Sabtu, 10 April 2010

WISATA SEPEDA KAMPUNG SERPONG

Sudah lama banget saya nggak menikmati kampung sambil bersepeda. Barangkali kalo dihitung-hitung sudah lebih dari limabelas tahun lalu, saat terakhir menggowes sepeda di antara pematang sawah atau melewati kerbau yang sedang membantu petani membajak sawah. Nggak heran ketika ditawari istri ikutan acara bersepeda menyusuri kampung, saya langsung mengiyakan.

Berhari-hari saya membayangkan jalur yang akan saya lalui di hari-H benar-benar sebuah kampung, dimana rumah masih tidak sepadat proyek Mohamad Husni Thamrin (MHT)-nya Gubernur Ali Sadikin di Jakarta ini. Rumah masih jarang. Pekarangan masih luas. Yang pasti, masih banyak pohon yang tumbuh di sekitar jalur bersepeda. Maklumlah, susah sekali menemukan jalur bersepeda model begitu di Jakarta ini. Yang ada bukan hutan pohon, tapi hutan beton dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.



Di Jakarta nggak akan menemukan lagi jalur yang masih penuh pohon dan rumah kampung kayak begini.

Hutan yang rimbun di Jakarta ini paling-paling bisa kita jumpai di Tebet Timur. Di lokasi itu ada Hutan Taman Kota yang dikelola oleh Dinas Pertanaman DKI Jakarta. Namun lokasinya nggak bicyle friendly alias bukan buat penggowes sepeda, deh. Jalur yang dibuat di situ diperuntukan buat penjalan kaki. Maklumlah jalurnya nggak terlalu panjang kalo buat menggowes sepeda.

Mencari pepohonan yang masih hijau dan rimbun di Jakarta serta rumah-rumah kampung yang jalurnya masih tanah ibarat mencari sesuatu yang nggak mungkin. Tadi itu di Tebet, apalagi di rumah saya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Ada sih beberapa jalan raya yang masih rimbun dengan pepohonan kayak di jalan menuju Taman Solo, Cempaka Putih. Atau ke arah Timur di Polomas, di jalan dari arah Kelapa Gading menuju Arion, Rawamangun. Itu masih ada jalur yang penuh pohon yang rindang. Termasuk di sepanjang jalan Diponegoro, Menteng, dan jalan-jalan yang menggunakan Hang, misalnya Hang Leukir, Hang Jebat, dan lain-lain.

Kalo mau mendapatkan jalur sepeda dengan fasilitas pepohonan yang rimbun, hijau, dan perkampungan, barangkali kudu menyisir ke pinggiran Jakarta, kayak di Cibubur, Pondok Rangon, Cilangkap, atau daerah yang sudah masuk ke wilayah antara Jakarta dan Jawa Barat (baca: Jakarta coret), yakni Cimanggis, Depok, Ciganjur, atau Bekasi. Padahal beberapa tahun lalu, Jakarta masih kampung.


Mejeng dulu di rumah sang penggagas wisata sepeda ke kampung Serpong: kang Ade. Kang Ade yang pake kaos merah, tetapi bukan yang bejilbab, lho. Yang pakai helm sepeda.

Menurut catatan seorang penulis Belanda (lihat: Ady Kristanto dan Frank Momberg, Alam Jakarta: Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta, Murai Kencana, 2008, hal 20), pada abad ke-17, Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia masih dikelilingi hutan lebat. Percaya nggak percaya, binatang kayak harimau dan badak masih nampak berkeliaran di pinggir kota. Ih, kebayang kalo dulu saya sempat ketemu harimau atau badak, yang ada pengen foto-foto terus, deh. Nggak perlu pergi ke Ujung Kulon atau Sumatera. Kalo nggak foto sendiri-sendiri, ya foto berdua bareng macan dan badak. Trus fotonya di-tag di Facebook. Keren kan?

Namun sayang seribu kali sayang. Sekarang jangankan harimau atau badak, monyet aja sudah males nongkrong di Jakarta. Wong pohon buat bergelantungan sudah nggak ada? Padahal kalo sekarang masih ada monyet yang bergelantungan di pohon, bisa kita ajak nongkrong di Bengawan Solo atau KFC. Oh iya, tentang banyaknya pohon atau perkebunan di Jakarta yang saya kisahkan di atas tadi, bukan isapan jempol. Beberapa nama wilayah yang menyangkut nama pohon atau kampung bisa kita kumpulkan. Sebut saja Cempaka Putih, Kayu Putih, Kemang, Kosambi, atau Menteng. Itu semua nama-nama pohon.


Sebelah kiri saya (berarti sebelah kanan foto) itu adalah jurang. Bukan jurang yang isinya batu-batu di sungai, sih, tetapi sebuah tanah lapang. Tetapi cukup curam, bo!

Pada tahun 1946, Jakarta masih ditemukan sekitar 256 jenis burung. Namun pada tahun 2006-2007, survey oleh Jakarta Green Monster (JGM-komunitas relawan yang peduli pada alam Jakarta) dan Fauna & Fauna Indonesia (FFI) tinggal ditemukan 121 jenis burung. Ini baru soal jenis burung, belum ngomongin ruang terbuka hijau (RTH).

Tata kota DKI Jakarta memang carut marut. Nggak sesuai dengan master plan. Menurut buku Alam Jakarta: Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta (hal 23), Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985, kawasan Senayan yang luasnya mencapai 279 hektar ini diperuntukan sebagai RTH. Kalo ada bangunan, paling-paling cuma boleh mengambil 16% dari total luas kawasan Senayan. Namun apa yang terjadi? Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Tata Kota pada tahun 1965-1985 lebih suka kongkalikong dengan pengusaha. Demi uang, pejabat Pemda rela melego tanah RTH buat dibangun gedung maupun mal.





Adegan menanjak part one. Ada yang sok kuat, ngegowes terus sampai ujung tanjakan, padahal belum pernah merasakan tantangan ini. Mereka yang realistis, begitu tak kuasa menanjak, sepedanya langsung diajak jalan bersama alias ditenteng

Pada tahun 1974, di kawasan Senayan dibangun Ratu Plaza. Gedung yang masih berdiri kokoh di jalan Sudirman ini konon mejadi cikal bakal mal pertama di Jakarta. Dulu zaman saya kalo sudah ke Ratu Plaza, rasanya kayak sudah pergi ke luar negeri. Maklum, yang ‘berani’ pergi ke Ratu Plaza tahun 70-an dianggap ‘orang gedongan’.

Setelah Ratu Plaza menempati tanah Senayan, giliran Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) menempati wilayah Senayan di tahun 1976; lalu Hotel Atlet Century (1996); Plaza Senayan (1996); Hotel Mulia (1997); Depdiknas (2003); Sudirman Palace (2003) yang kemudian berganti nama menjadi EX gara-gara Sudirman Palace bangkrut; dan beberapa bangunan lain.


Saya bukan berada di Amrik atau di Afrika, lho. Tetapi di Serpong, Tangsel. Seandainya di Jakarta ada jalur bersepeda seperti hutan kayak begini. Pasti laku keras!

Belum puas mengobrak-abrik wilayah Senayan, Pemda DKI Jakarta juga mengancurkan master plan tata kota di wilayah Utara dan Barat. Di Timur, Rencana Induk Pertama (1965-1985), Kelapa Gading adalah jalur hijau. Tetapi di masa kepemimpinan Gubernur Sumarno (1965-1966), Ali Sadikin (1966-1977), Tjokropranolo (1977-1982), sampai Gubernur Soeprapto (1982-1987), wilayah Kelapa Gading malah dijadikan pemukiman.

Adalah perusahaan property Summarecon Agung yang menjadikan wilayah Kelapa Gading diubah peruntukannya sebagai pemukiman pada tahun 1976. Dijadikannya Kelapa Gading sebagai pemukiman seolah merupakan keberhasilan PT. Summarecon. Saking bangganya, kalo kita masuk ke Kelapa Gading, ada sebuah monumen yang dibuat oleh Summarecon. Padahal, kalo sesuai master plan-nya, Kelapa Gading adalah jalur hijau. Sekarang sulit banget mencari jalur hijau di Kelapa Gading. Semuanya sudah berubah menjadi pemukiman, mal, apartemen, dan ruko. So, jangan heran kalo Kelapa Gading selalu banjir.

Lain Kelapa Gading, lain pula wilayah Angke. Dalam Rancangan Induk 1985-2005, proyek jalur hijau sudah nggak ada lagi. Penghancuran lahan hijau ini dimasa Gubernur Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto (1987-1992), Surjadi Soedirdja (1992-1997), dan Soetiyoso (1997-2007).

“Ini membuktikan bahwa pembangunan Jakarta ditentukan oleh pasar, bukan peraturan,” kata anggota Tim Penasehat Arsitektur Kota Jakarta Bambang Eryudhawan yang penulis kutip dari buku Alam Jakarta: Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta (hal 24).



"I'm really scare!" ucap Devi saat hendak meluncurkan sepedanya menurun ke bawah (foto bawah). Kata Ronald dengan gentlemen, "It's ok, you can do it!"


Itulah mengapa saya senang sekali diajak istri buat ikutan wisata kampung sambil ngegowes sepeda. Undangan yang di-email-kan via istri saya itu datang dari kang Ade. Beliaulah penggagas acara wisata kampung ini dan menggajak keluarga besar Ship South Eeast Asean Youth Program (SSEAYP) International Indonesia buat ikutan acara yang kebetulan jatuh di hari Sabtu (10/4/10) ini. Oh iya, acara ini dilaksanakan di Bumi Serpong Damai (BSD) yang kini masuk ke wilayah Tangerang Selatan (Tangsel).

Sekadar info, SSEAYP International Indonesia (SII) adalah sebuah organisasi alumni program pertukaran kapal ASEAN. Saat ini SII ini diketuai oleh Rino. Kang Ade adalah salah satu alumni tahun 1987. Saya bukan alumni SSEAYP, tetapi istri saya Sindhi Diah Savira lah yang tercatat sebagai alumni, alumni 1994 Alhamdulillah, acara wisata kampung Serpong ini mengikutsertakan keluarga. So, suami macam saya ini jadi bisa ikutan deh. Kebetulan acaranya memang saya suka, yakni ngegowes, di kampung pula. Kalo acara lain, ya barangkali saya pun bisa jadi nggak tertarik.


"Kok, nenek-nenek dipoto?" kata salah satu nenek. Pengennya sih bilang,"Habis di Jakarta kayak nenek sudah langka, Nek." Untung nggak kesampaian. Sebagai pengganti nenek difoto, saya kasih duit aja buat belanja di Carrefour selama dua bulan.

Sebelum berkeliling kampung, peserta berkumpul dulu di rumah kang Ade di jalan Mega Kencana, Sektor XII, BSD. Yang berhasil kumpul di pagi hari nan ceria adalah Devi (alumni SSEAYP 2000), Sindhi (alumni 1994), dan kemudian datang Trisna (alumni 1994). "Ronald, Melvin, dan Teguh lagi on the way katanya," ucap kang Ade. Yang dimaksud Ronald bukan ikon McDonnald, lho, tetapi alumni SSEAYP 1993. Begitu juga Melvin dan Teguh yang masing-masing juga almuni 1993.

Di rumah kang Ade ini, tim wisata kampung breakfast dulu sambil menunggu beberapa orang yang terlambat datang. Kami berterima kasih sekali pada istri kang Ade yang tega-teganya menyiapkan lontong sayur yang mak nyos di pagi itu. Lho kok tega-teganya? Eh, maksudnya sempet-sempatnya membuat lontong sayur. Bangun jam berapa ya?

Ternyata kelezatan lontong sayur istri kang Ade tercium oleh beberapa alumni SSEAYP. Nggak heran kalo dua alumni yang sengaja datang ke jalan Mega Kencana, Sektor XII, cuma numpang breakfast. Bahkan salah seorang, belum juga mandi, ujug-ujug datang dan menyantap lontong sayur. Habis itu, say goodbye deh. Harusnya mereka ini bayar ke istri kang Ade, karena cuma numpang breakfast.









Ini bukan sedang adegan pacaran atau konsultasi spiritual. Tetapi kebetulan sepeda yang dipakai Sindhi (maksudnya sepeda pinjaman, bo!) ada yang kurang beres.

Kelar breakfast, orang yang ditunggu yang menjadi tim wisata kampung, belum juga datang. Siapakah orang yang ditunggu ini? Nggak lain, nggak bukan Trio Kwek-Kwek: Ronald, Teguh, dan Melvin. Kang Ade berinisiatif mengajak tim yang sudah ready berkeliling dulu. Ya, anggap pemanasan dulu. Akhirnya, para bos yang ditunggu muncul juga. Kalo melihat jam weker, kita baru start dari rumah kang Ade buat berkeliling kampung sekitar pukul 9. Sebenarnya jam segitu sudah terlalu siang. Harusnya lebih asyik berangkat mulai pukul 7. Tapi ya namanya juga kudu mengikutsertakan ‘orang penting’, ya terpaksa kita harus berangkat kesiangan deh.

Alhamdulillah, rasa sebel gara-gara menunggu terobati. Rute yang beberapa hari terbayang-bayang, ternyata sesuai kenyataan. Acara wisata kampung sesuai dengan namanya, yakni berwisata memasuki rumah penduduk yang masih kampung, banyak pohon, ada kandang kerbau, rumah kampung, dan jalan masih banyak yang belum diaspal, dengan menggowes sepeda. Kang Ade yang menggagas ini ternyata tidak membohongi publik. Benar-benar kampung dan view-nya keren!





Terus terang saya nggak sempat ngobrol dengan warga kampung situ, karena takut ditinggal oleh tim. Maklumlah saya belum kenal jalur wisatanya. Padahal kebiasaan saya, begitu berjumpa dengan hal yang unik, menarik, atau membuat penasaran, pasti naluri reporter-nya muncul. Apalagi saya tertarik sekali mengetahui nama kampung di belakang perumahan BSD ini. Maklumlah, dulu kan mantan reporter news. Sekarang aja sudah insyaf jadi 'orang biasa'.

Dari logat penduduk setempat, kayaknya mereka berasal dari etnis Betawi dan campur etnis Sunda yang berasal dari Tangsel dan Banten-nya. Mereka yang beretnis Betawi, sebagian besar pasti bekas gusuran berbagai proyek di Jakarta. Kalo membaca buku Mengungkap Kampoeng Koeningan: Nilai Sejarah dan Warisan Sosial Budaya Kota Jakarta karya Sudarman Juwono dan Wardie Asnawie (Kuningan Press, Nov 2005), ada beberapa periode penggusuran etnis Betawi. Di antaranyanya ketika pemerintah Hindia Belanda menjalankan program perbaikan kampung yang disebut kampong verbetering tahun 1920. Gara-gara program ini, beberapa warga mengungsi ke pinggiran, termasuk ke Serpong. Hal yang sama ketika Kampung Kuningan, Jakarta Selatan digusur buat jalan tol tahun 1984; Kampung Senayan digusur buat bangun Gelora Bung Karno; dan kampung-kampung lain di tahun 60-an.

Perjalanan wisata kampung sambil ngegowes sepeda ini sebenarnya cuma menggambil rute yang tantangannya ‘biasa’. Namun sebagian anggota merasa, ‘biasa’ tetapi berat juga, euy! Menurut saya barangkali karena cuacanya sudah terlalu siang, sehingga energi panas yang dikeluarkan membuat badan kita yang kena sinar matahari jadi cepat letih dan haus. Kalo nggak banyak istirahat dan minum air putih, bisa-bisa dehidrasi lah yau.

Menurut kang Ade, jarak dari rumahnya lalu ngider-ngider ke kampung dan balik ke rumahnya lagi sekitar 12 km. Buat penggowes sepeda, jarak segitu memang biasa. Terus terang saya juga merasa begitu. Namun yang ikut di dalam tim bukan penggowes sepeda ‘profesional’, yang menganggap jarak 12 km itu cukup jauh. Harusnya buat penggowes, jarak yang terjauh ya sekitar 40-60 km. Bayangkan kalo mereka yang ikutan wisata kampung ini harus ngegowes sepanjang 40-60 km, yakin deh setelah ngegowes langsung masuk RSCM buat diinfus atau jangan-jangan malah berkunjung ke Karet atau Jeruk Purut, maksudnya ke Taman Pemakaman Umum (TPU) buat ketemu mereka yang sudah lebih dulu beristirahat.

Sebenarnya kenapa 12 km dianggap melelahkan, juga lebih karena jalur yang dilalui. Dua kali tanjakan dan dua kali turunan. Tanjakannya pun bukan tanjakan bersudut 20 derajat, tetapi ada yang sekitar 30-40 derajat, bo! Eh, ada nggak ya? Ah, yang pasti paha dan betis pegal-pegal gitu, deh. Selain tanjakan dan turunan, para peserta juga cukup berat harus berhadapan dengan beberapa kerbau. Kerbau-kerbau tersebut cukup intens melihat peserta, apalagi peserta yang belum married. Jangan-jangan kerbau-kerbau itu naksir berat.

Wisata berakhir di sebuah turunan yang ada di samping perumakan Viena di BSD City. Ada beberapa orang yang masih belum pede menggowes sepedanya sambil menurun. Nggak heran kalo ‘atraksi’ ini dilihat oleh sejumlah penduduk kampung situ. Yang nggak ngelihat bukan orang dewasa, tetapi anak-anak muda maupun para orangtua.

“Lurus saja mbak turunnya, lewat lapangan bolanya,” ujar salah seorang pria setengah baya sok menasehati.

Saya yakin, penduduk yang menasehati belum pernah merasakan sebagaimana anggota tim yang wajahnya agak pucat ketika mendapat tantangan menggowes sepeda di turunan yang curam kayak begitu. Ya namanya juga orang, terkadang sok tahu duluan, baru merasakan akibatnya ketika sudah membuktikan sendiri. Dia seharusnya juga tahu bahwa manusia juga punya rasa takut, termasuk takut nyusruk alias terjatuh.

Soal penduduk kampung ini memang lucu juga. Bukan cuma sok tahu itu tadi, tetapi ucapan-ucapan mereka pada saat rombongan kami berkeliling kampung. Setidaknya ada dua ucapan mereka yang lucu, yang kebetulan didengar oleh sebagian rombongan wisata kampung.

“Orang gedongan lewat.”

“Ah, mending tahu jalannya, sok lewat kampung kita.”

“Ngapain sih orang-orang gedongan lewat sini sih?”

Mereka pikir, jalur yang kami lalui belum pernah dilalui oleh tour guide kita, yakni kang Ade. Mereka pikir, kami semua ‘orang gedongan’? Mentang-mentang harga sepeda yang kami naiki nggak ada yang dibawah 5 juta jadi kami dianggap ‘orang gedongan’. Padahal mereka nggak tahu, di antara kami banyak yang pinjam sepeda. Setidaknya ada enam anggota tim yang pinjam sepeda dari kang Ade. Tapi ya nggak apa-apalah dibilang ‘orang gedongan’, daripada dibilang markus palsu, ya nggak? Apa hubungannya ya? Whatever lah!

Kelar berwisata kampung, kami kembali ke rumah kang Ade. Di rumah kang Ade, sudah tersedia lunch yang lagi-lagi sudah disiapkan istri kang Ade. Ada sayur bayam, ikan mas, lalapan, dan tentu saja karedok yang nyumi. Kali ini nggak ada almuni yang datang cuma khusus lunch. Eh, ada ding, sang Ketua SII, yakni mas Rino. Rupanya aroma sayur asem dan ikan mas tercium oleh mas Rino, bukan begitu mas? Selain mas Rino, nggak ada alumni lain yang datang di acara lunch.

Setelah sempat merebahkan badan, kami kemudian pamit. Saya bilang ke kang Ade, bahwa nggak terlalu lama lagi saya ingin berwisata lagi di Serpong ini. Jakarta sudah bosan saya kelilingi. Lebih dari itu, saya pun sudah tidak menemukan lagi perkampungan sebagaimana di Serpong ini. Tentunya kalo nanti jadi berwisata kampung sambil ngegowes lagi, saya ingin tantangannya lebih ditingkatkan lagi. Paling tidak tanjakan dan turunannya ada sekitar sepuluh biji.

Terima kasih kepada kang Ade dan sang istri yang sudah direpotkan oleh mahkluk-mahkluk yang kurang bertanggungjawab. Datang nggak bawa sepeda, makanan dan minuman gratisan semua, maupun ke-hospitality-an kang Ade beserta keluarga. Semoga next time kami bisa diizinkan untuk merepotkan kang Ade dan istri lagi. Auf wiedersehen!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

5 komentar:

  1. salam kenal.
    mdh2an informasi ini bermanfaat.
    Jika nanti perlu untuk merental sepeda untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan/ event-event tertentu, kami berharap bisa menghubungi My Bike yang khusus merentalkan sepeda. My Bike ada di bandung di jln. jalaprang, no. 3 surapati depan kantor imigrasi bandung. untuk lebih jelasnya, klik aja website my bike di : www.rentalsepeda.com
    thx ya, Arnold
    0817 230 8338

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tuh! teman2 sekalian, ada My Bike yang mau rental silahkan ke Pak Arnold!

      Sukses ya pak Arnold!

      Hapus
  2. salam kenal..
    kami memiliki paket berwisata sepeda A Jouney Advanture : Bike To Eat di sumatra barat.
    terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga. Sukses ya paket wisata sepadanya. Senang sekali kalo saya bisa ke sana dan menulis wisata sepeda ini...

      Hapus
  3. Terima kasih liputannya. Semoga bisa lestari dan berkelanjutan. Mungkin disana sini, perlu edit. Karena Kampung Serpong wilayahnya terletak dalam Kelurahan Serpong, Kecamatan Serpong. Jadi sempit sekali. Seperti Kampung Lengkong Gudang di Kel. Lengkong Gudang. Kedua duanya dalam wilayah Kecamatan Serpong. Kecamatan Serpong ini sejak 1989 resmi menjadi Kota Serpong, dengan Perda Kab. Tangearang No. 4 th 1989, lengkap dengan Peta Rencana Detail Tata Ruangnya. Monografi Kewedanaaan Serpong dan kemudian Kecamatan Serpong ini cukup lengkap, dengan masuknya orang orang UI mendirikan Puskesmas UI Serpong, dengan bekerjasama dengan Universitas Leiden. Disini ada asrama mahasiswa dan peneliti yang dikenal dengan Wisma Persahabatan. Saya termasuk salah satu alumni asisten peneliti dan mahasiswa KKN wilayah ini. Pertama kali saya masuk Babakan, sekarang Bakti jaya th. 1977 menemani abang beli tanah. 1978 saya masuk wisma Persahabatan meneliti hukum pengelolaan air di Serpong. Tokoh tokoh akademisi di Serpong yang berkontribusi tentang RDTR Kota Serpong seperti Prof. Firman Lubis (alm), Prof. Azrul Azwar (alm), Dr. Resna (Stikes Banten), Dokter Dukun, istri Prof. Firman. Prof. Tamrin Amal Tamagola dan istrinya. Saya usul markas Gowes bisa di lahan kami (2800 m2) di Kmp. Cadas Mapar (Kompl. KIM LIPI) samping taman tekno, dekat Taman Kota II. Jadi penyebutan yang correct Kota Serpong yang bernuansa hijau, karena yang pertama kali di rancang oleh Tajus Sobirin dengan tim ahlinya th 1989. Hendaknya karya gemilang RDTR Kota Serpong itu yang mendorong Serpong berkembang seperti sekarang.Kalau ada yang minat lihat peta Serpong dan Tangerang era dulu 1937, 1941, 1957, 1980, 1990, 2000, 2010 silahkan mampir kerumah, Belankang Masjid Rabbani, sebelah Timur Eka Hospital, dengan janjian dulu di 0811 866 905 atau di Kantor Advokat di belakang Jakarta Nanyang School (Jl. TMP Aria Wangsakara No. 58 RT 02/01 Lengkong Kiai. Salam, Rizal S. Gueci

    BalasHapus