Senin, 07 Mei 2012

Kedatangan Teman Baduy Dalam # 2: “Loe Tau Darimane Nomer Gue?”

Pada saat ke Baduy Dalam beberapa waktu lalu, saya dan istri belum pernah berjumpa dengan Yardi dan Jali. Makanya saat hadir ke rumah kami, wajah mereka asing buat kami. Katanya, saat kami ke Baduy Dalam, tepatnya ke kampung Cibeo, mereka sedang berladang. Kami hanya menjumpai Safri dan Sarta, dua teman Baduy Dalam yang berkunjung ke rumah kami.

Pekerjaan wajib masyarakat Baduy adalah ngahuma (bertanam padi lahan kering). Pekerjaan ini bukan hanya sekedar mata pencaharian, tetapi juga merupakan ibadah yang merupakan kegiatan suci. Sebab, dalam berladang aktivitas yang dilakukan adalah mengawinkan dewi padi atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri

Kegiatan berladangnya akan selalu diikuti dengan upacara-upacara keagamaan yang dipimpin oleh ketua adat.  Beberapa larangan dalam proses kegiatan berladang bagi masyarakat Baduy antara lain:  (1) tanah tidak boleh dibalik, maksudnya dalam kegiatan penanaman dilarang mencangkul, tetapi cukup dinunggal; (2) dilarang menggunakan pupuk dan oabat-obat kimia;  (3) Dilarang membuka ladang di leuweng titipan (hutan tua) atau leuweng lindungan lembur (hutan kampung); (4) waktu pengerjaan harus sesuai ketentuan, tidak saling mendahului. 

Ke-4 ketentuan dan tata cara berladang tersebut, sifatnya mutlak. Semua ditentukan secara musyawarah oleh ketua adat di Baduy-Dalam berdasarkan pikukuh karuhun serta berlaku untuk semua warga Baduy. 

Back to kisah Yardi. Sore menjelang malam, Yardi sempat mendapat telepon dari seorang wanita. Kebetulan saya belum pulang dari kantor. Istri pun tidak mencoba untuk menggali wanita yang menghubungi Yardi ini. Selain mengganggu privacy, juga tidak terlalu penting untuk dijadikan pembicaraan. 

Namun yang menarik, pada saat menerima telepon, Yardi berbicara dengan bahasa Betawi ‘medok’ sekali. Istri yang kebetulan mendengar, karena memang suara Yardi keras, jadi tersenyum sendiri.

Ini sapa, nih?!” tanya Yardi. “Loe tau darimane nomor gue?!

Oleh karena saya tidak ada, jadi saya membayangkan, Yardi bukan lagi orang Baduy Dalam yang menggunakan bahasa lokalnya. Saya membayangkan, ia seperti sosok Mandra yang sedang menerima telepon dari wanita, sebagaimana pernah muncul dalam beberapa scene di sinetron Si Doel Anak sekolahan.

Seperti sebagian dari Anda ketahui, orang Baduy Dalam menggunakan bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Meski tidak mendapat pendidikan formal, sehingga tidak bisa membaca dan menulis, sebagian besar warga Baduy Dalam apalagi Baduy Luar, mampu berbahasa Indonesia. Oleh karena sering ke Jakarta, logat Betawi Yardi ternyata lebih kental. Kata ‘elo’ dan ‘gue’ sudah dikuasai dengan lancar.
  
(bersambung)

Kedatangan Teman Baduy Dalam #1: “Kalo Bapak Nggak Ada, Kami Nggak Jadi Nginep”

Siap-siap kedatangan tamu agung dari Baduy Dalam ya…”

Pesan dari istri saya via Blackbarry Message (BBM) cukup menggagetkan. Pasalnya, kami belum membuat janji pada teman-teman dari Baduy Dalam. Bukan kami tidak mau menerima tamu, tetapi justru kami ingin menjadikan tamu terhormat, yakni dengan cara mempersiapkan segala sesuatu di rumah.

Mereka sudah sampai Cawang, Pap,” ujar istri saya lagi.

Saya yang masih berada di kantor, tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempersiapkan diri berjumpa dengan mereka. Begitu pula istri, yang kebetulan masih on the way menuju ke rumah. Walhasil, terpaksa kami menerima mereka apa adanya.

Maaf merepotkan,” ujar Syafri, salah seorang dari empat warga Baduy Dalam, saat memasuki rumah kami.

Tidak kok. Malah senang banget bisa kedatangan tamu jauh,” sambut istri. “Tapi maaf ya rumahnya kecil dan kita nggak sempat beres-beres“.

Ah, nggak apa-apa. Ini sudah lebih dari cukup,” kata Syafri lagi.

Saya dan istri senang sekali bisa dikunjungi teman-teman Baduy Dalam ini. Selain Syafri, ada Yardi, Sarta, dan Jali. Sebab, tak semua orang Jakarta yang pernah ke Baduy, akan dikunjungi oleh mereka, bahkan dijadikan rumah tempat mereka menginap.

Suami ibu pulang jam berapa?” tanya Syafri pada istri saya.

Malam itu, kebetulan saya memang belum pulang dari kantor. Ada shooting program televisi yang harus saya kontrol. Meski sebetulnya bisa dilakukan oleh Produser, namun salah satu tugas dan tanggungjawab saya di kantor, memastikan sebuah shooting berjalan dengan lancar. Nah, kebetulan kemarin saya harus pulang malam.

Memangnya kenapa, Syafri?” tanya istri.

Kalo suaminya nggak ada, kami nggak jadi nginep.”

Luar biasa! Buat saya, pernyataan itu sebuah bentuk kesopansantunan dari seorang tamu. Meski teman-teman dari Baduy Dalam ini tidak ‘berpendidikan’, ternyata mereka memiliki prilaku yang beradab. Mereka tahu, betapa tidak sopan menginap di rumah orang, tetapi kepala rumah tangga tidak ada. Satu contoh lagi yang saya belajar dari mereka.

Dalam agama saya, Islam, juga mengajarkan tentang hal ini. Meski sang tuan rumah tetap mengizinkan menginap, namun jika ada kepala rumah tangga tidak ada, maka pamali untuk bermalam. Berbeda sekali dengan beberapa orang tamu yang biasa kita jumpai. Mereka seringkali tidak peduli ada atau tidak ada pemilik rumah atau kepala rumah tangga, tetap ngotot menginap.

Ada kok, tapi nanti pulangnya malam,” jelas istri saya, menenangkan hati Syafri dan kawan-kawan.

“Suami saya juga meminta kalian bermalam di sini“.

Mereka pun akhirnya menginap di rumah kami.

(bersambung)

Selasa, 17 April 2012

@JktBerkebun #Tanam Perpisahan @Springhill

Saya baru tahu kalo bibit biji jagung warnanya biru,” ujar Rahma Umaya, presenter televisi.

Barangkali bukan cuma Rahma yang baru tahu warna bibit biji jagung. Beberapa orang yang hadir di kebun Springhill, Kemayoran, Jakarta Pusat, bisa jadi mengalami hal yang sama. Namun, beruntunglah bagi Rahma dan mereka yang baru pertama kali hadir. Sebab, acara tanam-menanam sore 15 April 2012 ini merupakan Tanam Perpisahan di kebun Spinghill.

 Lahan di Springhill merupakan lahan yang pertama dari 4 lahan yang ‘dibina’ oleh komunitas @JktBerkebun. Tanam pertama dilakukan pada Februari 2011. Selain Springhill, @JktBerkebun juga ‘memiliki’ lahan di Bumi Pesanggrahan Mas, Kelapa Gading & Bumi Bintaro Permai. Lahan-lahan tersebut merupakan lahan kosong yang tidak difungsikan.

Tepat satu setengah tahun lalu, komunitas @JktBerkebun dipinjamkan oleh pihak developer Springhill, untuk memakai lahan kosong apartemen seluas satu hektar. Waktu itu jangka waktu peminjamannya cuma tiga bulan. Waktu tiga bulan itu dimanfaatkan oleh anggota komunitas untuk mengolah tanaman agrikultural. Tanaman pertama yang waktu itu dipilih adalah kangkung.

Kenapa kangkung? Sebab, tanaman ini merupakan tanaman yang paling mudah dan cepat untuk ditanam. Kangkung hanya membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan untuk dipanen. Bagi anggota awal @JktBerkebun, proyek berkebun perdana ini memang tak ingin menargetkan menanam yang susah-susah. Yang penting anggota memiliki semangat untuk menjalankan aktivitas urban farming (istilah yang ditujukan untuk mengembalikan fungsi jalur hijau kota pada fungsi yang sebenarnya, yakni dengan melakukan kegiatan berkebun atau agrikultural di tengah kota dengan memanfaatkan lahan apa pun, baik lahan kosong atau lahan terbengkalai).

Para penggagas @JktBerkebun memang tak semua memiliki pengetahuan yang baik tentang berkebun. Harap maklum, mereka berasal dari latar belakang profesi yang bebeda. Namun ada pula beberapa anggota komunitas ini yang sudah sering melakukan house farming, atau berkebun di areal rumah mereka sendiri dan memiliki pengetahuan berkebun yang jauh lebih memadai. Keragaman itulah yang membuat mereka saling berbagi ilmu.

Kenangan tanam pertama di Springhill itu barangkali akan menjadi sejarah yang tak pernah terlupakan. Tak heran, ketika lahan di Springhill akan digunakan oleh developer, @JktBerkebun langsung mengajak seluruh pencinta berkebun untuk melakukan acara fareweel di Springhill. Judul acaranya: ‘Tanam Perpisahan’. 

Sedih juga sih lahan Springhill nggak ada lagi,” ujar Sindhi, salah satu pengiat di komunitas @JktBerkebun ini.

Buat Sindhi, Springhill punya kesan tersendiri. Dari lahan itulah ia pertama kali berkenalan dengan komunitas @JktBerkebun dan kemudian menjadi anggota aktif. Gara-gara lahan di Springhill itu pula, wanita cantik yang sempat bekerja di perusahaan logistik international ini bisa mengenalkan suami dan kedua anaknya berkebun di lahan luas.

Meski lahan Springhill kini tinggal kenangan, @JktBerkebun tetap memiliki sejumlah lahan lain, dimana lahan-lahan ini bisa menjadi arena menanam dan memaneng yang seru dan fun bersama teman dan keluarga di saat weekend.

Duhai Warmo, Kok Rasanya Gak Seenak Dahulu Kala Sih?

Nggak ada niat sedikit pun mengikuti Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI Jakarta, Didik J. Rachbini, kalo siang ini saya mampir ke Warteg Warmo di jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. Niat saya mulia, bukan mau mengobral janji, tetapi cuma mau makan.

Bahwa sebelumnya diberitakan, pada Selasa, 27 Maret 2012 lalu, Didik dan rombongan tim suksesnya bertandang ke warteg terkenal tersebut pada pukul 12.00 hingga 12.20 WIB. Di warteg ini, kader PAN yang diduetkan dengan Calon Gubernur (Cagub) Hidayat Nurwadih ini menjumpai sang pemilik, Hj. Warmo dan menanyakan pajak bagi pengusaha warteg.

 Buat saya, nggak ada urusan dengan pajak. Urusan saya cuma mau mengisi perut yang sudah keroncongan ini, karena telat breakfast. Yap! Hari ini breakfast saya cukup telat. Biasanya, saya breakfast pukul 07. Kali ini, karena harus mengantar sana-sini, jadi jadwal breakfast saya telat. Namun sayang seribu kalil sayang, breakfast saya hari ini ‘gagal’.

Menurut saya warmo sekarang gak seenak dahulu kala. Bumbu sayurnya tidak segurih dulu. Dadar telurnya sudah nggak terasa telurnya, tetapi lebih banyak tepungnya. Yang paling level-nya turun adalah sambal. Dulu sambalnya yahud. Racikannya pas. Sekarang ini, sambalnya asing banget. Entah yang buat sambal ini mau kawin atau memang sekarang ini konsepnya garam yang dikasih sambal.

 Ketidaksuksesan itu membuat saya berpikir iseng. Bolehlah warmo nggak dipajakin, asal rasanya back to basic. Bumbu yang dahulu kala mak nyus, tetap dipertahankan kekhasannya. Nggak dikurang-kurangin. Tapi kalo rasanya nggak seenak dulu, mending dipajakin aja, karena dianggap ‘menyengsarakan’ kenikmatan pelanggan lama.

Senin, 26 Maret 2012

TOUR OF BADUY DALAM # 7: “KALO BAHASA INGGRIS-NYA SAYA SUKA KAMU APA?”

Ini hari terakhir kami di kampung Cibe’o, Baduy Dalam. Waktu dua hari rasanya begitu cepat berlalu. Sebetulnya kami ingin berlama-lama lagi tinggal di sini. Selain hubungan yang sudah begitu akrab dengan Sarip, Syapri, Sarja, Sarta, Sarid, dan tentu saja dengan pak Narja, kami merasa nyaman tinggal di lingkungan yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Saat di Baduy Dalam, kami seperti hidup di alam kedamaian. Tidak dikejar-kejar oleh kesibukan, deadline, dan aneka godaan duniawi. Kami tak terkontaminasi oleh berita-berita negatif, bebas dari kasak-kusuk dunia perpolitikan yang penuh kemunafikan, dan tentu bebas polusi.

Selama dua hari, kami belajar banyak dari orang-orang Baduy Dalam. Belajar tentang kepemimpinan, loyalitas, kesederhanaan, dan tentu saja kejujuran. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa seluruh warga kampung Baduy Dalam patuh pada jabatan yang bernama Pu’un. Bagi mereka yang melanggar, akan diberikan sanksi oleh Pu’un. Sanksi yang paling keras adalah dikelarkan dari kampung.

Kepemimpinan Pu’un jelas sangat terhormat. Pu’un adalah sistem dan semua warga Baduy Dalam harus tunduk pada sistem. Loyalitas dan konsekuen pada sistem inilah yang tak ditemukan di luar Baduy Dalam. Saya berani katakan, Indonesia saat ini tidak punya pemimpin yang dihormati. Ketakutan orang pada Presiden saat ini lebih bukan karena tunduk pada sistem, tetapi mereka takut pada jabatan atau posisi. Mereka takut juga, karena ingin cari muka. Sungguh munafik.

Begitu banyak contoh, dimana Presiden tidak lagi mendapat respek dari sebagian besar warga. Tentang ketidakkonsistenan pemberantasan korupsi dan ‘tebang pilih’ pada mereka yang sudah jelas korup. Berbeda dengan apa yang kami lihat di Baduy Dalam ini. Tanpa politik pencitraan, namun dengan kesederhanaan mereka konsisiten dan loyal pada pemimpin dan hukum adat.

Harus sepagi ini, pak?” tanya Imung pada pak Narji.

Iya,” jawab pak Narji.

Sebagaimana pembicaraan tadi malam, tour leader kami, Imung, diminta pak Narji untuk menghadap ke Pu’un. Hal ini dilakukan, karena kami dianggap telah melanggar aturan. Di masa Kawalu, seharusnya kami dilarang berkunjung ke Baduy Dalam. Kalau pun boleh, seharusnya tidak lebih dari 3 orang. Sementara tim kami yang datang dan menginap di Baduy Dalam berjumlah 11orang.

Saat diperintahkan pak Narji itu, Imung sedang bercakap-cakap dengan teman kami di papange. Kebetulan suasana masih gelap, karena baru saja kami selesai melaksanakan sholat subuh berjamaah. Jam di tangan saya menunjukan pukul 04:45 wib.

Menurut pak Narji, kenapa Imung harus menghadap sepagi itu, karena para Pu’un akan melaksanakan meeting. Ada masalah mendesak yang harus dibicarakan. “Meeting para Presiden,” ujar pak Narji, yang mengistilahkan Pu’un sebagai seorang Presiden.

Sambil menunggu kabar pertemuan pak Narji dan Imung dengan Pu’un, kami bercakap-cakap dengan Syapri dan teman-temannya. Rupanya saat ini Syapri sedang senang belajar bahasa Inggris. Kesempatan berjumpa dengan kami, dimanfaatkan olehnya untuk bertanya tentang kata-kata atau percakapan sederhana dalam bahasa Inggris.

Kalau saya suka itu apa bahasa Inggrisnya?” tanya Syapri.

I like it,” jawab teman kami.

Kalo saya suka kamu, I like you,” tambah teman saya lagi.

Oh, bukan I love you ya?” protes Syapri.

Itu saya cinta atau sayang kamu…”

Keinginan belajar bahasa Inggris Syapri begitu keras. Ini terlihat dari antusiasmenya bertanya dan mengulang kata atau kalimat-kalimat yang diberikan teman saya. Melihat hal itu, salah seorang teman saya langsung mengeluarkan buku catatan kecil berwarna kuning dari tasnya dan menuliskan beberapa kata. Begitu selesai ditulis beberapa kata, langsung diberikan ke Syapri.

Syapri memegang kertas kecil sambil membaca. Beberapa teman-temannya, Sarip dan Sarid mengerumuni Syapri. Berharap bisa ikut belajar bahasa Inggris. Suasana paska Subuh itu mirip seperti kursus singkat bahasa Inggris.

Sementara teman-teman kami melakukan short course, saya ngobrol dengan teman Syapri lain, Agus. Dengannya saya baru tahu, tiga warga Baduy Dalam yang semalam pergi ke Ciboleger itu adalah mereka yang ingin membeli keperluan untuk seorang warga Baduy Dalam yang meninggal.

Ada nenek-nenek yang umurnya sudah seratus tahun meninggal,” ujar Agus.

Kita nggak boleh berkunjung ke rumah yang meninggal ya?” tanya saya penasaran.

Tidak boleh”.

Rasa penasaran itu muncul, karena biasanya dalam kematian di sebuah dearah terdapat upacara adat, sebagaimana di Batak misalnya. Ada seorang Mauli Bulung, yakni sebutan orang yang meninggal, dimana jazadnya diletakkan di peti mayat, dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan.

Kematian seseorang dengan status Mauli Bulung, menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Oleh karena itu, tidak ada lagi isak tangis. Bahkan pihak keluarga boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, yakni dengan cara memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi Penyayang.

Begitu pula upacara kematian dalam Adat Bugis Makassar yang biasa disebut Ammateang. Dimana saat ada seseorang dalam suatu kampung meninggal, mereka yang melayat biasanya membawa sidekka (semacam sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan), yakni berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat.

Sementara di luar rumah orang yang meninggal, anggota keluarganya membuat usungan (ulureng) untuk golongan to sama’ (bacanya tau samara yang artinya warga biasa) atau walasuji (golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Berbarengan dengan pembuatan ulureng, dibuat pula cekko - cekko, semacam tudungan berbentuk lengkungan panjang, sepanjang liang lahat. Cekko-cekko itu akan diletakan di atas timbunan liang lahat, saat jenazah telah dikuburkan.

Nah, saya yakin banget Baduy Dalam juga punya upacara kematian. Namun, begitu Agus mengatakan saya tidak boleh mengunjungi orang yang meninggal, pun tidak boleh mendekat ke rumah yang meninggal, saya tidak ingin melanggar perintah itu. Sebab, jika nekad, bisa jadi saya barangkali tidak bisa pulang hari ini, ‘dipaksa’ untuk berputar-putar di bukit sebagaimana pernah terjadi pada Imung, atau disihir jadi batu seperti Malin Kundang.

Lewat Agus saya juga mendapatkan info, bahwa pernah ada warga Bandung yang meninggal di sungai yang dalamnya 6 meter. Menurutnya, tewasnya warga Bandung itu bukan, karena kesalahan sungai, tetapi kesalahan si korban. Sebetulnya almarhum sudah diingatkan agar jangan berenang di sungai itu oleh Jaro, tetapi ia nekad dan kemudian tewas.

Ternyata bukan cuma seorang warga Bandung yang tewas di sungai itu, tetapi ada tiga orang lain, yang semuanya warga Baduy Dalam. “Mereka semuanya bunuh diri,” ujar Agus tanpe merinci penyebab mereka bunuh diri. “Satu orang bunuh diri sambil membawa anaknya yang masih bayi.”

Waktu sudah pukul 08:30 wib. Kami siap-siap untuk pamit, kebetulan pula Imung sudah kembali dari Pu’un. Setelah berkisah sedikit tentang pertemuannya dengan Pu’un, kami pamit dengan anggota keluarga, dimana tempat kami menginap. Saat pamit, kami mengucap banyak terima kasih pada mereka yang dengan tulus dan ikhlas telah menerima kami.

Terima kasih bapak-ibu, Insya Allah nanti kalo Syapri menikah, kami bisa berkunjung ke sini lagi,” janji salah seorang teman kami.

Kami pun meninggalkan Baduy Dalam, kampung yang selama dua hari ini kami tinggali. Kampung dengan penuh kesederhanaan, yang masih berkomitmen untuk tidak ikut godaan duniawi. Kampung yang memiliki pemimpin yang dihormati seluruh warga dan patuh pada hukum. Ah, seandainya pelajaran tentang loyalitas pada pemimpin dan hukum, kesederhanan, dan kejujuran itu ada pada diri kita yang hidup di luar Baduy Dalam ini, Indonesia pasti menjadi bangsa yang luar biasa. Namun sayang, perampok-perampok negeri ini adalah saudara-saudara kita sendiri. Jadi butuh pemimpin bertangan besi dan tidak berjiwa korup yang berani menghabisi perampok-perampok itu.

(tamat)

TOUR OF BADUY DALAM # 6: PAK NARJI DAN GOLOK BERUSIA 100 TAHUN ITU...

Ketika kami ngobrol, terdengar suara batuk anak-anak Baduy Dalam yang persis di sebelah kanan dan kiri rumah pak Narji. Bahkan keponakan pak Narji sendiri, yang malam itu tidur di ruang depan, batuk cukup parah.

Saya mendengar kabar, beberapa minggu ini, petugas kesehatan sering bolak-balik ke Baduy Dalam. Mereka mencurigai, anak-anak Baduy Dalam terserang infeksi paru-paru atau bronkitis akut, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Pneumonia.

Mengutip Wikipedia, bahwa Pneumonia adalah sebuah penyakit pada paru-paru, dimana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer, meradang dan terisi oleh cairan. Pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh bakteria, virus, jamur, atau pasilan (parasite). Radang paru-paru dapat juga disebabkan oleh kepedihan zat-zat kimia atau cedera jasmani pada paru-paru, atau sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau berlebihan minum alkohol.

Tentang berlebihan minum alkohol, saya sangat tidak yakin jika anak-anak Baduy Dalam melakukan itu. Pun orang dewasa dan orangtua di Baduy Dalam minum alkohol. Sebab, mereka anti-alkohol. Merokok saja tidak.


Selama di kampung Cibe’o, saya tidak pernah melihat orang Baduy Dalam mengisah rokok. Kabaranya di dua kampung Baduy Dalam lain pun begitu, yakni Cikertawana dan Cikeusik. Biasanya, meski di kampung-kampung pedalaman, saya seringkali menjumpai penduduk setempat merokok. Sebagian dari mereka awalnya sekadar iseng, karena untuk menghangatkan badan, karena suhu sekitar yang relatif dingin, juga sebagai ‘teman’ saat menyeruput kopi. Namun, rata-rata kebiasaan buruk itu jadi berlanjut menjadi ketergantungan. Nah, Alhamdulillah di Baduy Dalam tidak seperti kampung-kampung lain. Kampung Baduy Dalam adalah kampung bebas perokok. Padahal kalo dipikir-pikir udara di Baduy Dalam pun relatif dingin.

Ya, memang nggak ada yang mau merokok aja,” jawab pak Narja, ketika saya tanya mengapa tak ada seorang pun penduduk yang merokok.

Saya pikir, tak ada yang merokok itu, karena ada aturan adat yang melarang. Ternyata tidak. Nampaknya seluruh penduduk mengerti bahaya merokok dan sangat sayang jika alam yang asri, dinodai oleh asap nikotin, sehingga terjadi polusi. Mereka yang sangat sederhana, ternyata memiliki pola pikir modern dan sehat.

Lalu mengapa terjadi Pneumonia? Selidik punya selidik, saya menyimpulkan ada dua sebab. Yang pertama tentang rumah Baduy Dalam. Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, rumah Baduy Dalam itu tidak memiliki jendela. Baik di depan maupun samping rumah tertutup rapat oleh bilik yang disebut sase. Udara hanya masuk melalui pintu yang cuma satu-satunya, yang terletak di depan rumah. Itu pun tak semua pemilik rumah selalu membuka pintu setiap pagi.

Selain pintu, sebenarnya ada satu ventilasi tempat udara masuk. Namanya lolongok. Namun lolongok ini tidak sebesar jendela sebagaimana rumah-rumah umumnya, yang berukuran 1,5 x 3 meter atau paling kecil ½ x ½ meter. Ukuran lolongok cuma sebesar biskuit. Dari namanya saja kita tahu fungsinya bukan sebagai ventilasi, tetapi sebagai tempat mengintip.

Sebab yang kedua adalah faktor makanan. Saya sedih melihat anak-anak Baduy Dalam sudah terpengaruh snack berkadar garam dan vetsin tinggi. Barangkali Anda heran, bagaimana pola makanan tak sehat ini bisa masuk, padahal di Baduy Dalam tak ada warung. Pun anak-anak juga tidak pernah termakan bujuk rayu iklan makanan ringan tersebut, karena mereka tidak menonton televisi. Spanduk, poster, atau flyer pun tidak diizinkan muncul di kampung ini.

Kebetulan ada orang dari Ciboleger yang membuka dagangan di kampung ini,” jelas pak Narji, ketika saya tanya darimana anak-anak mengkonsumsi makanan ringan itu.

Benar saja. Ketika saya jalan menyusuri kampung, saya melihat langsung bapak berusia 50-an tahun, membuka lapak di depan sebuah rumah di Baduy Dalam ini. Di lapak tersebut, terdapat aneka snack yang biasa dikonsumsi anak-anak kota.

Saya melihat sendiri anak-anak itu mengunyah makanan ringan itu. Mereka jelas tak mengerti betapa buruk makanan itu bagi kesehatan mereka. Kebetulan orangtua mereka pun tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kandungan pada makanan tersebut. Bagi Pedagang asal Ciboleger itu juga tak peduli dengan kesehatan anak-anak. Baginya, yang penting dagangannya laku keras.

Menurut pak Narji, Pedagang asal Ciboleger itu sudah 4 tahun berdagang. Entah dari mana ia mendapatkan izin berdagang. Yang pasti baik Pu’un maupun Jero sepertinya tidak melarang, apalagi mengusir.

Habis dia juga berdagang kebutuhan pokok yang kebetulan dibutuhkan oleh masayarakat sini, seperti minyak, gula, kopi, dan kebutuhan pokok lain,” jelas pak Narji, yang sepertinya pasrah dengan kondisi tersebut.

Sambil terus berkisah, bunyi batuk anak-anak yang ada di rumah sebelah kanan dan kiri pak Narji belum juga berakhir. Saya pikir, batuk yang diderita anak-anak itu sudah lama terjadi. Mendengar suara batuk mereka, saya sedih sekali. Rasanya, mereka letih sekali dengan penyakit yang mereka derita.

Batang liling tinggal setengah. Lelehan lilin menggumpal di tepi batang itu. Ada yang menetes dan jatuh ke kayu. Mata saya sudah mulai kantuk. Saya juga melihat mata pak Narji juga mulai kriyep-kriyep. Namun, ia masih terus meladeni Imung untuk bercakap-cakap. Topik berikutnya yang dibahas tentang golok.

Jika masih punya waktu, keesokan pagi, kami akan diajak ke kampung Batu Beulah, tempat pembuatan golok.Seperti kisah saya sebelumnya, bahwa peralatan berkebun yang dilakukan Baduy Dalam hanya golok. Oleh karena itu, golok merupakan alat yang vital dan setiap orang harus memiliki golok yang terbaik.

Ini golok kepunyaan saya yang merupakan warisan kakek saya turun temurun,” papar pak Narji sambil memperlihatkan golok berukuran sekitar 30 cm itu pada saya dan Imung.

Golok itu kelihatannya biasa saja. Warna dasar besi sudah terlihat agak kusam, namun bekas tempaan besinya masih terlihat jelas. Ada kerut-kerut yang menjadi tanda bagus-tidaknya sebuah golok. Kerut-kerut pada dasar besi tersebut adalah tanda si Pengrajin golok membakar dan memlintir golok tersebut berkali-kali. Soal ketajaman golok pak Narji ini, tak perlu diragukan lagi.

Umur golok ini sudah 100 tahunan,” tambah pak Narji, seperti membuka rahasia. “Berapa pun biaya yang ditawarkan, saya tidak akan melepas golok ini”.

Sambil didekatkan ke lilin, Imung mencoba mengamati golok itu. Dari cahaya yang dipantulkan pada lilin, memang nampak golok itu ‘berbeda’ dari golok umumnya. Ada kesan magis yang nampak pada golok tersebut.

Pak Narji masuk ke ruang dalam dan kembali lagi sambil membawa gula aren yang masih dibungkus oleh kulit pisang kering. Ia mengambil golok dan memecahkan gula aren dengan golok itu. Prokk!! Dengan sekali pukul gula aren itu pecah dan kemudian diletakkan ke sebuah piring.

Besok kita lihat pembuatan golok di Batu Beulah ya. Mudah-mudahan ada Pengrajin yang sedang buat,” kata pak Narji sambil meletakkan piring berisi gula aren yang sudah terpecah-pecah itu, dan mempersilahkan kami mencicipi.

(bersambung)

TOUR OF BADUY DALAM # 5: “OH, DEKAT INDOSIAR DAN RCTI YA?”

Orang Baduy biasa menyebut sebagai orang Kanekes atau Urang Kenekes. Khusus orang Baduy Dalam biasa dikenal dengan sebutan Urang Tangtu. Bagi saya, orang Baduy Dalam menggunakan penglihatan dengan rasa dan hati. Kesimpulan ini saya ambil saat memperhatikan mereka jalan tanpa menggunakan alat penerangan, baik senter maupun obor.

Ketika saya dan teman-teman berada di papange, seorang berjalan dengan cepat menyusuri jalan. Padahal kondisi gelap gulita. Lebih dari itu, jalan di antara rumah-rumah berbatu. Jika orang biasa seperti kita, yang terjadi akan menabrak rumah atau tersandung batu.

Mereka sudah khatam dengan jalan di sini,” ujar salah seorang teman saya.

Selain seorang Baduy Dalam tadi, ada tiga orang Baduy Dalam lain yang sempat melewati kami. Mereka tampak terburu-buru. Salah seorang yang berada di depan hanya menggunakan sebatang kayu panjang.

Mau kemana pak malam-malam?” tanya pak Narja dalam bahasa Sunda.

Mau ke Ciboleger,” jawab salah seorang.

Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, Ciboleger adalah tempat perhentian terakhir kendaraan yang ingin berkunjung ke Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Jarak dari kampung Cibe’o, tempat kami menginap, ke Ciboleger kurang lebih 12 km, dan memakan waktu perjalanan sekitar 5-6 jam. Sementara dari Cibe’o ke Cijahe kurang lebih 2 km dan ditempuh dalam waktu 1-2 jam perjalanan.

Jadi, Anda bisa bayangkan, tiga orang Baduy Dalam yang hendak pergi ke Ciboleger itu, berjalan turun-naik bukit di malam hari tanpa menggunakan lampu penerangan. Luar biasa bukan?




Tepat pukul 21:10 WIB, saya pamit untuk masuk ke rumah pak Narja. Selain ngantuk, kaki sudah pegal, dan berdoa keesokan pagi segar kembali dan bisa sholat subuh. Sementara teman-teman lain sepertinya masih menikmati udara malam dan taburan bintang di langit.

Aneh bin ajaib. Sesampai di dalam rumah pak Narji, saya tidak bisa tidak, apalagi mendengar percakapan Imung, tour guide kami. Padahal saya sudah berusaha memejamkan mata, memasukkan badan ke dalam sleeping bag. Namun, saya ternyata tak kuasa untuk bangun dan ikut nimbrung mereka bercakap-cakap.

Sebetulnya di saat sekarang ini tidak boleh ada yang berkunjung ke Baduy Dalam, apalagi lebih dari 3 orang,” papar pak Narji. “Makanya besok pagi harus menghadap ke Pu’un.”

Baik, pak. Besok pagi kalo saya belum bangun, dibangunkan saja, pak,” ujar Imung.

Setiap 1 Februari atau yang bertepatan dengan bulan Karo, itu merupakan bulan Kawalu. Bulan Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy, terhitung hingga tiga bulan ke depan. Menurut pak Narji, saat kami datang ini, bertepatan dengan tanggal 1 di bulan Sapar atau 1 April di bulan Masehi atau akhir bulan Kawalu.

Di akhir bulan Kawalu ini, para tetua dan tokoh adat melakukan upacara besar, yakni perjalanan ziarah ke Arca Domas, yakni sebuah tempat yang mereka sucikan dan letakkan sangat dirahasiakan. Tak cuma dirahasiakan pada sebagian warga Baduy sendiri, apalagi bagi para penggunjung dari luar kampung.

Baduy, khususnya Baduy Dalam, memang memiliki bulan tersendiri. Sambil menghitung dengan jari, pak Narji menggungkapkan ke-12 bulan itu, mulai dari Kasa, Karo, Katilu, Sapar, Kalima, Kaanam, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapid Lemah, dan Hapid Kayu. Dan bulan Kawalu yang dijelaskan di atas tadi berada di bulan Karo, Katilu, dan Sapar.

Jika bulan Karo, Katilu, dan Sapar adalah bulan Kawalu, bulan Harpid Kayu adalah bulan yang baik untuk menikah dan mengobatin padi. Khusus mengobati padi, dilakukan dengan cara menyemprotkan daun dan buah mengkudu, yang sudah ditumbuk dan dicampur air cuka, dengan mulut.

Sambil ditemani sebatang lilin yang menyala di atas sebongkah kayu, pak Narji berkisah tentang banyak hal, mulai dari para Jenderal yang sempat berkunjung ke rumahnya itu dan tentang Hercules. Kata beliau, salah seorang Jenderal berbintang akrab dengannya. Saking akrab, ia pernah menginap di rumah sang Jenderal di Cikeas.

Tentang Herculues, kata pak Narja, belum sempat ke Baduy Dalam, karena takut capek. Mendengar itu, saya sempat tersenyum. Orang sekaliber Hercules yang sangat ditakuti itu ternyata masih takut capek. Meski begitu, antara Hercules dengan orang Baduy, terutama Baduy Dalam sangat akrab. Jika berkunjung ke Ciboleger, Hercules menanyakan tentang situasi di Baduy. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan oleh penduduk Baduy, Hercules dan kelompoknya siap mengamankan.

Pak Narja kemudian memperlihatkan sebuah buku alamat kecil, yang disimpan di dalam plastik kresek warna putih. Di buku alamat itu terdapat beberapa nama orang yang sudah berkunjung ke rumahnya, termasuk juga nama seorang anak pejabat Orde Baru (Orba).

Saya sudah dua kali ke Bandung,” ujar pak Narja. “Kalo ke Jakarta sudah sering sekali.”

Pak Narja ke Bandung sekitar 1990-an, dalam rangka diundang oleh Gubernur Jawa Barat yang pada masa itu dijabat oleh Yogie S. Memet. Setahun berikut, ia diundang kembali ke Bandung oleh salah seorang Pejabat di Gedung Sate.

Di Jakarta, pak Narja sudah keliling di hampir semua Jakarta. Ia sering menginap di belakang pusat kursus Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) di Pancoran, Jakarta Selatan. Ia juga hafal daerah di Pondok Gede, Jatiwaringin, maupun Grogol, Jakarta Barat.

Bapak kerjanya dimana?” tanya pak Narja ke saya.

Di Kedoya, pak.”

Oh, dekat Indosiar dan RCTI ya?

Saya takjub. Pak Narja ternyata tahu sekali lokasi tempat kerja saya. Ia pun kenal dengan lokasi tempat tinggal saya di Cempaka Putih.

Dekat Rawasari ya?” tanya pak Narja. “Saya sering nginap di kompleks Pengadilan.”

Saya tepuk jidat. Makin tepuk jidat begitu tahu, bahwa untuk mencapai Jakarta menghabiskan waktu perjalanan selama 2 hari. Harap maklum, orang Baduy, baik Luar maupun Dalam pantang naik kendaraan umum. Mereka selalu jalan kaki. Anda tahu berapa hari pak Narja harus ke Bandung? Lima hari!

Sebelum masuk ke Baduy Dalam, Imung sempat berpesan pada anggota tim, bahwa jangan pernah memberikan alamat atau nomor telepon jika tidak berkenan untuk didatangi orang Baduy. Saya mengerti mengapa Imung berpesan seperti itu. Sebab, banyak orang kota Metropolitan tidak berkenan menerima tamu sembarangan, terlebih lagi orang Baduy Dalam yang tidak menggunakan sendal setiap hari, tidak pernah gosok gigi dengan pasta gigi, tidak pernah mandi menggunakan sabun, tidak pernah keramas menggunakan shampo, dan tidak pernah menggunakan minyak wangi sebagai pengharum tubuh.

Dewasa ini orang kota banyak yang tidak tulus menerima orang dusun, seperti orang Baduy Dalam ini. Mereka dekat dengan orang miskin jika ada maksud tertentu, jika tidak memanfaatkan kemiskinan (baca: menjual kemiskinan agar bisa memperoleh dana dari funding) atau sebagai pencitraan yang lazim dilakukan di dunia politik. Namun saya bukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kebanyakan menjual kemiskinan, atau politikus. Saya adalah Warga Negara Indonesia yang ingin memiliki banyak teman dan sahabat. Tak heran saya tidak bisa menyembunyikan alamat saya dan terpaksa melanggar pesan Imung.

Boleh minta alamat rumah dan telepon?” tanya pak Narji.

Boleh pak,” ujar saya.

Pak Narji kemudian menyerahkan buku alamat kecil ke saya. Dengan mengandalkan cahaya lilin seadaannya, saya pun menulis alamat lengkap saya beserta no telepon rumah. Bagi saya, permohonan pak Narji meminta alamat dan nomor telepon saya adalah sebuah bentuk awal silaturahim. Dan saya pun sangat senang mendapatkan teman baru.

(bersambung)