“Pejalan kaki memiliki kasta paling rendah karena dianggap paling miskin dan tak memiliki kendaraan”.
Pernyataan Pengamat Perkotaan dan Lingkungan Hidup, Nirwono Yoga yang penulis kutip dari Republika
 (2/3/2012) itu, tentu tidak sedang melecehkan pejalan kaki. Namun, 
justru ingin mengkritisi Pemerintah Kota (Pemkot) serta pemilik 
kendaraan yang memarjinalkan para pejalan kaki.
Buruknya kondisi trotoar di Ibu Kota, menurut
 Yoga, karena pola pikir Pemkot dan pemerintah pusat yang tidak 
memprioritaskan hak pejalan kaki. Jadi jika dikatakan pedestarian 
merupakan infrastruktur kota yang memiliki kasta paling rendah di kota 
besar, terutama di Jakarta, itu bukan omong kosong.
Bloggers, salah satu sebab mengapa pejalan kaki 
termarjinalkan, karena Pemkot lebih memilih memberdayakan pedagang kaki 
lima (PKL) dan juru parkir untuk memanfaatkan trotoar. Jika pejalan kaki
 ‘menghamburkan uang’, karena Pemkot harus membuat infrastruktur, 
sementara PKL dan juru parkir menghasilkan uang bagi kas Pemerintah 
Daerah (Pemda). Meski sebetulnya kas Pemda yang saya maksud di sini 
masih perlu dipertanyakan kelegalitasannya. Sebab, baik PKL maupun juru 
parkir off road, kebanyakan illegal. Tak terdata secara formal sebagai kas negara, tetapi lebih untuk pemasukkan oknum.
Dengan menggunakan pola pikir ekonomi illegal
 seperti itu, sampai kapan pun masalah pejalan kaki yang termarjinalkan 
ini tidak akan pernah selesai. Ini belum kita bongkar tentang 
proyek-proyek penataan area pedestarian yang dilakukan oleh 12 instansi 
di jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dinas Pertamanan 
dan Keamanan (Distamkam) mengurus masalah estetika, seperti bangku, 
tempat sampah, dan halte. Lalu, Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI mengurus 
terkait jalan dan utilitas. 
“Banyaknya instansi yang memiliki kewenangan di atas trotoar membuat pengamanan dan perawatan terabaikan,” ujar Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna. “Akibatnya,
 banyak trotoar yang diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi. 
Masalahnya apa lagi kalau bukan soal uang. Mereka (PKL) kan dipungut 
retribusi”. 
Apa yang dikatakan Yayat memang terbukti. 
Fakta di lapangan, banyak halte yang dijadikan warung rokok atau kios 
koran. Begitu juga di jembatan penyebrangan. Saat ini jembatan 
penyeberangan tidak luput dari PKL. Mereka yang berjalan kaki sudah 
tidak nyaman lagi menyeberang, karena setengah area jalan sudah dicaplok
 oleh PKL. Sangat mustahil jika aparat dari Pemprov tidak tahu kondisi 
tersebut. 
“Soal fungsinya beralih, bukan tugas kami,” begitu kata Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Jalan Jakarta Barat, Yusmada Faizal, seolah lepas tangan dari kondisi tersebut.
Sejak dari zaman Gubernur Sutiyoso sampai 
Fawzi Bowo (Foke) sekarang, PKL memang makin menjamur tanpa ada 
penertiban. Padahal sebetulnya Sutiyoso sudah sempat membuat prototipe 
melokalisasikan PKL di satu tempat. Namun entah kenapa di zaman Foke ini
 PKL dibiarkan bebas, sehingga mengganggu pejalan kaki.
Giliran di trotoar tidak ada PKL atau parkir 
kendaraan, para pejalan kaki belum juga aman. Mereka masih diganggu oleh
 para pengendara motor. Jika kebetulan sedang berjalan kaki, saya adalah
 orang yang tidak akan pernah memberi jalan motor-motor yang melaju di 
trotoar. Kompasianers, jika Anda juga pejalan kaki dan sedang 
berjalan di trotoar, saya sarankan JANGAN PERNAH MAU MENGALAH DENGAN 
PENGENDARA MOTOR. Anda punya hak untuk berjalan, bukan memberi jalan.
Ketika saya mengendarai motor, Alhamdulillah
 saya menahan diri untuk tidak mengambil hak para pejalan kaki dengan 
melajukan motor saya di trotoar. Semacet-macetnya jalan, buat saya HARAM
 berkendaraan di trotoar. Sebab, bagaimana kita mau mengkritisi orang 
lain untuk berdisiplin kalau kita sendiri tidak disiplin? Bagaimana kita
 mau berbicara tentang hak kita kalau hak orang lain saja kita 
injak-injak? Bagaimana kita membuat orang lain aman jika kebiasaan kita 
selalu membuat orang lain tidak aman?
Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Anda yang terbiasa merampok hak pejalan kaki. Alhamdulillah,
 saat ini di Kota-Kota besar tumbuh komunitas bernama Koaliasi Pejalan 
Kaki (KoPK). Menurut Ketua KoKP, Ahmad Safrudin, koalisi yang terdiri 
dari berbagai latarbelakang profesi ini merupakan komunitas yang ingin 
memerdekakan hak pejalan kaki dari pengguna pendaraan bermotor.
“Sebuah kota yang beradab bukan terlihat dari gedung-gedung mewah, tetapi dari tingkat kedisiplinan yang terlihat di jalan raya,” ujar Safrudin ketika diinterview oleh Andy Noya di acara Kick Andy.
Beberapa waktu lalu harian Kompas 
sempat membuat jejak pendapat terhadap 418 responden di Jakarta, Bogor, 
Tangerang, Bekasi, dan Depok (Jabodetabek) tentang keamanan dan 
kenyamanan berjalan di trotoar. Tujuhpuluh koma tiga persen responden 
 usia 17 tahun ke atas dan sudah menikah ini mengatakan, tidak nyaman 
lagi berjalan di trotoar. Begitu banyak PKL dan motor melaju di trotoar.
 Lalu tentang faktor keamanan berjalan di trotoar, 70,3% juga mengatakan
 tidak aman.
Melihat fakta tersebut, kebijakan terhadap pedesterian sangat urgent!
 Namun, menurut Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Indonesia 
Ellen Tangkudung, perbaikan area pedestarian tidak bisa dilakukan 
sepotong-sepotong. Tambah Yayat, harus jelas juga interkoneksinya dan 
orientasi pembangunannya.
perlu dicatat juga untuk pengendara motor yang naik trotoar ini juga banyak didominasi oleh tukang ojek, yang mana mereka ini memang mangkalnya juga diatas trotoar. Bukan tidak mungkin mereka ini membayar sejumlah uang untuk pangkalan tersebut kepada oknum, sehingga mereka jadi merasa "memiliki" area tersebut
BalasHapusBetul, Tukang Ojek mmng salah satu penyebab ketidakdisiplinan pengendara motor lain, secara mrk ini jasanya mengantar orang2 secepat mungkin dg berbagai cara. Mau lawan arus, lampu merah dihajar, naik trotoar, dll.
HapusNamun, agar kita sbg orang berpendidikan tdk pny kebiasaan layaknya mayoritas Tukang Ojek (kecuali kita mau disamakan dg mereka), tentu nggak boleh ikut2an tdk disiplin. Bukan begitu teman?