Ada satu hal yang menyenangkan saya di Idul Fitri selain bersilaturahmi dengan orangtua dan keluarga, yakni menikmati jalan di Jakarta. Saya bukan tidak pernah pergi menyusuri jalan-jalan di Jakarta ini. Oh, no! Bukan itu. Tetapi, sebagai anak Betawi asli, saya berbahagia sekali bisa menikmati jalan raya di Jakarta ini tanpa kemacetan setahun sekali.
Memang, tidak 100% jalan di Jakarta lowong di hari pertama maupun hari kedua Idul Fitri nanti. Namun buat saya, seminggu dalam setahun, adalah momentum saya merasakan jalan-jalan Jakarta tanpa penuh kendaraan bermotor. Harap maklum, data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat, pertumbuhan kendaraan per tahun sebanyak 10%. Percaya tak percaya, tiap hari ada 890 motor baru, bo! Gokil! Sementara mobil baru per hari tercatat 240 unit.
Padahal saat ini tercatat jumlah kendaraan bermotor sudah 6,5 juta unit, dimana dari angka tersebut, 6,4 juta adalah kendaraan pribadi atau 98,6%. Bayangkan! Gimana tidak macet jalan kota Jakarta ini? Semua memakai kendaraan pribadi dan memenuhi sudut-sudut jalan di kota Jakarta ini. Sementara peningkatan jumlah kendaraan tiap tahun tidak diimbangi oleh pertumbuhan ruas jalan. Yaiyalah! Faktanya ruas jalan ya memang segitu-gitu aja, kecuali mau mengorbankan jalur-jalur hijau yang ada di pinggir jalan atau menggusur sejumlah pemukiman maupun gedung. But it’s impossible!
Salah satu titik kemacetan di Jakarta, Bunderan Hotel Indonesia, jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Ini foto tahun 1976. Kapan lagi bisa sedikit lowong seperti ini kalo tidak di Idul Fitri
Sekarang ini panjang jalan raya tercatat 7.650 km dengan luas 41,1 km persegi. Tahukah Anda, pertumbuhan jalan per tahun hanya 1%. Coba bandingkan dengan pertumbuhan kendaraan yang sudah saya sebutkan di atas, yang mencapai 10% per tahun. Data ini menunjukan setiap tahun Pemprov DKI ‘ngutang’ 9% untuk pertumbuhan jalan dan ‘hutang’ ini rasanya tidak mungkin dibayar, karena setiap tahun akan terus menumpuk dan menumpuk.
Anehnya, meski sudah data yang mengungkap indikator kemacetan dan semua warga Jakarta merasakan kondisi itu, toh kita tetap menggunakan kendaraan pribadi. Meski sudah merasa muak dengan kemacetan di Jakarta dan seringkali marah-marah, toh tetap berada di dalam kendaraan atau naik motor.
“Habis naik kendaraan umum nggak nyaman sih?”
“Enak naik motor bisa nyelip-nyelip dan cepat sampai”.
“Naik bus panas.”
“Naik bus dempet-dempetan. Baju bisa lecek begitu sampai di kantor.”
Seribu satu macam alasan kita untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi. Wajah, sangat wajar. Tetapi dengan begitu kita seolah mementingkan diri sendiri tanpa ikut andil membantu mencari solusi. Semua dibebankan pada pemerintah. Jangan heran kalau alasan kendaraan umum tidak nyaman, naik bus panas, dan lain-lain selalu menjadi alasan.
“Lho memang benar kan?”
Memang tidak salah. Tapi saya berani jamin, mereka yang biasa mengatakan ‘selama kendaraan umum belum nyaman tetap akan naik mobil pribadi’, pasti jarang naik bus atau metromini atau kopaja. Bahkan jangan-jangan belum pernah. Orang seperti ini baru melihat, tetapi belum pernah merasakan.
Ketika busway yang berpenyejuk udara dioperasikan, mereka yang mengatakan ‘naik bus panas’, juga belum sempat merasakan naik busway. Baiklah kalau sudah pernah, tetapi paling-paling baru sekali setelah itu tidak pernah naik lagi. Pasti ada alasan lagi sehingga orang model ini kembali naik kendaraan pribadi.
“Habis nunggunya lama.”
“Habis pindah dari shelter satu ke shelter lain harus jalan kaki dan jauh.”
Menikmati jalan yang sepi di kota Jakarta. Kalau tidak pada saat Idul Fitri kayaknya tidak akan mungkin terjadi.
Sejumlah orang kemudian meninggalkan comfort zone mereka dengan mengganti kendaraan, dari kendaraan bermotor ke sepeda. Saya salut dan bangga dengan mereka yang bersepeda. Hebatnya, mereka yang naik sepeda ini bukan karena tidak punya mobil atau motor, tetapi justru banyak pula yang berada dari segmentasi A-B.
Mereka adalah solusi. Penggowes sepeda ini tidak mau marah-marah atau cuma protes terhadap kemacetan Jakarta, tetapi benar-benar action. Meski sudah ada contoh mereka yang memilih tidak naik kendaraan umum, tetapi sebagian besar orang yang berkendaraan pribadi tetap saja beralasan.
“Naik sepeda di Jakarta bahaya banget!”
“Wah, takut kena polusi, mas.”
“Panas. Kalau Jakarta suhunya dingin, baru deh saya mau naik sepeda ke kantor.”
Lihat! Selalu saja ada alasan. Selama kita masih beralasan, selama itu pula warga Jakarta akan hidup dalam kemacetan. Kita akan melihat lajur TransJakarta akan dimasuki oleh kendaraan-kendaraan pribadi, karena jalanan sudah tidak cukup menampung kendaraan, sementara para pengendara ogah naik busway. Kita juga akan melihat para pejalan kaki akan was-was ketika berjalan di trotoar, karena hak mereka tercabut, karena kendaraan bermotor tega merampas jalur khusus untuk pejalan kaki.
Sampai kapan pun pemerintah dan polisi akan selalu 'dikibuli' demi tetap naik kendaraan pribadi. Mau diberlakukan pembatasan kendaraan dengan metode apa, manusia seperti kita pasti selalu ada cara. Manusia gitu, loch! 3 in 1, misalnya. Oleh karena naik mobil sendiri, sewa joki, polisi pun 'dikibuli'. Begitu juga jika diterapkan sistem nomor kendaraan genap-ganjil, bukan tidak mungkin kita akan membeli mobil dengan nomor genap dan nomor ganjil. Pokoknya manusia seperti kita ini luar biasa!
Anyway, dalam seminggu ke depan ini, sebagai anak Betawi, saya pasti akan merasakan kenikmatan memiliki jalan raya yang lengang. Saya pun yakin, jika diukur kadar pencemaran udaranya, dalam seminggu di Idul Fitri ini pasti akan jauh berkurang. Ah, rasanya saya sudah tidak sabar untuk menikmati Jakarta tanpa kemacetan seperti Jakarta dahulu kala.
all photos copyright Book of Papineaus Guide to JAKARTA (1976)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar