Kamis, 30 September 2010

ASURANSI UNTUK PENGGOWES SEPEDA

Dalam statusnya di FB, teman SMA saya menulis: “Hari ini ke kota naik kereta trus sambung sepeda, dari Bintaro ke Menteng...:)”. Meski ada satu orang yang berkomentar sinis (“hidup sehat! Tapi tetep kena polusi mas”), namun mayoritas berkomentar positif. Salah satu komentar adalah salut dengan pilihannya menggunakan sepeda.

Teman saya ini bukan "orang sembarangan". Ia adalah seorang sutradara terkenal di Indonesia yang sudah meraih penghargaan tingkat internasional dimana-mana. Kalo dibilang nggak punya mobil, nggak mungkin. Jadi, kalo ada yang mengacungkan two thumbs, wajar. Kedua, dianggap problem solver. Kenapa? ketika sebagian besar orang Jakarta lebih suka komplain, protes, atau marah-marah pada pemerintah DKI Jakarta, ketimbang mencari solusi agar kemacetan tidak terjadi, eh teman saya justru memilih naik sepeda.

Thx semua. Keretanya tepat waktu dan ber AC. Walau cukup rame dan rumit juga pegang sepeda hehehe. Jalur sepeda gue lewat daerah Menteng, jadi banyak pohon,” tulis teman saya itu lagi menanggapi komentar teman-temannya.




Saat ini menggunakan sepeda memang menjadi pilihan warga Jakarta. Saya sungguh salut dengan “pejuang-pejuang lingkungan” ini. Lebih dari itu, saya acungkan jempol dengan kelompok-kelompok sepeda yang beberapa tahun ini menjamur, salah satunya Bike to Work (B2W). Lewat sang Ketua, Toto Sugito, B2W terus berjuang untuk diberikan bike line alias jalur sepeda, agar “pejuang-pejuang lingkungan” ini bisa mengowes sepeda dengan aman.

Harap maklum, selama ini sepeda seringkali “dikucilkan” oleh kendaraan lain di jalan raya. Padahal kalo dipikir para penggoweslah yang turut andil dalam menurunkan kadar polusi di kota seperti Jakarta. Memang belum signifikan, namun sekecil-kecilnya jumlah mereka, para penggowes ini tetap sebagai penyumbang oksigen.

Oleh karena belum ada bike line dan keselamatan para penggowes masih relatif belum aman, namun Toto Sugito membuat kerjasama dengan PT Avrist Assurance. Dari namanya pasti kita sudah bisa menebak, bahwa PT Avrist adalah perusahaan asuransi. Perusahaan ini akan memberikan perlindungan bagi para anggota –saat ini masih para anggota B2W- jika terjadi kecelakaan di jalan. Program kerjasama ini bernama Bicycle Privilage Card (BPC).

Sekadar info, saat ini anggota B2W yang terdaftar berjumlah 20 ribu orang dan tersebar di 85 wilayah seluruh Indonesia. Lewat kerjasama dengan PT Avrist Assurance, anggota yang terdaftar itu akan mendapatkan pertanggungan senilai Rp 10 juta untuk kematian atau cacat tetap, serta Rp 1 juta untuk perawatan rumah sakit (medical reimbursement). Nah, untuk memperoleh fasilitas itu, anggota cukup membayar Rp 75 ribu per tahun.

Barangkali bagi Anda melihat nilai pertanggungannya kecil. Buat saya, kecil-besar relatif. Tentu yang harus kita nilai adalah itikad komunitas B2W untuk melindungi para anggotanya, yakni dengan cara kerjasama dengan perusahaan asuransi. Lagi pula yang harus dilakukan pertama adalah melakukan tindakan preventif saat menggowes sepeda di jalan raya, yakni dengan menggunakan aksesori dalam bersepeda (helm, masker hidung, bel, dll) dan mematuhi aturan lalu lintas.

Kriing! Kriing! Gowes! Gowes!

Photo copyright Formula Magazine-Volume IV-Juni 2010

Selasa, 14 September 2010

WACANA SOLUSI MENGATASI KEMACETAN JAKARTA – PART II

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah menjelaskan alasan ke-sok tahu-an saya tentang kelemahan busway. Pertama busway menggunakan lajur khusus, tetapi di suatu titik, busway tidak menggunakan lajur khusus alias tetap ikut jalan, dimana mungkin terjadi kemacetan. Jika jalan itu macet, busway ikut-ikutan macet. Kelemahan kedua, busway hanya bisa mengangkut penumpang terbatas.

Berbeda dengan kereta api (selanjutnya saya sebut dengan KRL). Saya yakin, Anda pasti akan mencari kelemahan KRL ini, tetapi buat saya, KRL itu sudah jelas menggunakan jalur khusus, yakni rel. Saya berani jamin, tidak akan ada kendaraan pribadi yang berani menggunakan rel KRL ini sebagaimana mobil dan motor menggunakan jalur bus Trans Jakarta.



Tidak seperti busway, kereta api tidak berhenti pada saat lampu merah. Justru semua kendaraan harus menghormati KRL ketika kendaraan ini melintas di depan mereka. KRL bak raja jalanan, karena tidak ada yang berani mencoba menyalip atau menyenggol, kecuali pengendara itu pengen menghadap Yang Kuasa. KRL hanya berhenti di tiap stasiun, kecuali KRL jurusan Kota-Pakuan yang hanya berhenti di stasiun tertentu.

Apa lagi kelebihan KRL?

Soal kecepatan. Tak seperti busway yang paling cepat melaju dengan kecepatan rata-rata 60-80 km/ jam. Sedang KRL, tentu lebih dari itu. Menurut Menteri Perhubungan Bambang Susantono, saat ini kecepatan KRL masih lambat. Itu akibat dari masih masyarakat yang membangun gubuk di sepanjang rel. Akibatnya, kereta menurunkan kecepatan sehingga target headway meleset.

Kini, headway (jarak antarkereta) 15 menit. Tahun 2015, headway-nya hanya empat menit. Luar biasa bukan? Nah, oleh karena itu, Kementrian Perhubungan saat ini sedang giat-giatnya menertibkan warga yang membangun gubuk atau warung-warung di sepanjang rel.

Tentu tidak akan berarti kalau headway empat menit jika armada KRL tidak ditambah. Betul! Saya juga berpikir begitu. Sebab, fakta di lapangan, jumlah penumpang dengan armada KRL masih tidak seimbang. Kalau Anda sempat melihat di stasiun di jam-jam sibuk –jam berangkat kerja dan pulang kerja-, masih banyak penumpang yang sampai naik ke atas gerbong, sementara di dalam gerbong juga sudah penuh sesak.

Dari data yang saya dapat, 386 unit KRL yang ada, yang beroperasi hanya 340 unit. Sisanya nongkrong jadi besi tua, karena sudah udzur. Tahukah Anda, ketika Kaisar Jepang Akihito datang ke Indonesia tahun 2000, ia sempat sedih melihat KRL Jabotabek yang buruk. Gara-gara sedih, sang Kaisar menghibahkan 72 KRL AC seri 6000. Jadi kalau Anda lihat KRL Jabotabek yang melaju, mayoritas hasil hibahan dari Kaisar Akihito.






Kereta api dan gubuk-gubuk di sepanjang rel kereta api.

Sebenarnya, selain 72 KRL hasil hibah dari Kaisar, tahun 2009-2011 menurut rencana akan datang KRL lain. Tahun 2009 rencanannya datang 88 KRL, lalu 92 KRL (2010), dan 166 KRL (2011). Namun semuanya meleset. Menurut Sekretaris Perusahaan PT Kereta Api Comuter Jabodetabek (KCJ), anak perusahaan PT Kereta Api, Makmur Syaheran, karena krisis, peremajaan subway Tokyo ditunda.

Namun pada Februari 2010, datang 8 KRL dan periode April-Juli 2010 hadir 40 KRL tipe 4000 dari Tokyo Metro. Bulan Agustus 2010 ini datang 20 unit lagi. Selanjutnya, September 10 unit, Oktober 10 unit, dan November 10 unit KRL. Apakah semua KRL hasil hibah dari Jepang? Tidak juga! Menurut Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementrian Perhubungan Tundjung Inderawan, ada 4 KRL baru buatan PT INKA dan 4 KRL baru lainnya akan diserahkan bulan Desember.

“Tahun 2011 ini diserahkan 32 KRL baru,” kata sang Dirjen.

Kenapa gerbong itu penting? Ya, jelas penting, karena berkaitan dengan daya angkut penumpang. Sampai dengan 2015, KRL akan ditargetkan memiliki jumlah armada 886 KRL. Ini jelas merupakan lonjakan yang sangat signifikan dibanding dengan jumlah unit yang sekarang beroperasi, yakni 340 unit, dimana mengangkut orang rata-rata per hari sebanyak 400 ribu penumpang.

Diharapkan pada tahun 2013, armada KRL sudah berjumlah 886 unit, karena jumlah penumpang diprediksi akan mencapai 1.496.000 orang per hari. Jumlah 1,4 juta itu tentu berasal dari penumpang yang di tahun 2010 ini masih menggunakan kendaraan pribadi.

Soal gerbong dan armada, jelas menjadi keungulan lain dari KRL dibanding dengan busway yang maksimal 85 penumpang untuk non-gandeng. Namun bukan berarti busway salah atau tidak tepat menjadi solusi kemacetan. Oh, NO! Jika sekarang busway sudah beroperasi, ya tentunya tetap harus berjalan. Malah antara busway dan kereta bisa bersinergi. Nanti setiap stasiun kereta bisa menghubungkan shelter busway, dimana untuk jarak jauh, orang menggunakan kereta, sementara di tengah kota menggunkan busway.




Tentu selain KRL yang ditambah, busway juga perlu ditambah. Sebab, menurut Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Ditjen Angkutan Darat Kemenhub Elly Sinaga, armada busway masih minim, kini baru berjumlah 426 unit untuk melayani rute seputar Jakarta sepanjang 143,35 km. Jika dibandingkan dengan India misalnya, dengan panjang trayek sekitar 22 km, tersedia lebih dari 1.300 armada busway.

“Sebenarnya kalau dulu belum ada busway, pemerintah menghidupkan lagi trem,” komentar kakak ipar saya yang lain.

Alasan kakak ipar saya masuk akal juga. Kalau busway, jalan umum yang segitu-gitu saja terpaksa “dihibahkan” khusus untuk jalur busway. Sementara jumlah mobil bertambah dan kendaraan pribadi tidak boleh masuk ke jalur itu. Padahal pemilik kendaraan pribadi itu sudah membayar pajak, tetapi mereka menganggap hak mereka dirampas dan dipaksa naik busway. Siapa yang mau dipaksa?

Nah, kalau trem memang menggunakan lajur, yakni rel, tetapi tidak menggunakan lajur khusus seperti busway. Rel trem juga bebas dipergunakan untuk kendaraan pribadi. Artinya, pemilik kendaraan pribadi boleh berjalan atau melintas di jalur trem, selama si pemilik merasa nyaman melintas atau kebetulan tidak ada trem.

Sebenarnya ketika pemerintah Indonesia masih dikuasai Belanda, pemerintah Hindia Belanda sudah punya visi seperti itu. Mari kita buka sejarah kembali. Transportasi Batavia yang bernama trem begitu laku dan menjadi primadona. Dulu jalur trem di dalam kota Jakarta ada di Menteng-Harmoni atau Menteng-Gunung Sahari-Kota Bawah.

Sejak 10 April 1899, Batavia Electrische Tram Maatscappij (BETM) sudah mengoperasikan trem listrik. Trem listrik ini merupakan cikal bakal KRL. Pendirian BETM ini cukup hebring, lho. Kenapa? Di Belanda sendiri, trem baru dioperasikan pada bulan Juli 1899 atau dua bulan setelah trem di Batavia dioperasikan. Namun sayang, ketika pemerintahan berganti, trem pun berhenti. Begitu pula ketika pengelolaan perkeretaapian sudah beralih ke pemerintah Indonesia pada 28 September 1945, kehebatan trem sudah tidak menjadi isu yang menarik lagi sebagai moda transportasi.

Anyway, sekali lagi busway sudah terlanjur diopersikan pada saat Gubernur Sutiyoso. Proyek ini sudah terlanjur dijalankan. Memang beberapa tempat sudah dilewati busway dan banyak orang yang merasakan manfaat naik basway. Namun, proyek mercusuar ini pun juga seolah menjadi proyek “asal dapat komisi” sebelum ganti kepemerintahan. Ini terbukti dengan begitu banyak shelter yang bertahun-tahun belum dioperasikan dan sudah rusak, bahkan banyak besi-besinya yang dicuri oknum. Separatoranya juga sudah bolong, padahal belum sempat dilewati busway.

Oleh karena sudah terlanjut, maka yang perlu dilakukan adalah menambah jumlah armada. Baik busway maupun KRL harus segera menambah jumlah armada. Sterilisasi di jalur busway tetap dilakukan dengan konsisten. Sangat sulit bagi pemerintah untuk menekan laju pembelian kendaraan bermotor. Selama pemerintah masih punya hutang dengan negara-negara produsen produk kendaraan bermotor –antara lain Jepang-, sulit sekali menyetop negara tersebut berdagang mobil.

Khusus KRL, menurut Menteri Perhubungan, ada beberapa yang harus dilakukan jika ingin menjadikan KRL sebagai salah satu solusi kemacetan Jakarta. Pertama, Perusahaan Listrik Negara perlu menambah daya listrik seiring penambahan armada kereta. Jangan sampai listrik tidak ada daya begitu KRL yang baru datang.

Lalu Kementrian Keuangan juga harus memberikan subsidi (public service obligation/PSO) lebih besar. Tak sekadar Rp 535 miliar per tahun, tetapi minimal Rp 700 miliar supaya layanan KRL ekonomi membaik, sehingga mereka yang sebelumnya naik kendaraan pribadi jadi tertarik naik KRL.

Pajak kendaraan DKI Jakarta senilai Rp 5,5 triliun per tahun harus dikembalikan dalam bentuk bus atau KRL. Kalau dihitung kasar, angka segitu bisa dibelikan 687,5 KRL baru. Namun agaknya Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta masih menganggap sebelah mata untuk mengalokasikan pajak tersebut ke KRL atau bus. Padahal kalau dikelola dengan baik akan menguntungkan juga.

Menurut data yang diungkapkan Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan, secara keseluruhan, total pendapatan PT KAI pada 2009 mencapai Rp 4,7 triliun. Angka ini meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya, 2008, yang sebesar Rp 4,6 triliun. Diharapkan tahun 2010 ini pendapatan akan meningkat menjadi Rp 7,3 triliun. Bayangkan jika KRL dikelola dengan baik -diremajakan serta ditambah jumlah armadanya-, bukan tidak mungkin ada peningkatan jumlah penumpang.

Menteri Perhubungan yakin sekali, dengan waktu yang mendesak, hanya KRL dan busway, yang bisa menjadi solusi kemacetan Jakarta sebelum terjadi grid lock. MRT bagaimana? Subway bagaimana? Semuanya bagus dan pasti juga solusi, tetapi itu proyek masa depan. Yang dibutuhkan sekarang solusi cepat. Busway dan KRL adalah solusi cepat.

Dalam diskusi ala warung kopi pada Idul Fitri kemarin, kakak ipar saya pun mengusulkan agar mendisiplinkan kendaraan umum. Sebab, kendaraan umum juga menjadi faktor dari kemacetan Jakarta. Bagaimana caranya?

"Pintu kendaraan umum dibuat seperti busway. Sehingga, baik para supir Metromini, Kopaja, maupun bus lain tidak bisa sembarangan menaikkan atau menurunkan penumpang. Mereka harus tertib melakukan itu di halte sebagaimana busway."

Saya pikir menarik juga. Tapi mungkin tidak ya dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Secara dengan begitu, harus ada peremajaan semua kendaraan umum, termasuk pembuatan halte setinggi busway.

all photos copyright by Brill

SURABAYA RIWAYATMU DOELOE

Sebuah kalender meja tua saya temukan di antara tumpukan album foto. Rupanya kalender itu berisi foto gedung-gedung tua di Surabaya. Wah, tanpa banyak cing cong, foto tersebut saya repro. Maklumlah, belakangan ini saya lagi tergila-gila mengumpulkan koleksi foto jadul, terutama foto-foto jadul Jakarta.

Alhamdulillah, sebagian foto jadul Jakarta sudah saya koleksi, mulai dari peresmian Tugu Selamat Datang oleh Bung Karno yang dihadiri oleh Gubernur DKI Sumarno tahun 1952; demonstrasi pengemudi bus dan mobil pribadi di depan Balai Kota tahun 1964 gara-gara kenaikan pelumas dan harga spare part; pembangunan jalan Gatot Subroto dekat kawasan Senayan tahun 1962; dan beberapa foto jadul lain. Wah, seru banget kalo lihat Jakarta tempo doeloe.

Nah, berikut ini saya mau pamer beberapa foto jadul Surabaya tempoe doeloe. Saya yakin beberapa di antara Anda sudah pernah melihat, bahkan mengkoleksi foto-foto ini. Ya, nggak ada salahnya kan kalo ikutan menikmati juga? Hitung-hitung kita sama-sama merekonstruksi sejarah masa lalu.






WACANA SOLUSI MENGATASI KEMACETAN JAKARTA - Part I

Silaturahmi dengan keluarga pada Idul Fitri lalu ternyata tidak sekadar sebagai ajang saling maaf-memaafkan. Banyak hal yang dilakukan. Ada yang akhirnya bertemu lawan bisnis untuk menjalankan satu usaha, ada pula sekadar menghabiskan makanan khas lebaran, karena di rumah sengaja menahan lapar.

Saya dan beberapa Bapak, biasanya lebih suka berdiskusi mengenai masalah sosial-politik yang terjadi di tanah air kita tercinta ini. Seperti layaknya pengamat maupun tokoh politik, kami masing-masing sharing. Jika ada Bapak yang melemparkan masalah atau pertanyaan, Bapak yang lain menanggapi, termasuk saya. Begitu pula sebaliknya, kalau saya membuat sebuah statement terhadap masalah tertentu, giliran Bapak-Bapak memberikan argumen atau malah membenarkan statement tersebut. Pokoknya seru!



Salah satu masalah yang dibahas adalah tetang kemacetan ibukota Jakarta. Awalnya saya yang melempar percakapan ini. Harap maklum, saya adalah warga Betawi yang sehari-hari berhadapan dengan masalah yang tidak pernah selesai-selesai, mulai dari Gubernur Ali Sadikin sampai Gubernur Fawzi Bowo yang katanya ahlinya ini. Jakarta tetap macet dan banyak yang memprediksi, kalau tidak ada solusi, 2012 ini lalu lintas di Jakarta akan tidak akan bergerak sama sekali. Bahasa kerennya grid lock.

“Sekarang ini solusinya kebanyakan memaksa. Mana ada orang yang mau dipaksa?” ucap kakak ipar saya tertua berkomentar. “Kita dipaksa untuk membawa penumpang tiga orang kalau masuk jalur 3 in 1. Kita dipaksa naik busway dan tidak boleh menggunakan jalur busway ketika naik kendaraan pribadi. Padahal kita bayar pajak, dimana pajak untuk membiayai jalan raya. Masa kita sudah bayar, hak kita dirampas?”

Pernyataan kakak ipar saya sempat berpikir. Ada benarnya juga sih kalau konteksnya kita sebagai pembayar pajak. Harusnya sebagai pembayar pajak –apalagi sekarang ini kita wajib membayar pajak dari berbagai sektor-, kita punya hak. Tapi soal “pemaksaan”? Saya jadi bertanya dalam hati, bukankah dengan adanya Undang-Undang (UU) adalah sebuah bentuk law enforcement? Bahwa tidak semua orang suka atau setuju dengan UU, tetapi mau tidak mau (bahasa lain dipaksa), sebagai warga negara kita wajib mematuhinya. Saya tidak tahu pendapat Anda...

Feeling saya solusi menangulangi kemacetan ini adalah melalui kereta api,” ucap saya sok tahu.






Mau rakyat biasa atau aparat kemamanan sama-sama tidak disiplin. So, tak ada yang bisa dijadikan contoh. Mau mobil atau motor sama-sama masuk jalur busway.

Boleh jadi saya sok tahu, tetapi entah kenapa saya punya feeling hal itu. Feeling itu berdasarkan, pertama, Jakarta tanpa kita sadari telah dikelilingi oleh stasiun. Ada stasiun Kota, Cikini, dan Gambir (Jakarta Pusat), Jatinegara (Jakarta Timur), Manggarai, Tebet, dan Cawang (Jakarta Selatan), Palmerah (Jakarta Barat), dan di Jakarta Utara nantinya akan dioperasikan stasiun Tanjung Priuk. Jumlah stasiun itu belum termasuk stasiun lain seperti Duku Atas (Jakarta Selatan) yang bagus itu, Kramat (Jakarta Pusat), dan stasiun-stasiun lain.

Itu artinya apa? Artinya, ada penghubung dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu wilayah ke wilayah lain via darat. Lho busway kan juga lewat darat? Betul! Namun, ada beberapa kelemahan busway –meski busway juga solusi yang baik untuk mengatasi kemacetan, lho.

Kelemahan pertama busway, ia memang menggunakan lajur khusus, tetapi di suatu titik, busway tidak menggunakan lajur khusus alias tetap ikut jalan, dimana mungkin terjadi kemacetan. Jika jalan itu macet, busway ikut-ikutan macet. Soal lajur khusus ini pun terkadang masih macet, karena banyak kendaran pribadi yang masih melanggar.



Sakadar memberikan data, ketika lajur khusus busway disterilkan, memang terjadi lonjakan penumpang yang cukup signifikan. Menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Priston (Kompas, 5/8), sebelum sterilisasi jumlah penumpang bus Trans Jakarta Koridor I berjumlah 69.578 orang; Koridor III berjumlah 28.975 orang; Koridor V berjumlah 25.134 orang; dan Koridor VI berjumlah 24.410 orang. Nah, begitu disterilisasi, jumlah penumpang Koridor I naik 10.86% menjadi 77.136 orang; Koridor III naik menjadi 33.134 orang (14.35%); Koridor V naik menjadi 30.041 orang (19.52%); dan Koridor VI naik 27.402 orang (12.26%).

Lho apa hubungannya sterilisasi dengan lonjakan penumpang Trans Jakarta?

Ada, dong! Selama ini calon penumpang busway malas naik bus Trans Jakarta, ketika melihat kendaraan pribadi –baik mobil maupun motor- masih dibiarkan masuk ke jalur busway. Mereka (calon penumpan busway-pen) bilang, “Apa bedanya naik busway sama nggak naik busway kalo begitu? Macet-macet juga!”

Memang dengan adanya sterilisasi ada lonjakan, tetapi hal tersebut belum bisa mengatasi kemacetan. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, di satu titik, busway akan ikut di jalan yang juga macet. Lagi pula selama ini Dinas Perhubungan maupun DLLAJR juga tidak konsisten membuat kebijakan. Mau fakta? Sebelum ada sterilisasi, Anda pasti tahu ada pagar yang menutup jalur busway. Hanya bus Trans Jakarta yang bisa masuk. Tapi belakangan, pagar itu cuma buang-buang duit. Tidak difungsikan. Inkonsistensi lain, terkadang polisi malah mengizinkan kendaran pribadi masuk ke jalur busway. Gimana aturan mau diberlakukan dengan baik?









Kereta api, salah satu solusi kemacetan Jakarta.

Itu tadi kelemahan pertama. Kelemahan kedua, busway hanya bisa mengangkut penumpang terbatas. Memang saat ini sudah melintas bus Trans Jakarta gandeng yang dioperasikan di Koridor Blok M-Kota maupun Koridor Kampung Melayu-Senen-Ancol. Tetapi sekali lagi, itu terbatas. Lagi pula kalau Anda pernah naik bus Trans Jakarta gandeng, turunnya harus melalui tengah. Jadi ketika posisi Anda sudah “menyempil” di bangku belakang dan saat itu dalam keadaan sesak, Anda tidak bisa keluar lewat pintu terdekat, tetapi harus berjalan dulu menerobos jubelan penumpang agar bisa keluar via pintu tengah. Menurut saya itu tidak efektif.

Berdasarkan kelemahan itu, saya dengan sok tahunya menggulirkan wacana agar meremajakan kereta api sebagai bagian dari solusi. Ada beberapa keunggulan jika kereta api bisa menjadi moda transportasi mengatasi kemacetan. Dan entah kenapa, wacana saya yang sok tahu di hari Idul Fitri itu, ternyata sejalan dengan visi Menteri Perhubungan Bambang Susantono.

Memang bisa kereta api mengatasi kemacetan? Kenapa bukannya mengendalikan jumlah kendaran pribadi?

(bersambung)

all photos copyright by Brill

DON'T STOP BELIVIN'

Gara-gara film Glee, lagu-lagu hits tahun 80-an bersemi kembali. Salah satunya lagu Don't Stop Belivin' ini.



Inilah versi aslinya...

Kamis, 09 September 2010

ADA TAMAN BARU DI TEBET, ADA YANG MEMANFAATKAN TAMAN UNTUK JALAN DI SAHARDJO

Berbahagialah jadi warga Tebet, Jakarta Selatan. Betapa tidak, sebuah taman belum lama ini dibuka untuk umum. Nama taman yang dimaksud adalah Taman Tebet Honda. Lho kok ada nama sebuah produk otomotif? Yap! Taman ini merupakan hasil kolaborasi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Pertamanan dan Pemakaman, dengan PT. Honda Prospect Motor.

Terus terang saya tidak tahu mengapa untuk membuat sebuah taman, Pemprov DKI Jakarta perlu bekerjasama dengan pihak swasta. Apakah Dinas Pertamanan Pemprov DKI sudah tidak punya anggaran untuk itu? Agaknya perlu penyelidikan lebih lanjut tentang hal itu. Harap maklum, yang sudah-sudah, jika ada sebuah kerjasama yang melibatkan pihak ketiga, kerapkali menimbulkan kecurigaan.


Pintu masuk Taman Tebet Honda.

Namun, tulisan ini tidak ingin membongkar permasalahan itu. Biar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Indonesian Corruption Watch (ICW) yang punya kuasa untuk melakukan penyelidikan. Tulisan ini cuma ingin mengajak kita berpikir positif di luar aspek kerjasama, bahwa di Jakarta ini, khususnya di Tebet, ada taman lagi. Sebagai perusahaan otomotif yang berkomitmen terhadap permasalahan lingkungan, Honda kembali menunjukan itikadnya: mensponsori pembuatan taman.

Bukan baru di Taman Tebet ini saja Honda mensponsori taman. Di beberapa tempat, khususnya di wilayah Jakarta, sudah ada beberapa taman yang bertanda: Honda. Selain Honda, perusahaan otomotif lain juga sudah melakukan hal yang sama. Di perempatan Coca-Cola, tepatnya di putaran dari arah jalan Suprapto, Jakarta Pusat –depan ITC Cempaka Mas- menuju ke Rawamangun, Jakarta Timur, misalnya. Di lokasi itu, Toyota membiayai sebuah taman.

Di Taman Tebet ini, Honda menyalurkan dana guna mempercantik taman. Selain ditanami aneka tanaman, seperti pohon Terembesi, Akasia, dan lain-lain, Honda juga membuat arana bermain anak-anak. Di arena tersebut terdapat aneka permainan standar, mulai dari ayunan maupun permainan panjat-panjatan. Fasilitas lainnya yang tak kalah menarik ada reflexiology track, arena futsal, jembatan untuk menyeberang kali –kebetulan di taman itu ada kali yang mengelir-, dan tentu saja jogging track. Luar biasa bukan?


Pagar depan Taman Tebet Honda. Perhatikan sebelah kiri, masih nampak bekas toko maupun warung yang dulu sempat mengitari pagar lokasi sebelum menjadi taman.

Dana untuk mempercantik taman ini diambil dari hasil keuntungan penjualan produk otomotif di Indonesia International Motor Show 2009 sebanyak 1.180 unit. Itu artinya, Anda yang kebetulan melakukan pembelian di event tersebut secara tidak langsung turut andil membiayai pendanaan Taman Tebet ini. Congrats buat Anda!

Saya sempat iri ketika Tebet punya taman lagi. Betapa tidak, sebelum difungsikan Taman Tebet Honda, Tebet sudah punya taman, yakni Taman Kota Tebet, dimana lokasinya persis di samping Taman Tebet Honda. Ketika masih tinggal di Tebet, saya rutin lari pagi di Taman Kota Tebet, sementara area yang sekarang menjadi Taman Tebet Honda masih semak belukar. Di sepanjang pagar masih terdapat berbagai tukang, baik itu tukang jual tanaman, binatang peliharaan, warteg, maupun tukang cuci mobil. Sekarang tukang-tukang itu sudah “disekolahkan”.

Sekarang, setelah tinggal di Cempaka Putih, taman umum seperti Tebet tidak ada. Memang ada arena olahraga persis di samping kompleks rumah saya, ARCICI, tetapi itu bukan arena olahraga umum. Beberapa kali saya selalu dilarang menggowes sepeda di tempat itu. Harap maklum, cuma member yang boleh berolahraga, karena ARCICI dikelola oleh pihak swasta.


Salah satu tanah di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. Tanah sengketa yang dijadikan arena bermain rakyat. Bermanfaat di tengah minimnya fasilitas publik

Beberapa taman di Cempaka Putih areanya tidak sebesar Tebet. Padahal saya berharap tanah yang dahulu bekas sekolah perawat, bisa dijadikan taman umum. Namun sayang, tanah tersebut milik Yayasan Rumah Sakit Harapan Kita. Konon kabarnya, di atas tanah yang berada persis di dekat kompleks Pertamina, Cempaka Putih, Jakarta Pusat ini akan dibangun gedung komersial dan sosial.

Namun entah mengapa, meski gedung tua di situ sudah dirubuhkan dan seluruh area sudah dipasangkan tembok yang artinya siap dibangung, papan warna merah tergantung di tembok. Papan tersebut tak lain adalah papan penyegelan, karena ternyata Yayasan Harapan Kita belum memiliki izin mendirikan bangunan. Sudah beberapa bulan ini papan berwarna merah itu barada di tembok itu. Wah, jika saja area yang luas itu bisa dijadikan taman, pasti banyak sekali manfaatnya untuk orang banyak, terutama warga Cempaka Putih seperti saya ini.

Sementara di tempat terpisah, tepatnya di jalan Sahardjo, Jakarta Selatan, ada kondisi yang menurut cukup unik. Beberapa waktu lalu, Dinas Pertamanan Pemprov DKI Jakarta sempat membongkar beberapa toko di salah satu sudut jalan tersebut. Ada toko pengetikan skripsi, toko alat-alat otomotif, maupun warteg. Setelah rata dengan tanah, ada tulisan akan dibangun taman.


Perhatikan tali warna kuning sebagai garis pembatas di foto atas! Dulu di tali warna kuning yang ada tulisan BUKAN JALAN UMUM adalah tembok itu. Di tembok itu ada berbagai pedagang yang berada di jalan Sahardjo, Jakarta Selatan, kemudian digusur oleh Pemda dengan janji akan dibuatkan taman.

Namun kelihatannya pemugaran tembok itu justru dimanfaatkan sebagai akses keluar-masuk mobil. Tamannya cuma beberapa pot-pot yang ada di situ. Gedung yang nampak di foto bawah adalah gedung Paska Sarjana UGM yang ada di jalan Sahardjo, Jakarta Selatan. Dulu tak bisa terlihat penuh sebelum tembok dibongkar dan menggusur pedagang. Tahu begitu tidak usah digusur kali ya?

Beberapa lama kemudian, taman yang sebelumnya akan dibangun oleh Dinas Pertamanan Pemprov DKI Jakarta belum juga nampak. Baru tadi saya melewati jalan Sahardjo itu lagi, yang nampak justru pembangunan yang dilakukan oleh sebuah kantor. Yap! Saya baru tahu, bekas toko-toko yang dibongkor itu ternyata sebelumnya nempel dengan tembok kantor milik Vicky Sianipar. Kini, saya menduga, kantor itu akan memanfaatkan “tanah kosong” yang katanya ingin dijadikan taman oleh Pemprov DKI untuk pintu akses keluar maupun masuk. Kok begitu ya?

Melihat kondisi tersebut, saya jadi curiga. Padahal seharusnya kalau Pemprov DKI sudah punya komitmen membangun taman, ya jangan ada lagi kantor yang diberikan previllage untuk membuka akses, yang jelas-jelas akan memotong tanah yang diperuntukan taman tersebut. Kalau tahu akan diberikan previllage seperti itu, untuk apa membongkar toko-toko yang ada sebelumnya? Ah, barangkali ada sesuatu yang jauh lebih besar yang diterima. I don’t know for sure. Tapi itulah barangkali yang masih menjadi kelemahan pejabat DKI sekarang ini: belum tegas, karena....

all photos copyright by Brill

CATATAN SI BOY I

http://youtu.be/0uAVFZ--cjA

http://youtu.be/xIxw_iUWso8

http://youtu.be/pCZNzZOln_Y

http://youtu.be/B33qcTqGrnY

http://youtu.be/pOvbpTPytHs

http://youtu.be/V6TIVh8Wjog

http://youtu.be/tGmqVY18Y34

http://youtu.be/w1vp93BdCr4

http://youtu.be/mZLoy6T7faQ

http://youtu.be/9erFy_9q9bI