Entah tetangga mana yang memberi tahu tukang kue rangi, setiap kali saya ada di rumah di Sabtu atau Minggu pagi, pasti tukang kue rangi itu muncul. Tiba-tiba saja teriakan khasnya mematuk telinga saya. Begitu wajah saya muncul dari balkon kamar di lantai dua, tukang kue rangi itu sudah stand by di depan pagar rumah saya. Dengan senyum khas, tentunya.
“Kue rangi, pak?” tawar tukang kue rangi itu sambil tersenyum.
“Boleh, pak! Bikinkan tiga ya?” ujar saya dari atas balkon.
Begitulah kebiasaan di weekend ketika saya berada di rumah. Tukang kue rangi itu sudah mengerti sekali, bahwa saya adalah pelanggan setia. Bukan cuma setia membeli satu, tetapi lebih dari dua, bahkan pernah lebih dari tiga.
Ia dan saya seperti sebuah magnet yang tarik menarik. Betapa tidak, setiap kali tidak ada teriakan tukang kue rangi itu, rasanya ada sesuatu yang hilang di weekend. Begitu pula dengan tukang kue rangi. Ketika weekend saya kebetulan tidak ada di rumah, ia seperti kangen. Ini terbukti dari laporan asisten rumah kami.
“Pak, tadi tukang kue ranginya nyari bapak,” ujar asisten kami.
Mendengar laporan asisten rumah kami itu terkadang sedih juga. Ya, wajarlah sedih. Sebab, dengan ketidakhadiran saya di rumah pada saat weekend, otomatis tukang kue rangi itu mendapatkan uang, karena pelanggan seperti saya absen membeli. Lho, kenapa tidak titip ke asisten rumah saja untuk dibelikan? Wah, kue rangi itu tidak enak kalau dimakan pada saat sudah tidak hangat. Rasanya sudah tidak kriuk alias bahan kuenya sudah anyep.
Selalu tidak cukup membeli satu ikat kue rangi. Minimal beli dua. Maklum, kue lokal asli Betawi favorit sejak kecil.
Saya tidak tahu pasti sejak kapan suka kue rangi. Barangkali sejak masih SD atau SMP atau SMA atau....wah, lupa! Yang pasti, buat orang kelahiran Betawi seperti saya, kue rangi menjadi kuliner yang mak nyos. By the way busway, mungkin bagi Anda yang bukan asli penduduk Jakarta atau tinggal di luar Jakarta masih asing dengan kuliner ini ya?
Baiklah saya share sedikit. Bahwa kue rangi itu bentuknya mirip kue pancong atau bandros. Ukurannya saja yang lebih kecil dan rasanya pun jauh berbeda. Sebab, kue rangi dibuat dari bahan yang sederhana, yakni campuran tepung kanji dan kelapa parut. Tepung kanji ini disajikan di atas loyang yang sudah dibentuk seperti perahu. Loyang ini memanggang tepung kanji. Setelah dipanggang, kue disajikan dengan larutan gula merah.
Waktu itu harga kue rangi seikat Rp 1.000 yang terdiri dari 12 sekat kue yang berbentuk perahu itu. Terakhir kali saya membeli awal tahun 2010 lalu harga sudah Rp 3.000 per ikat. Maklum, tepung dan gulanya sudah naik. Jadi hitung-hitungannya kalau per sekatnya adalah 250 perak.
Kini, tukang kue rangi itu tidak hadir lagi. Weekend-weekend saya pun sepi. Tak ada teriakan khasnya, tak merasakan pula kue rangi yang kriuk itu. Dimana saya biasa menyantapnya sambil membaca koran di pagi hari.
Memang saya tahu, banyak tukang kue rangi di tempat-tempat lain, entah itu yang mangkal maupun yang berkeliling dari kampung ke kampung. Tapi buat saya, tukang kue rangi langganan saya ini sudah seperti sejiwa. Kata anak sekarang, soulfull. Sedih juga membayangkan lelaki itu tidak ada lagi berdiri bersama gerobaknya di depan pagar rumah saya. Oh, tukang kue rangi, where are you? I miss you so much. Please come back as soon as possible.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar