“Saya cinta mati sama Melania,” ujar kepala suster Rumah Bersalin (RB) Melania, Rawasari, Jakarta Pusat, Henny.
Menurut suster Henny, ketenangan bathin lah yang membuatnya cinta mati. Bahwa RB Melania nggak seperti RB lain, yang biasanya memasang target dalam prihal mendapatkan jumlah pasien yang akan melahirkan. Dalam rangka pasang target, beberapa RB membuat iklan, pasang spanduk, maupun sewa bilboard.
Bukan cuma pasang iklan, dalam mengejar target, seringkali RB juga mengorbankan hak pasien untuk mencoba melakukan persalinan secara normal. Nggak heran, banyak RB yang membebankan dokter kandungan agar bisa membuat pasien yang hendak melahirkan menggunakan cara cecar. Padahal sang dokter belum berusaha buat memotivasi pasien untuk terus berusaha melahirkan secara normal.
RB Melania di Percetakan Negara. Perhatikan foto tahun 70-an dan foto tahun 2010. Nggak ada perubahan dari struktur gedung. Yang berubah cuma pagar dan lingkungan sekitar RB Melania. Kalo dulu di samping kiri foto jadul itu adalah sawah dan pohon kepala, sejak tahun 2000-an di samping RB Melania sudah ada toko bahan bangunan.
“Sejak dulu dan sampai sekarang Melania tidak memiliki alat buat melahirkan cecar,” ujar suster Henny. “Karena kami percaya semua ibu bisa melahirkan secara normal.”
Saya percaya apa yang dikatakan suster Henny. Bahwa semua ibu pasti mampu melahirkan secara normal. Memang saya belum pernah merasakan bagaimana susahnya melahirkan, tetapi sekadar flashback, orangtua-orangtua kita jarang sekali yang melakukan persalinan secara cecar. Silahkan tanya orangtua Anda. Kalo pun pada saat mengeluarkan jabang bayi sulit, biasanya ibu zaman dahulu tidak di-cecar, tetapi sang bayi disedot.
Namun kini, ketika rumah sakit sudah tidak lagi menjadi tempat sosial, semua serba ditarget. Bahkan saya sempat mendengar ada salah satu dokter di rumah sakit yang berada di bilangan Jakarta Barat, terkenal sebagai dokter cecar. Maklumlah, dokter ini selalu menyuruh pasiennya untuk melakukan cecar. Sekadar info, di rumah sakit tempat dokter ini men-cecar, tarifnya 12 juta. Nah, bisa bayangkan kalo 30% dari biaya cecar masuk ke kantong si dokter. Itu belum termasuk biaya visit dan bonus target.
Tempat melahirkan. Dari dulu sampai tahun 2010 ini ya seperti ini. "Semua yang melahirkan di sini normal, karena tidak ada alat untuk cecar," kata suster Hanny.
Itulah yang membuat bathin suster Henny tidak tenang. Selalu hidup penuh dengan terget. Bekerjasama dengan dokter yang orientasinya uang, uang, dan uang. Nggak heran, sejak tahun 1984 sampai 2010 ini, suster Henny betah kerja di RB Melania.
RUMAH BERSALIN BERSEJARAH
Suster Henny adalah satu dari karyawan RB Melania yang memang punya dedikasi tinggi. Rata-rata karyawan di RB Melania memang nggak money oriented. Hal ini sesuai dengan visi dari RB Melania itu sendiri, yakni berkomitmen untuk melayani masyarakat miskin, tersisih, lemah, dan berkesusahan.
“Saya selalu mengatakan pada karyawan Melania, kalo mau cari duit bukan di Melania,” ujar ketua Yayasan Melania Dr. L. Yvonne Siboe. “Luar biasanya karyawan di sini sangat berdedikasi. Ini berkat iman. Tanpa iman, pasti mereka nggak akan betah di sini.”
RB Melania termasuk RB bersejarah. RB ini dibentuk tahun 1929. Saat itu, ibu-ibu asal Belanda yang tinggal di Batavia tergerak hatinya buat membantu perempuan-perempuan pribumi yang melahirkan. Oleh karena itulah di Bronbeekweg, Mr.Cornelis atau saat ini dikenal dengan sebutan Jatinegara, didirikan klinik Melania-tehuis untuk perempuan hamil.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1934, dibuka balai pengobatan Melania di Kampung Sawah, Bekasi. Di tahun yang sama, Melania-tehuis pindah ke Matraman, karena dinilai terlalu sempit.
Balai pengobatan Melania di Kampung Sawah, Bekasi ternyata nggak berumur panjang. Sebelas tahun setelah dibuka tahun 1934, balai pengobatan ini ditutup. Sebab, balainya rusak parah. Namun, setelah Yayasan Melania dibentuk pada tahun 17 Mei 1958, Melania di Kampung Sawah, Bekasi mulai dibangun kembali. Tepat pada tahun 1963, balai pengobatan itu dibuka lagi.
MENJAGA KOMITMEN
Saya lahir dan dibesarkan di Cempaka Putih Barat. Sejak masa kanak saya sudah mengenal RB Melania yang ada di dekat rumah saya, tepatnya di jalan Percetakan Negara, Jembatan Serong no 30, Jakarta Pusat. Sejak dulu sampai kini, RB Melania ya begitu-begitu saja. Nggak ada perubahan, baik struktur bangunan, maupun jumlah peralatan medis.
“Sempat beberapa dokter datang ke sini untuk menawarkan membuka klinik spesialis, tetapi kami tolak,” ujar dr. Yvone. “Bukan kenapa-kenapa, sebab kami tidak ingin visi dan misi kami untuk melayani pasien miskin jadi tidak tercapai. Kami ingin tetap menjaga komitmen itu, sebagaimana pendahulu-pendahulu kami.”
RB Melania di Percetakan Negara ini didirikan pada tahun 1959. Saat itu, Melania masih di bawah pengelolaan Rumah Sakit St. Carolus yang ada di Salemba, Jakarta Pusat. Waktu itu, ibu (alm.) P.K. Auwjong Peng Koen mencari tanah yang tidak jauh dari St Carolus. Ternyata ia mendapat di ujung Percetakan Negara, dimana saat itu masih berupa jalan setapak dan rawan.
Ketika pertama kali dibeli, tanah RB Melania ini bermasalah. Maklumlah waktu itu, menjual tanah masih menggunakan girik, bukan sertifikat seperti sekarang ini. Gara-gara pakai girik, semua orang bisa mengakui si pemilik tanah yang sah. Awalnya, Melania membeli pada si pemilik tanah. Namun, begitu si pemilik tanah meninggal, anaknya merasa belum menyetujui bahwa tanah yang sudah dibeli Melania ini sah, karena tidak ada tandatangannya. Akhirnya, tanah yang sekarang ditempati Melania ini sah dan punya sertifikat.
Sebenarnya tanah Melania meliputi tanah yang saat ini digunakan sebagai kampus STF Driyakara yang ada di sekitar situ. Namun menurut dr Yvone, sejak dulu sampai kini tidak ada yang tahu kapan tanah Melania menjadi tanah yang sah milik STF Driyakara. Yang pasti, STF baru membuka pendidikan di Rawasari mulai tahun 1973. Artinya jauh sesudah berdiri RB Melania pada tahun 1959.
Ketika pertama kali berdiri, RB Melania di Percetakan Negara ini hanya memiliki 1 bangsal dengan 8 tempat tidur. Kini ada dua tipe ruangan, yakni kelas I dan bangsal. Kalo kelas 1 jumlah tempat tidurnya 2, sedangkan bangsa ada 6 tempat tidur. Menurut suster Henny, dari dulu sampai sekarang ruangannya ya seperti sekarang ini.
BANGGA KERJA DI MELANIA
Sejak berdiri beberapa rumah sakit di sekeliling RB Melania di Percetakan Negara ini, jumlah pasien berkurang dari tahun ke tahun. Menurut data yang saya ambil dari buku Karya Cinta: Lima Puluh Tahun Peziarahan Melania Jakarta (2008, hal 32), pada tahun 1997 jumlah pasien mencapai sekitar 8.000 orang, atau sekitar 20-an orang per hari. Namun pada tahun 2007, jumlah pasien hanya 3.500 orang, atau nggak sampai 10 orang per hari. Jumlah ini menurun sekitar 51% dibanding sepuluh tahun lalu.
Menurut pimpinan unit Rawasari, Jeanita, penurunan tersebut disebabkan munculnya Puskesmas yang ada di dekat RB Melania. Puskesmas ini menerapkan tarif murah buat pasien.
“Kalo cabut gigi di sini (di Melania-pen) biayanya Rp 50 ribu, di Puskesmas biayanya cuma Rp 5.000,” ujar dokter gigi yang sudah bertugas di Melania selama 10 tahun ini. “Pasien jelas pilih yang tarifnya lebih murah.”
Selain Puskesmas, ada pula Rumah Sakit Islam di Cempaka Putih Tengah. Kalo mereka yang status sosialnya menengah ke atas, memilih pergi ke Rumah Sakit MH Thamrin di Salemba Tengah. Sementara mereka yang koceknya sedang-sedang saja, bisa ke St. Carolus atau ke Cipto Mangunkusomo. Itulah yang membuat RB Melania seperti nanggung. Nggak punya uang banyak ke Puskesmas, punya uang lebih mending ke rumah sakit-rumah sakit lain yang ada di sekitar situ.
Meski seperti ‘nanggung’, RB Melania Percetakan Negara tetap eksis sampai kini. Suster Henny mengaku bangga bisa bekerja di Unit Rawasari ini. Bukan soal gaji yang diterimanya , yang konon nggak begitu besar, melainkan bisa membantu melayani banyak pasien miskin.
“Ada kepuasan tersendiri ketika bisa melayani ibu bersalin secara normal,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar