Selasa, 14 September 2010

WACANA SOLUSI MENGATASI KEMACETAN JAKARTA – PART II

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah menjelaskan alasan ke-sok tahu-an saya tentang kelemahan busway. Pertama busway menggunakan lajur khusus, tetapi di suatu titik, busway tidak menggunakan lajur khusus alias tetap ikut jalan, dimana mungkin terjadi kemacetan. Jika jalan itu macet, busway ikut-ikutan macet. Kelemahan kedua, busway hanya bisa mengangkut penumpang terbatas.

Berbeda dengan kereta api (selanjutnya saya sebut dengan KRL). Saya yakin, Anda pasti akan mencari kelemahan KRL ini, tetapi buat saya, KRL itu sudah jelas menggunakan jalur khusus, yakni rel. Saya berani jamin, tidak akan ada kendaraan pribadi yang berani menggunakan rel KRL ini sebagaimana mobil dan motor menggunakan jalur bus Trans Jakarta.



Tidak seperti busway, kereta api tidak berhenti pada saat lampu merah. Justru semua kendaraan harus menghormati KRL ketika kendaraan ini melintas di depan mereka. KRL bak raja jalanan, karena tidak ada yang berani mencoba menyalip atau menyenggol, kecuali pengendara itu pengen menghadap Yang Kuasa. KRL hanya berhenti di tiap stasiun, kecuali KRL jurusan Kota-Pakuan yang hanya berhenti di stasiun tertentu.

Apa lagi kelebihan KRL?

Soal kecepatan. Tak seperti busway yang paling cepat melaju dengan kecepatan rata-rata 60-80 km/ jam. Sedang KRL, tentu lebih dari itu. Menurut Menteri Perhubungan Bambang Susantono, saat ini kecepatan KRL masih lambat. Itu akibat dari masih masyarakat yang membangun gubuk di sepanjang rel. Akibatnya, kereta menurunkan kecepatan sehingga target headway meleset.

Kini, headway (jarak antarkereta) 15 menit. Tahun 2015, headway-nya hanya empat menit. Luar biasa bukan? Nah, oleh karena itu, Kementrian Perhubungan saat ini sedang giat-giatnya menertibkan warga yang membangun gubuk atau warung-warung di sepanjang rel.

Tentu tidak akan berarti kalau headway empat menit jika armada KRL tidak ditambah. Betul! Saya juga berpikir begitu. Sebab, fakta di lapangan, jumlah penumpang dengan armada KRL masih tidak seimbang. Kalau Anda sempat melihat di stasiun di jam-jam sibuk –jam berangkat kerja dan pulang kerja-, masih banyak penumpang yang sampai naik ke atas gerbong, sementara di dalam gerbong juga sudah penuh sesak.

Dari data yang saya dapat, 386 unit KRL yang ada, yang beroperasi hanya 340 unit. Sisanya nongkrong jadi besi tua, karena sudah udzur. Tahukah Anda, ketika Kaisar Jepang Akihito datang ke Indonesia tahun 2000, ia sempat sedih melihat KRL Jabotabek yang buruk. Gara-gara sedih, sang Kaisar menghibahkan 72 KRL AC seri 6000. Jadi kalau Anda lihat KRL Jabotabek yang melaju, mayoritas hasil hibahan dari Kaisar Akihito.






Kereta api dan gubuk-gubuk di sepanjang rel kereta api.

Sebenarnya, selain 72 KRL hasil hibah dari Kaisar, tahun 2009-2011 menurut rencana akan datang KRL lain. Tahun 2009 rencanannya datang 88 KRL, lalu 92 KRL (2010), dan 166 KRL (2011). Namun semuanya meleset. Menurut Sekretaris Perusahaan PT Kereta Api Comuter Jabodetabek (KCJ), anak perusahaan PT Kereta Api, Makmur Syaheran, karena krisis, peremajaan subway Tokyo ditunda.

Namun pada Februari 2010, datang 8 KRL dan periode April-Juli 2010 hadir 40 KRL tipe 4000 dari Tokyo Metro. Bulan Agustus 2010 ini datang 20 unit lagi. Selanjutnya, September 10 unit, Oktober 10 unit, dan November 10 unit KRL. Apakah semua KRL hasil hibah dari Jepang? Tidak juga! Menurut Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementrian Perhubungan Tundjung Inderawan, ada 4 KRL baru buatan PT INKA dan 4 KRL baru lainnya akan diserahkan bulan Desember.

“Tahun 2011 ini diserahkan 32 KRL baru,” kata sang Dirjen.

Kenapa gerbong itu penting? Ya, jelas penting, karena berkaitan dengan daya angkut penumpang. Sampai dengan 2015, KRL akan ditargetkan memiliki jumlah armada 886 KRL. Ini jelas merupakan lonjakan yang sangat signifikan dibanding dengan jumlah unit yang sekarang beroperasi, yakni 340 unit, dimana mengangkut orang rata-rata per hari sebanyak 400 ribu penumpang.

Diharapkan pada tahun 2013, armada KRL sudah berjumlah 886 unit, karena jumlah penumpang diprediksi akan mencapai 1.496.000 orang per hari. Jumlah 1,4 juta itu tentu berasal dari penumpang yang di tahun 2010 ini masih menggunakan kendaraan pribadi.

Soal gerbong dan armada, jelas menjadi keungulan lain dari KRL dibanding dengan busway yang maksimal 85 penumpang untuk non-gandeng. Namun bukan berarti busway salah atau tidak tepat menjadi solusi kemacetan. Oh, NO! Jika sekarang busway sudah beroperasi, ya tentunya tetap harus berjalan. Malah antara busway dan kereta bisa bersinergi. Nanti setiap stasiun kereta bisa menghubungkan shelter busway, dimana untuk jarak jauh, orang menggunakan kereta, sementara di tengah kota menggunkan busway.




Tentu selain KRL yang ditambah, busway juga perlu ditambah. Sebab, menurut Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Ditjen Angkutan Darat Kemenhub Elly Sinaga, armada busway masih minim, kini baru berjumlah 426 unit untuk melayani rute seputar Jakarta sepanjang 143,35 km. Jika dibandingkan dengan India misalnya, dengan panjang trayek sekitar 22 km, tersedia lebih dari 1.300 armada busway.

“Sebenarnya kalau dulu belum ada busway, pemerintah menghidupkan lagi trem,” komentar kakak ipar saya yang lain.

Alasan kakak ipar saya masuk akal juga. Kalau busway, jalan umum yang segitu-gitu saja terpaksa “dihibahkan” khusus untuk jalur busway. Sementara jumlah mobil bertambah dan kendaraan pribadi tidak boleh masuk ke jalur itu. Padahal pemilik kendaraan pribadi itu sudah membayar pajak, tetapi mereka menganggap hak mereka dirampas dan dipaksa naik busway. Siapa yang mau dipaksa?

Nah, kalau trem memang menggunakan lajur, yakni rel, tetapi tidak menggunakan lajur khusus seperti busway. Rel trem juga bebas dipergunakan untuk kendaraan pribadi. Artinya, pemilik kendaraan pribadi boleh berjalan atau melintas di jalur trem, selama si pemilik merasa nyaman melintas atau kebetulan tidak ada trem.

Sebenarnya ketika pemerintah Indonesia masih dikuasai Belanda, pemerintah Hindia Belanda sudah punya visi seperti itu. Mari kita buka sejarah kembali. Transportasi Batavia yang bernama trem begitu laku dan menjadi primadona. Dulu jalur trem di dalam kota Jakarta ada di Menteng-Harmoni atau Menteng-Gunung Sahari-Kota Bawah.

Sejak 10 April 1899, Batavia Electrische Tram Maatscappij (BETM) sudah mengoperasikan trem listrik. Trem listrik ini merupakan cikal bakal KRL. Pendirian BETM ini cukup hebring, lho. Kenapa? Di Belanda sendiri, trem baru dioperasikan pada bulan Juli 1899 atau dua bulan setelah trem di Batavia dioperasikan. Namun sayang, ketika pemerintahan berganti, trem pun berhenti. Begitu pula ketika pengelolaan perkeretaapian sudah beralih ke pemerintah Indonesia pada 28 September 1945, kehebatan trem sudah tidak menjadi isu yang menarik lagi sebagai moda transportasi.

Anyway, sekali lagi busway sudah terlanjur diopersikan pada saat Gubernur Sutiyoso. Proyek ini sudah terlanjur dijalankan. Memang beberapa tempat sudah dilewati busway dan banyak orang yang merasakan manfaat naik basway. Namun, proyek mercusuar ini pun juga seolah menjadi proyek “asal dapat komisi” sebelum ganti kepemerintahan. Ini terbukti dengan begitu banyak shelter yang bertahun-tahun belum dioperasikan dan sudah rusak, bahkan banyak besi-besinya yang dicuri oknum. Separatoranya juga sudah bolong, padahal belum sempat dilewati busway.

Oleh karena sudah terlanjut, maka yang perlu dilakukan adalah menambah jumlah armada. Baik busway maupun KRL harus segera menambah jumlah armada. Sterilisasi di jalur busway tetap dilakukan dengan konsisten. Sangat sulit bagi pemerintah untuk menekan laju pembelian kendaraan bermotor. Selama pemerintah masih punya hutang dengan negara-negara produsen produk kendaraan bermotor –antara lain Jepang-, sulit sekali menyetop negara tersebut berdagang mobil.

Khusus KRL, menurut Menteri Perhubungan, ada beberapa yang harus dilakukan jika ingin menjadikan KRL sebagai salah satu solusi kemacetan Jakarta. Pertama, Perusahaan Listrik Negara perlu menambah daya listrik seiring penambahan armada kereta. Jangan sampai listrik tidak ada daya begitu KRL yang baru datang.

Lalu Kementrian Keuangan juga harus memberikan subsidi (public service obligation/PSO) lebih besar. Tak sekadar Rp 535 miliar per tahun, tetapi minimal Rp 700 miliar supaya layanan KRL ekonomi membaik, sehingga mereka yang sebelumnya naik kendaraan pribadi jadi tertarik naik KRL.

Pajak kendaraan DKI Jakarta senilai Rp 5,5 triliun per tahun harus dikembalikan dalam bentuk bus atau KRL. Kalau dihitung kasar, angka segitu bisa dibelikan 687,5 KRL baru. Namun agaknya Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta masih menganggap sebelah mata untuk mengalokasikan pajak tersebut ke KRL atau bus. Padahal kalau dikelola dengan baik akan menguntungkan juga.

Menurut data yang diungkapkan Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan, secara keseluruhan, total pendapatan PT KAI pada 2009 mencapai Rp 4,7 triliun. Angka ini meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya, 2008, yang sebesar Rp 4,6 triliun. Diharapkan tahun 2010 ini pendapatan akan meningkat menjadi Rp 7,3 triliun. Bayangkan jika KRL dikelola dengan baik -diremajakan serta ditambah jumlah armadanya-, bukan tidak mungkin ada peningkatan jumlah penumpang.

Menteri Perhubungan yakin sekali, dengan waktu yang mendesak, hanya KRL dan busway, yang bisa menjadi solusi kemacetan Jakarta sebelum terjadi grid lock. MRT bagaimana? Subway bagaimana? Semuanya bagus dan pasti juga solusi, tetapi itu proyek masa depan. Yang dibutuhkan sekarang solusi cepat. Busway dan KRL adalah solusi cepat.

Dalam diskusi ala warung kopi pada Idul Fitri kemarin, kakak ipar saya pun mengusulkan agar mendisiplinkan kendaraan umum. Sebab, kendaraan umum juga menjadi faktor dari kemacetan Jakarta. Bagaimana caranya?

"Pintu kendaraan umum dibuat seperti busway. Sehingga, baik para supir Metromini, Kopaja, maupun bus lain tidak bisa sembarangan menaikkan atau menurunkan penumpang. Mereka harus tertib melakukan itu di halte sebagaimana busway."

Saya pikir menarik juga. Tapi mungkin tidak ya dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Secara dengan begitu, harus ada peremajaan semua kendaraan umum, termasuk pembuatan halte setinggi busway.

all photos copyright by Brill

Tidak ada komentar:

Posting Komentar