40 orang yang menjadi karyawan di Gudeg Yu Djum, Dusun Karangasem, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta ini.

Kami bisa memproduksi dua atau tiga kali lipat pada akhir pekan,” ujar pria berbadan kekar itu (Kompas Minggu, 3 Juli 2011). “Produksi ditingkatkan lagi pada libur lebaran. Bahkan  kami bisa memproduksi dua ton gudeg untuk dijual pada hari kedua hingga ketujuh setelah lebaran”.

Bloggers, gara-gara Gudeg Yu Djum, Kampung Mbarek ini mendapatkan rezeki. Betapa tidak, selain banyak warga kampung yang menjadi karyawan warung gudeg itu, tak sedikit pula tumbuh warung gudeg di kampung yang berada di sisi jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Peneliti makanan tradisional dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Mudijati Gardjito memperkirakan, tradisi memproduksi gudeg di Kampung Mbarek ini muncul pada periode antara 1950 dan 1965. Perkiraan ini diambil atas dasar, pada periode 1950-an, penjual gudeg hanya bisa ditemui di pasar.

Analisa Prof. Mudjiati tersebut boleh jadi benar. Sebab, sebelum membuka warung gudeg di seberang kampus Universitas Gadjah Mada, mbah Djuwariah (nama asli pemilik Gudeg Yu Djum) masih jalan kaki dan menggendong gudegnya ke Wijilan. Bertahun-tahun kemudian, mbah Djum menggangkut dagangannya dengan becak, andong, dan kemudian mobil.

Meski jualan gudegnya ke Wilijan, tetapi sejak awal, produksi gudegnya di Kampung Mbarek. Mbah Djum adalah generasi kedua penjual gudeg. Saat orangtuanya, Geno Suwito sudah tak mampu lagi berjualan, mbah Djum yang melakukan. (alm) Geno yang memasak di Kampung Mbarek dan mbak Djum yang berjualan gudeg. Itulah cikal bakal Kampung Mbarek menjadi kampung gudeg.

Bloggers, sejak Gudeg Yu Djum diserbu banyak pelanggan, ada sekitar lima warung gudeg tumbuh di sekitar Kampung Mbarek dan mereka eksis sampai saat ini. Warung-warung itu adalah Gudeg Bu Ahmad, Gudeg Bu Atemo, Gudeg Bu Gito, Gudeg Bu Narni, dan Gudeg Bu Nendar. Yu Djum sendiri sudah tidak aktif lagi secara operasional. Ia lebih suka mengunyah sirih sambil melipat daun pisang untuk pembungkus gudeg. Sejak 1982, kedua anaknya lah yang kini mengurus warung Gudeg Yu Djum. Satu di Wijilan, satu lagi di Kampung Mbarek.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar