Jumat, 05 Februari 2016

MELIHAT SELIR-SELIR MANDI DI TAMAN NARMADA LOMBOK

Pagi ini saya menjadi turis pertama yang berkunjung ke Taman Narmada. Bahkan, saya masih tanpa membayar tiket. Pak Hatta, sopir asli Lombok dengan cuek minta izin penjaga taman untuk masuk ke dalam. Kebetulan waktu berkunjung memang belum dibuka. Oleh karena saya sudah tiba di lokasi, seolah "penjaga taman", pak Hatta mengajak saya untuk masuk.

"Wah, enak juga punya sopir yang cuek kayak gini," pikir saya.



Sebagaimana Anda tahu, kerajaan Bali pernah berkuasa di Pulau Lombok. Oleh karena Bali beragama Hindu, maka kerajaan-kerajaan Bali pun banyak membangun taman sebagai tempat peristirahatan para Raja. Nah, salah satu taman yang dibangun ya Taman Narmada ini.

Taman Narmada dibangun oleh Raja Anak Agung Gde Ngurah Karangasem pada 1727 M. Sebagian buku sejarah menulis dibangun pada 1805 M. Nama taman ini diambil dari sebuah Sungai suci di India, yakni Sungai Narmada. Oleh Raja, par arsitek taman ini diminta membuat duplikat Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak di tengah kota. Hal tersebut dilakukan agar Raja nggak perlu lagi naik ke puncak Gunung Rinjani maupun jalan ke danau Segara Anak. Sehingga saat Sang Raja sudah terlalu tua untuk melakukan ritual kurban (pekelan) ke puncak Gunung Rinjani yang punya ketinggian 3.726 meter, ia cukup berada di Taman Narmada ini.

Selain sebagai tempat khusus untuk memuja Dewa Shiwa, Taman Narmada juga diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan raja.



"Ini tempat duduk Raja dan itu kolam tempat mandi para selir raja," ujar pak Hatta. "Jadi, saat para selir mandi, raja duduk di bangku ini".

Begitu cerita pak Hatta ketika saya berada lantai dua di sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Rumah yang menjadi tempat istirahar Raja ini ada sebuah bangku kayu, dimana dari bangku kita bisa melihat sebuah kolam berukuran sekitar 10x10 meter persegi. Di tengah kolam itu terdapat air mancur. Nah, kolam itu dahulu kala tempat para selir raja mandi. Dari bangku di atas rumah peristirahatan raja itu konon raja melihat para selir itu mandi.

Sayang, pagi itu nggak ada selir yang mandi. Yang ada anak-anak SD berseragam olahraga warna biru yang berjalan di pinggir kolam.

"Itu anak-anak SD datang dari mana, Pak? Emang ada SD di taman ini?" tanya saya.

"Nggak ada mas. Itu anak-anak SD di samping taman ini," ujar pak Hatta.




Selain kolam tempat para selir mandi, ada juga tempat yang jadi incaran para turis, yakni Bale Petirtaan. Bentuknya seperti rumah berasitektur Hindu Bali. Di dalam rumah ini terdapat sumber mata air yang merupakan pertemuan 3 sumber mata air, yakni mata air Suranadi, Lingsar, dan Narmada.

Bagi umat Hindu, air ini dipandang sebagai air suci dan dapat berkhasiat untuk pengobatan. Air di Bale Pertirtaan ini dianggap sebagai Air Awet Muda. Namun, di luar umat Hindu, banyak yang mempercayai, bahwa air ini berkhasiat sebagai pengobatan dan awet muda, termasuk umat Muslim. Pak Hatta bercerita, banyak orang yang datang ke Taman Narmada ini cuma untuk mengambil air ini dan dibawa pulang.



"Ada yang mengusap-usap air di tubuhnya, ia sembuh dari penyakit," ujar pak Hatta seperti berpromosi.

Bagi yang ingin mendalami sejarah Taman Narmada, terdapat perpustakaan. Di perpustakaan, selain ada literatur, juga foto-foto Raja Anak Agung Gde Ngurah Karangasem.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar