Setiap hari Sukarman (49)
mengolah 200 kilogram gori (buah nangka muda) menjadi gudeg, mengupas 2.000
butir telur, dan menyembelih 150 ekor ayam. Tentu saja, bukan cuma Sukarman
sendiri. Ada sekitar 40 orang yang menjadi karyawan di Gudeg Yu Djum, Dusun
Karangasem, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta ini.
“Kami bisa memproduksi dua atau
tiga kali lipat pada akhir pekan,” ujar pria berbadan kekar itu (Kompas
Minggu, 3 Juli 2011). “Produksi
ditingkatkan lagi pada libur lebaran. Bahkan kami bisa memproduksi dua ton gudeg untuk
dijual pada hari kedua hingga ketujuh setelah lebaran”.
Bloggers, gara-gara Gudeg Yu Djum, Kampung Mbarek ini mendapatkan rezeki.
Betapa tidak, selain banyak warga kampung yang menjadi karyawan warung gudeg
itu, tak sedikit pula tumbuh warung gudeg di kampung yang berada di sisi jalan
Kaliurang, Yogyakarta.
Peneliti makanan tradisional dari Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Prof. Mudijati Gardjito memperkirakan, tradisi memproduksi gudeg di
Kampung Mbarek ini muncul pada periode antara 1950 dan 1965. Perkiraan ini
diambil atas dasar, pada periode 1950-an, penjual gudeg hanya bisa ditemui di
pasar.
Analisa Prof. Mudjiati tersebut boleh jadi benar. Sebab, sebelum
membuka warung gudeg di seberang kampus Universitas Gadjah Mada, mbah Djuwariah
(nama asli pemilik Gudeg Yu Djum) masih jalan kaki dan menggendong gudegnya ke
Wijilan. Bertahun-tahun kemudian, mbah Djum menggangkut dagangannya dengan
becak, andong, dan kemudian mobil.
Meski jualan gudegnya ke Wilijan, tetapi sejak awal, produksi
gudegnya di Kampung Mbarek. Mbah Djum adalah generasi kedua penjual gudeg. Saat
orangtuanya, Geno Suwito sudah tak mampu lagi berjualan, mbah Djum yang
melakukan. (alm) Geno yang memasak di Kampung Mbarek dan mbak Djum yang
berjualan gudeg. Itulah cikal bakal Kampung Mbarek menjadi kampung gudeg.
Bloggers, sejak Gudeg Yu Djum diserbu banyak pelanggan, ada sekitar lima
warung gudeg tumbuh di sekitar Kampung Mbarek dan mereka eksis sampai saat ini.
Warung-warung itu adalah Gudeg Bu Ahmad, Gudeg Bu Atemo, Gudeg Bu Gito, Gudeg
Bu Narni, dan Gudeg Bu Nendar. Yu Djum sendiri sudah tidak aktif lagi secara
operasional. Ia lebih suka mengunyah sirih sambil melipat daun pisang untuk
pembungkus gudeg. Sejak 1982, kedua anaknya lah yang kini mengurus warung Gudeg
Yu Djum. Satu di Wijilan, satu lagi di Kampung Mbarek.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar