Kamis, 11 Maret 2010

PERCETAKAN NEGARA: RIWAYATMOE DOELOE

Sejarah nama Percetakan Negara, Jakarta Pusat nggak bisa lepas dari eksistensi perusahaan Percetakan Negara yang ada di situ. Perusahaan yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sudah ada sejak zaman Belanda. Meski sudah berusia 2 abad lebih, perusahaan ini masih kokoh berdiri dengan nama Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).

Sebelum menjadi PNRI, nama perusahaan ini adalah Lands Drukkerij. Perusahaan ini didirikan oleh Belanda tahun 1809. Kalo dihitung-hitung, usianya kini sudah mencapai 201 tahun atau 2 abad lebih. Luar biasa bukan? Padahal nggak jauh dari PNRI, tepatnya di samping penjara Salemba, dahulu ada perusahaan milik negara juga, yakni PN Garam yang sudah berganti menjadi ruko Rawasari Mas.




Foto udara PNRI yang diambil dari atas pada tahun 1926. Berarti saat zaman Belanda dan namanya masih Lands Drukkerij. Pepohonan dan perumahan berada di seberang Lands Crukkerij. Coba perhatikan, masih banyak sawah di belakang percetakan itu.


Pada tahun 1942, Lands Drukkerij berganti nama menjadi Gunseikanbu Inatsu Koja (GIK). Pasti Anda sudah tahu mengapa namanya berbau Jepang? Ya, karena pada tahun tersebut Jepang menguasai Indonesia. Siapa yang berkuasa, dialah yang berhak merubah nama. Nggak heran begitu Jepang menyerah dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, nama perusahaan ini berubah lagi menjadi Percetakan Republik Indonesia (PRI). Sejak tahun 1991, melalui sebuah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 Tahun 1991, namanya menjadi PNRI dan menjadi sebuah Perusahaan Umum (Perum) milik negara.

Seiiring perkembangan penduduk, bermunculanlah pemukiman penduduk di sekitar Perum PNRI. Kalo sebelumnya rumah yang berkembang ada di depan Perum PNRI, belakangan di tahun 60-an, muncul rumah-rumah di belakangnya. Padahal pada tahun 1924, di belakang perusahaan masih banyak sawah. Sementara di seberang Perum PNRI, meski muncul perumahan penduduk, pohon-pohon besar masih tumbuh.

Sejak dulu, Perum PNRI memang agak tertutup. Maksudnya, nggak semua orang atau institusi bisa sembarangan masuk ke dalam gedung. Maklumlah, di Perum PNRI ini banyak cetakan dokumen atau produk informasi negara yang top secret alias rahasia, bo! Memang sih Perum PNRI ini tugasnya adalah usaha di bidang percetakan, dan jasa grafika, dan belakangan multimedia. Namun, nggak semua orang bisa mencetak di perusahaan ini. Sesuai Peraturan Pemerintah RI No.133 Tahun 2000 Pasal 7, maksud dan tujuan perusahaan ini cuma melaksanakan dan menunjang kebijakan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional dengan cara mengadakan usaha di bidang percetakan. Belakangan sesuai dengan perkembangan zaman, Perum PNRI melayani juga produk percetakan umum yang diterima dari BUMN, swasta maupun masyarakat luas pada umumnya.


Rumah Bersalin Melania yang berada di ujung jalan Percetakan Negara, tepatnya di 'Jembatan Serong'. Melania termasuk salah satu gedung tertua di jalan Melania, karena didirikan tahun 60-an. Melania didirikan oleh istri P.K. Ojong, almarhum yang turut mendirikan harian Kompas.


Saat ini harga di sekitar Percetakan Negara per meter sudah mencapai Rp 4 juta/ m2. Meski padat, ternyata masih ada kaveling tanah yang relatif besar di situ. Luas tanahnya 850 m. Namun sayang, tanah ini nggak bisa Anda miliki, karena Cuma punya sertifikat Hak Guna Bagunan (HGB). Males banget nggak sih mengeluarkan uang senilai Rp 3,4 miliar cuma buat tanah yang HGB? Kalo saya sih lebih suka duit itu dibelikan rumah yang ada di dekat rumah saya di Kompleks Cempaka Putih Indah.
Panjang jalan Percetakan Negara sekitar 1 km, terbentang mulai dari rel kereta api yang membelah jalan Percetakan Negara dan Salemba, sampai di ujung depan rumah bersalin Melania, Jakarta Pusat, tepatnya di lokasi bernama ‘jembatan serong’. Sekadar info, rumah bersalin Melania berada di kompleks Melania, dimana di situ ada sekolah TK-SD-SMP Melania. Oh iya di situ juga ada Sekolah Tinggi Driyakara (STF) yang sejak tahun 1973 berdampingan dengan Melania.


BIOSKOP JOTET DAN TPU KAWI-KAWI

Selama dua abad, jelas banyak sekali perkembangan yang terjadi seputar Percetakan Negara ini. Sawah-sawah yang dahulu menjadi ladang buat mencari makan penduduk sekitar situ, berubah menjadi perumahan. Selain perumahan, ada Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang sudah ada sejak tahun 60-an sampai kini masih eksis. TPU ini bernama Kawi-Kawi. Lokasi tepatnya di Keramat Sentiong, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Pada Maret 2009 lalu, jalan Percetakan Negara sempat ngetop. Pasalnya ada berita terbongkarnya klinik aborsi di jalan Percetakan Negara II. Nama pemiliknya adalah Junatun alias Atun alias Bidan Sisca. Di rumahnya yang menjadi tempat praktek aborsi itu, ia nggak cuma menyembunyikan janin hasil aborsi ke saluran air yang didesain khusus, tetapi menguburkan ke TPU bagi janin yang usinya sudah lima bulan. Nah, nama TPU Kawi-Kawi sebagai lokasi penguburan juga ikut terbawa.

Di belakang Perum PNRI dahulu juga ada bioskop. Nama bioskopnya Jotet. Jotet sebenarnya sebuah singkatan. Kepanjangan Jotet adalah Johar Baru Teater. Dahulu kalo saya nonton, ada dua pilihan bioskop. Kalo nggak Jotet, ya Tawang Teater yang berlokasi di jalan Pramuka, Jakarta Timur. Sayang, kedua bioskop itu sudah nggak beroperasi lagi. Tawang Teater sudah berubah menjadi hotel Mega. Sementara itu, bioskop Jotet belum dijadikan apa-apa. Struktur bangunannya masih tegap berdiri, bahkan jalur antrean tiket masih dibiarkan berdiri di situ. Entah kenapa bioskop itu dibiarkan begitu saja, nggak dioperasikan, nggak pula dirubah menjadi bangunan lain.


DIRJEN POM

Di sepanjang jalan Percetakan Negara masih tersisa beberapa bangunan tua. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), misalnya. Bagunan depan BPOM memang masih menggunakan arsitektur art deco.

Sekadar info, sebelum tertulis nama BPOM yang ada di depan gedung, lembaga ini menjadi salah satu seksi di bawah Departemen Kesehatan (Depkes), yang bertugas mengawasi pengawasan obat dan makanan. Namun berdasarkan Keppres Nomor 166 Tahun 2000 dan Nomor 103 Tahun 2001, barulah seksi ini menjadi BPOM.

Nggak banyak pengalaman saya yang bisa saya share soal BPOM ini. Sebab saya nggak pernah masuk ke dalam kompeks gedung BPOM, karena memang nggak ada kepentingan buat masuk. Ngapain juga berurusan dengan security cuma gara-gara dicurigai teroris yang mau menyusup BPOM? Yang bisa saya share paling-paling cuma tugas BPOM ini. Selain mengawasi obat dan makanan, lembaga ini memiliki kewenangan buat memberi izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. Lembaga ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden.


RUTAN SALEMBA

Di sebarang jalan BPOM, ada bangunan tua lain yang juga masih difungsikan, yakni Rumah Tahanan Negara alias Rutan. Rutan ini adalah Rutan kelas 1 yang merupakan salah satu unit pelaksana teknis pada jajaran Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Rutan yang ngetop dengan sebutan Rutan Salemba atau Penjara Salemba ini berdiri di tanah seluas 42.132m2. Rutan ini didirikan pada zaman Hindia Belanda pada tahun 1918. Saat itu masyarakat Jakarta menyebut penjara ini dengan sebutan Penjara Gang Tengah.

Sebelum tahun 1945, Penjara Gang Tengah digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda buat menahan warga pribumi yang melakukan pelanggaran hukum Kolonial Belanda. Barulah setelah tahun 1945, yakni saat Indonesia merdeka, kepemilikan penjara ini diserahkan pada Pemerintah Republik Indonesia. Sejak saat itu, nama Penjara Gang Tengah berganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan Salemba (LPS).

LPS nggak lagi menampung warga pribumi yang melanggar hukum Kolonial Belanda, tetapi buat menampung atau menahan para tahanan politik (tapol), tahanan sipil, tahanan kejaksaan, serta koruptor.

Saat terjadi pemberontakan G30S/PKI, sebagian tahanan atau narapidana dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Lembaga Pemasyarakatan Glodok (sekarang pusat elektronik Glodok) dan sebagian lagi ke kampus AKIP (Akademi Ilmu Pemasyarakatan) yang lokasinya di belakang penjara. Saat ini AKIP berganti nama menjadi Akademi Letigasi Republik Indonesia (ALTRI).

Pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1980 LPS dijadikan Rumah Tahanan Militer (RTM) yang khusus menahan tahanan militer di bawah pimpinan Inrehab Laksusda Jaya. Tepat pada tanggal 4 Februari 1980, LPS serta rumah dinas yang dipergunakan oleh Inrehab Laksusda Jaya diserahkan kembali kepada Departemen Kehakiman melalui Kepala Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan IV Jakarta Raya dan Kalimantan Barat, Soekirman SH. Serah terima ini berdasarkan surat perintah Panglima Komando Operasi Pemulihan Kesatuan dan Ketertiban tanggal 9 Januari 1980 nomor: Sprin12/Kepkam/1/1980 dan surat pelaksanaan nomor: Sprin/4 5/KAHDA/1/1980 tanggal 23 Januari 1980.

Sejak tanggal 22 April 1981 LPS dimanfaatkan buat menahan para tahanan wanita pindahan Lembaga Pemasyarakatan Bukit Duri yang pada waktu itu dialihfungsikan menjadi lokasi pertokoan. Tahanan wanita ini menenpati Blok A dan Blok B. Setelah direnovasi pada awal Oktober 1989, LPS mulai diisi oleh tahanan pria dari tiga Kejaksaan Tinggi di DKI Jakarta, yakni Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Kejaksaan Negeri Barat, dan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.

Oleh karena yang ditahan semakin hari semakin banyak, sementara daya tampung LPS nggak terbatas, maka sejak April 1981 tahanan wanita dipindahkan ke Rumah Tahanan Negara Kelas IIIa Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman RI nomor M.04.UM.01.06 tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, LPS berubah statusnya menjadi Rutan. Penamaan Rutan ini juga bersamaan dengan Rutan-Rutan lain di 274 Lembaga Pemasyarakatan lain yang ada di Indonesia.


SOTO MAK’NYOS DEPAN RUTAN SELEMBA

Di depan penjara Salemba, ada soto ayam yang enak. Letaknya tepat di tikungan samping pos polisi Kayu Awet, Jakarta Pusat. Sotonya enak, bo! Kalo kata Bondan Winarno: mak nyos!

Terus terang sulit membayangkan ke-mak nyosan soto depan penjara ini. Satu hal yang pasti, seperti soto-soto yang rasanya enak, ada racikan bumbu. Dimana bumbu ini dibuat selama enam jam, sehingga menghasilkan kaldu ayam yang berbeda dari soto-soto Madura lain. Yang meracik bumbu aja bangunnya kudu jam 3 pagi sampai kemudian jadi pada pukul 9 pagi. Meski dimasaknya memakan waktu 6 jam, namun bumbu ini bisa tahan sampai 10 hari, bo!

Selain bumbu, setiap soto ditaburi oleh serbuk-serbuk berwarna merah muda, which is serpihan udang. Serpihan udang ini difungsikan buat menggantikan fetsin yang biasa digunakan oleh pedagang soto lain. Kelar meracik bihun dan aneka sayur, baru deh diguyur dengan kuah soto yang merupakan “jimat” dari kenikmatan si soto itu.
Bagi yang doyan ceker, menu lain selain kenikmatan sotonya, yakni ceker ayam. Anda mau makan ceker campur kuah soto doang juga nggak masalah. Mau makan nasi sama kuah aja juga nggak masalah. Yang masalah kalo Anda pinjam mangkok, tetapi nggak makan soto di situ, makannya di tempat lain. Wah, itu namanya kebangetan!

Menurut Supervisor soto Madura depan penjara Salemba ini, Cak Ali, dalam sehari mereka bisa menjual lebih dari 300 mangkok soto. Coba Anda kalikan kalo satu mangkok soto harganya Rp 6.000, maka si pedagang akan meraih keuntungan Rp 1.800.000. Itu baru hitungan kasar. You know what? Menurut Cak Ali, keuntungan kotor soto ini mencapai Rp 5 juta per hari! Anggaplah keuntungan bersih -setelah dikeluarkan buat yang masak (4 orang) dan meladeni pelanggan (4 orang)- adalah Rp 2 juta, maka dalam sebulan akan menghasilkan Rp 60 juta. Itu kalo asumsi 30 hari dalam sebulan dikalikan Rp 2 juta. hari. Kalo setengah aja untung, yakni Rp 30 juta, hidup akan indah berkilau!

Beruntungnya, selama berdagang di pojokan dekat jalan Kayu Awet, soto Madura ini nggak pernah dipalakin oleh preman. Maklum, dekat pos polisi, bo! Memang sih nggak dipalakin, tetapi si pedagang soto tetap ngasih jatah makan ke polisi, yakni makan pagi dan makan siang. Makan malam? Beli sendiri tuh polisi! Masa nggk modal amat?! Lagipula, soto ini cuma datang dari jam 7 sampai jam 2 siang.

Nah, saya sarankan, mending sebelum Anda masuk penjara, karena kasus korupsi atau narkoba, mending cicipi dulu soto Madura depan penjara Salemba ini. Kalo sudah nyicipi, silahkan deh Anda mendekam di dalam sel. Kalo kebetulan Anda kanget makan soto ini lagi dan kebetulan sudah terlanjur di penjara, moga-moga ada Sipir yang baik hati bisa men-delivery service soto Madura ini.


KSATRYA: SEKOLAH TERTUA DI JAKARTA

Di jalan Percetakan Negara Blok D No. 232, ada sekolah tertua. Sekolah ini terhimpit antara toko keramik dan toko kaca. Nama sekolah yang dimaksud adalah Perguruan Ksatrya. Warga sekitar situ biasa menyebutnya Ksatrya aja.


Perguruan Ksatrya, sekolah tertua di Percetakan Negara. Meski sudah diapit oleh toko keramik dan toko kaca patri, sekolah ini tetap eksis.

Sekolah yang posisinya persis di pingir jalan Percetakan Negara ini, didirikan tanggal 3 januari 1951. Ini artinya, sekolah ini sudah lima puluh delapan tahun lebih usianya. Sudah udzur bukan? Meskipun sudah udzur, sekolah ini masih tetap eksis,karena masih banyak orang yang tertarik menjadi pelajar di situ.

Apa yang membuat orang tertaik dari sekolah ini sih? Terus terang, bukan karena sekolah ini masuk dalam deretan sekolah favorit di Jakarta. Masuk dalam daftar 20 sekolah favorit aja enggak, kok. Namun menurut website resmi Ksatrya, sekolah swasta ini masih mempertahankan ciri khas nya, yakni sistem among. Semangat gotong royong dan sistem pendidikan nasional, terus didorong untuk meningkatkan peranan, pertumbuhan, dan tanggung jawab mutu pendidikan. Widih! Kayaknya sempurna sekali ya?


Ini nggak ada hubungan dengan Perguruan Ksatrya, tetapi jalan ini masih terletak di Percetakan Negara. Apa yang menarik dari jalan ini? Sebab jalan ini merupakan 'belokan maut'. Dinamakan 'belokan maut' gara-gara sudah banyak orang yang meninggal di situ, termasuk tetangga saya dalam kecelakaan motor. Lokasinya tepat di depan restoran Adem Ayem.

Ksatrya didirikan oleh beberapa orang, yakni Prof .DR. R.P. Soejono, DR. Sri Sukaesih Adiwimarta, Dra. Hj. Rachma Saleh, H. Johan Waworuntu dan DR. Daud Joesoef. Selain nama-nama itu, ada nama lain yang kebetulan juga sudah meninggal, yakni Sombu Pillay M.Sc (alm), A.T. Effendi (alm), Charul Dt (alm), Zahar Arifin (alm), Drs. Buchri (alm), Boestami Tanjung (alm), Wahab Lubis (alm), Drs. Bemfie Pasaribu (alm), dan Mar’at (alm). Saat ini yang menjadi Dewan Pengurus Yayasan adalah H. Husni Rustam, N. Tisna Widjajadiredja, Sutar, SE MM, dan beberapa staf Sekretariat Yayasan Ksatrya lain.

Terus terang, sedikit banyak saya tahu perkembangan Ksatrya. Maklumlah, sejak kecil saya tinggal di rumah orangtua saya yang kebetulan persis di belakang tembok Ksatrya. Jadi setiap kali pulang sekolah, kegemaran saya adalah manjat tembok Ksatrya dan melihat siswa-siswi Ksatrya yang bersekolah.


SDN CEMPAKA PUTIH BARAT 07 PAGI

Selain Perguruan Ksatrya, ada lagi sekolah yang relatif 'senior' di jalan Percetakan Negara, yakni SDN Cempaka Putih Barat 07 Pagi. Lokasinya di jalan Percetakan Negara no 642. Memang sekolah ini nggak setua Ksatrya. Tetapi setidaknya sekolah ini sudah ada pada saat saya lahir, ya sekitar 40 tahunan lebih lah umurnya.

Lho kok tahu?

Kebetulan dahulu kala, sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) saya lokasinya persis di samping SDN Cempaka Putih Barat ini. Namanya sekolah yang saya maksud adalah Ratih. Bahkan sampai dengan kelas 2 Sekolah Dasar (SD), saya bersekolah di Ratih. Namun sayang seribu kali sayang, bangunan sekolah TK-SD Ratih sudah dibongkar. Sekolahnya sebenarnya masih ada. Seperti apakah sekolah Ratih kini? Nanti saya ceritakan ya. Sabar aja dulu.

Kalo inget TK-SD Ratih ketika masih berlokasi di Percetakan Negara, saya jadi teringat beberapa kejadian. Saya pernah berkelahi dengan salah seorang teman saya yang kebetulan mentalnya agak terganggu. Akhir dari perkelahian, teman saya itu melemparkan penggaris kayu yang cukup besar ke kepala saya. Sudah diduga, darah pun keluar. Beruntunglah penggaris itu mengenai belakang kepala saya, tepatnya di sebelah kiri bawah kepala. Bayangkan kalo mengenai mata, barangkali saya sudah buta untuk selama-lamanya.

Saya masih ingat, Ratih memiliki enam kelas buat siswa-siswi SD, dan dua kelas untuk TK. Nggak kayak SDN Cempaka Putih Barat 07 Pagi yang ada di samping, dimana kelasnya ada yang di bawah dan ada yang di tingkat. Makanya SDN ini dulu dikenal dengan sebutan 'sekolah tingkat'. Oh iya, di belakang pojok sebelah kiri, ada sebuah kantin yang menjual aneka makanan. Salah satu makanan favorit saya waktu itu adalah gemblong dan dadar gulung.

Sewaktu di TK, saya paling suka main perosotan. Tahun 70-an, perosotan masih terbuat dari bahan kayu. Kayunya kayu jati, lho! Nggak seperti sekarang, perosotannya terbuat dari besi atau beton.

Entah di SD lain juga punya kebiasaan yang sama atau enggak, pada saat menjadi siswa SD Ratih, ada kebiasaan bagi-bagi bubur kacang hijau dan susu. Jadi, semua siswa dikumpulkan di lapangan. Kebetulan lapangan TK-SD Ratih cuma sebesar lapangan bulutangkis. Nah, mereka disuruh berbaris per kelas buat dibagikan bubur kacang hijau atau susu. Yang unik cara bagi-baginya, yakni dengan menggunakan gayung dan ember. Hah?!

Seorang guru memegang gayung, sementara di ember telah berisi bubur kacang hijau. Itu kalo kebetulan bubur kacang hijau, kalo susu, ya di ember berisi susu. Nah, siswa-siswa yang antre sudah siap dengan gelas masing-masing. Perlu diingat! Gelas tersebut kudu bawa sendiri. Kalo nggak bawa gelas, ya resiko nggak dapat jatah. Setelah guru menuangkan bubur kacang hijau atau susu ke seorang murid, si murid langsung masuk ke kelas. Tradisi kayak begini terus berlangsung sampai saya keluar dari SD Ratih, pindah ke SD Labs School.




all photos copyright by Brillianto K. Jaya

BEBEK BALAP: OH, CUMA MARKETING GIMMICK AJA

Sah-sah aja pengusaha membuat nama warung makannya tanpa arti apa-apa. Salah satu contoh Bebek Balap ini. Warung makan bebek ini saya jumpai di Bandung. Lokasinya persis di samping masjid Agung Cipaganti.



Kisah perjumpaan saya dengan warung bebek ini nggak sengaja. Kebetulan pada saat ke Bandung, saya naik travel. Nah, mobil travelnya melewati jalur Cipaganti. Saat itu hari sudah hampir magrib, padahal saya belum sempat sholat ashar. Memang sih, kalo perjalanan jauh kita bisa sholat di dalam kendaraan atau dihitung sebagai mushafir. Artinya nggak perlu sholat. Tetapi saya merasa nggak afdol kalo nggak sholat, ketika kita masih punya waktu sholat. Nggak heran, begitu melihat masjid, saya langsung turun dan menuju masjid buat sholat.

Sambil menunggu masjid, saya mampir ke sebelah masjid dan ternyata di situ ada warung bebek. Buat penggemar bebek, sang bebek pun memesan nasi bebek. Apalagi nama warungnya cukup menggoda, yakni Bebek Balap.

"Kenapa dinamakan bebek balap, kang?" tanya saya pada pelayan di situ yang semuanya pria.

"Nggak ada artinya sih, kan," jawabnya. "Cuma buat orang kenal sama warungnya aja."







Pedas sambalnya gokil! Sampai ke ubun-ubun!


Oh, jadi judulnya marketing gimmick, toh! Tapi ya sekali lagi, itu memang sudah lazim dan biasa dilakukan, ya nggak? Yang penting buat saya adalah rasanya. So gimana rasanya? Delicious kah?

Alhamdulillah, nggak mengecewakan. Bebek balap beda dengan bebek yang gue biasa makan di Kaleo. Bebek bakarnya lembut banget. Yang paling penting sambalnya. Pedasnya gokil banget!!! Sayang, saya nggak sempat membawakan pulang buat istri yang juga penggemar berat bebek. Maklumlah, setelah makan bebek, saya kudu kondangan di Bandung. Nggak lucu banget bawa bungkusan berisi bebek di resepsi. Kalo bebeknya hidup dan ber-kwek kwek kwek gimana? Next time saya akan memboyong istri dan keluarga buat balapan dengan bebek, eh maksudnya merasakan bebek balap.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Selasa, 09 Maret 2010

THE MANGGARAI STORY

Sejak dahulu kala, daerah Manggarai ternyata begitu-begitu aja. Maksudnya, nggak ada perubahan yang signifikan terjadi, sebagaimana daerah-daerah lain di Jakarta ini. Dari dulu, memang sudah ada sungai Ciliwung yang mengalir di samping terminal, para pedangan yang berada di sepanjang situ, dan terowongan yang merupakan jalur kereta api, dimana di bawahnya dilewati oleh kendaraan-kendaraan yang menuju ke arah jalan Tambak maupun Pramuka, Jakarta Timur.



Berbeda banget dengan stasiun kereta api Manggarai, terminal bus Manggarai ya begitu-begitu aja. Kayak nggak dimoderenkan. Kalo stasiun kereta api bakal menjadi stasiun utama bagi para pelaju (komuter) dari Jabodetabek dengan menambahkan infrastruktur stasiun dan akses menuju stasiun. Hal ini sudah diucapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Balaikota Jakarta (21/01/2010). Katanya, penambahan infrastruktur itu antara lain dengan mengintegrasikan stasiun dengan halte busway, jalan layang dan bus feeder. Keren banget nggak sih?

"Saat ini Stasiun Manggarai terletak di tempat yang tidak dijangkau berbagai moda transportasi," ujar Gubernur yang akrab disapa bang Foke ini. "Namun yang paling penting, halte busway akan kami buat di stasiun sehingga kedua moda transportasi tersebut terintegrasi dengan baik," ujarnya.



Rencana penambahan infrastruktur ini menurut bang Foke, telah diakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI 2010-2030 yang ditargetkan disahkan tahun 2010 ini.

Meski nggak mengalami perubahan yang cukup berarti dan kayak dicuekin, sebagai orang yang suka menggali sejarah pemukiman, saya tetap tertarik buat menggangkat soal terminal Manggarai dan sekitarnya. Alhamdulillah, saya berhasil mendapat secuil kisahnya. Kisah-kisah soal Manggarai ini sengaja saya rangkum dalam bentuk sub-judul. Selamat membaca!

DARI TAMAN BERMAIN MENJADI LOKASI PEDAGANG

Sebelum menjadi terminal seperti sekarang ini, terminal Manggarai adalah sebuah taman bermain. Di taman itu terdapat rumput yang hijau dan dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang membuat taman itu menjadi teduh. Saat itu belum ada perosotan atau papan seluncur, ayunan, atau marry go round sebagaimana taman-taman yang ada.

Lambat laun, taman itu dipenuhi oleh para pedagang. Satu persatu, pedagang itu memenuhi pinggir taman sampai akhirnya taman itu menjadi tempat berkumpulnya pada pedagang. Selain pedagang buah-buahan, ada pula pedagang nasi, sate ayam, warteg, dan juga pedagang buku.

“Saya sempat berdagang di pojok terminal yang sekarang jadi halte busway,” ujar pak Muhammad Tamin Lubis (67 tahun).


Pak Syukur (kiri) dan pak Tamin Lubis (kanan), dua orang warga senior yang tahu perkembangan terminal Manggarai.

Toko buku pak Tamin bernama toko ABC. Buku-buku yang dijual lebih banyak komik. Pelawak Ateng salah seorang pelanggan tetap toko buku ABC. Ketika komik Api Bukit Manoreh lagi naik daun, Ateng seringkali datang ke toko ABC untuk membeli komik.

Sekadar info, Api Bukit Manoreh adalah cerita silat Jawa yang paling populer. Komik ini karya pengarang legendaris SH Mintardja. Komik yang diterbitkan oleh Kedaulatan Rakyat ini terdiri dari beberapa seri. Seri I terdiri dari 100 jilid.

“Saya cuma jualan di situ sekitar lima tahun,” ujar pak Tamin yang sejak tahun 60-an tinggal di belakang masjid Ash-Shalihien yang terletak di seberang terminal Manggarai, tepatnya di gang Bhakti VIII, RT 02 RW 05 no 17 Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan 12850.

Di gang Bhakti yang dikenal sebagai Kampung Bakimatraman ini, pak Tamin tinggal bersama istri yang merupakan penduduk asli Manggarai. Nama istrinya Hermayety.

“Setelah toko digusur pada zaman Gubernur Ali Sadikin, saya beralih dengan membuka pangkas rambut.”


Menara masjid Ash-Shalihien yang terletak persis depan terminal Manggarai.

Setelah para pedagang digusur dan di lokasi bekas taman Manggarai dijadikan terminal, beberapa pedagang berpindah-pindah ke beberapa lokasi. Ada yang membuka lapak di pinggir sungai Ciliwung, dimana sudah sejak tahun 70-an lapak-lapak tersebut berdiri sepanjang sungai Ciliwung. Selain di pinggir sungai, pedagang gusuran bekas taman Manggarai berpindah ke Pasar Rumput.



DUA TERMINAL

Selain penuh dengan pedagang, beberapa kendaraan umum mangkal di situ. Ada oplet, ada bemo. Kedua kendaraan tersebut mangkal di pinggir jalan, tepatnya sepanjang jalan depan pos polisi terminal Manggarai sekarang ini. Saat ini, sepanjang jalan yang dulu banyak oplet dan bemo itu, penuh dengan tukang ojek dan pedagang kaki lima.

Selain oplet dan bemo, ada juga delman. Rute oplet dan bemo masing-masing berbeda. Kalo oplet rutenya ke arah Pasar Minggu melalui jalan Soepomo dan Sahardjo. Kalo bemo, rutenya ke arah Tanah Abang. Sementara delman, tergantung dari permintaan penumpang, bisa ke Pasar Minggu, bisa pula ke Tanah Abang.


Cuma bemo satu-satunya kendaraan yang masih bertahan sejak tahun 1930-an. Kendaraan lain kayak oplet, becak, maupun delman sudah 'ke laut'! Kabarnya bemo pun juga akan ditarik dari peredaran.

Terminal yang sekarang Anda lihat dahulu disebut terminal dua. Ada satu lagi terminal yang disebut sebagai terminal satu, yakni di perempatan lampu merah. Jadi kalo mengarah ke Pasar Rumput, Anda akan melewati Pasaraya Manggarai dan Rumah Sakit (RS) Agung. Setelah RS Agung, Anda akan menjumpai perempatan lampu merah. Nah, dulu di sebelah kiri adalah terminal satu. Memang nggak ada tanda-tanda bekas terminal, tetapi sebelum tanahnya dijadikan taman, lokasi itu sempat dijadikan mangkal kendaraan-kendaraan bak terbuka yang disewakan.

“Dibedakan dua terminal itu, karena rutenya berbeda-beda,” jelas pak Syukur (63), warga asli Manggarai yang sudah sejak lahir tinggal di daerah itu. “Kalo terminal satu adalah kendaraan yang ke arah lapangan Banteng.”

Sebenarnya ada satu tempat mangkal kendaraan umum. Tetapi tempat mangkal ini nggak disebut sebagai terminal. Tempat itu berada di depan terminal Manggarai, dimana saat ini penuh dengan tukang ojek. Menurut pak Dulloh (72 tahun), kendaraan umum yang mangkal di situ adalah oplet.


PAWANG BUAYA

Pak Tamin Lubis termasuk salah seorang warga pendatang yang sudah lama tinggal di Manggarai. Pria berdarah Batak bermarga Lubis ini tinggal belakang masjid Ash-Shalihien depan terminal Manggarai ini sejak tahun 1967.

“Waktu itu sungai Ciliwung masih bisa untuk mandi,” ujar pak Tamin. “Saya pernah mandi di situ.”

Selain digunakan buat mandi, sungai Ciliwung di pinggir Manggarai ini biasa digunakan buat cuci pakaian dan cuci-cuci lain. Selama tinggal di Manggarai, tercatat sedikitnya sudah ada 3 orang yang meninggal hanyut. Pak Tamin sendiri sempat ingin menolong salah seorang dari korban, tetapi sayang seribu kali sayang, korban nggak bisa ditolong, karena arus air lebih deras.

“Biasanya yang tewas di dekat lokasi perahu getek biasa beroperasi,” tambah pak Syukur. “Soalnya pada saat menjala ikan, saya sempat menemukan ada pusaran di bawah sungai di dekat situ.”


Ada pusaran di dekat getek beroperasi yang sering menewaskan orang yang mandi di sungai Ciliwung.

Seperti juga pak Tamin, pak Syukur adalah warga yang sudah lama bermukin di Manggarai. Bahkan pak Syukur lahir di Manggarai. Pria ini dahulu seringkali mencari ikan di sungai Ciliwung. Nah, ia membenarkan cerita pak Tamin soal banyak korban yang seringkali hanyut. Lokasi perahu getek yang dimaksud pak Syukur berada di seberang toko sepeda di Pasar Rumput.

Selain cerita tentang korban hanyut di pusaran, menurut pak Syukur, memang ada penunggu di sungai Ciliwung ini. Adalah dua buaya yang menjadi penunggu. Buaya putih dan buaya buntung.

“Kalo buaya putih cukup baik,” kata pak Syukur. “Tiap kali akan ada kejadian yang berbahaya, ia selalu memberi tanda. Biasanya kepala buaya putih akan muncul ke permukaan sungai. Kalo sudah muncul kepalanya, biasanya orang-orang yang biasa mencuci nggak berani mencuci di Ciliwung.”

Sementara buaya ekor buntung nggak seperti buaya putih. Buaya ini membiarkan bencana terjadi begitu saja tanpa memberitahu. Bahkan cerita yang beredar, buaya ekor putih ini selalu mengadakan rapat dengan buaya-buaya lain dari seluruh sungai di Jakarta ini buat melakukan aksi yang bisa membahayakan manusia.

Menurut pak Syukur, orang yang memberitahu kepala buaya putih muncul adalah pria yang disebut sebagai pawang buaya. Ia bernama pak Bugeg. Pria kelahiran Bugis ini biasa berada di pinggir sungai.


DARI KOLAM RENANG KE McD

Sebelum menjadi Pasaraya Manggarai, dahulu di lokasi itu adalah pemukiman warga dan beberapa toko. Bukan cuma warga asli Manggarai, tetapi beberapa warga pendatang. Ada toko buku Montana yang dimiliki oleh orang Batak. Ada apotek Farmatika yang dimiliki oleh orang Palembang. Ada pula rumah pak Roti yang asli Manado.

“Selain rumah dan toko-toko, sebetulnya di lokasi tempat Pasaraya Manggarai situ juga bekas kuburan,” jelas pemilik toko Hiau Miauw yang nggak mau disebutkan namanya itu.

Yang juga paling dikenal warga Manggarai adalah kolam renang Zwembad. Kolam renang ini berada di dalam satu gedung, dimana terdapat juga sebuah bioskop. Menurut pak Syukur, bioskop itu hanya buka pada malam hari.

“Kalo pagi dikunjungi orang yang mau berenang. Malamnya baru bioskop yang dioperasikan,” ungkap pak Syukur. “Tapi bioskop cuma bertahan dua tahun.”

Menurut pemilik toko Hiap Miauw yang nggak mau disebutkan namanya, yang merupakan warga etnis Tionghoa yang kebetulan lahir di Manggarai, kolam renang Zwembad cuma boleh digunakan orang-orang Belanda. Sebab, kebetulan di dekat situ adalah tempat bermukimnya warga Belanda.

Lokasi kolam renang Zwembad itu berada di lokasi McDonnald yang berada di gedung Pasaraya Manggarai. Kata pak Syukur, kolam tersebut sempat dipakai buat pertandingan renang pada saat Games of the New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1962 di zaman Presiden ke-1 Soekarno

Zwembad yang ada di Manggarai ini sebenarnya merupakan 'cabang' dari zwembad yang ada di jalan Cikini (dulu ejaannya Tjikini). Sejarah membuktikan, sampai tahun 1934, zwembad di jalan Cikini -sebelah Kebon Binatang- merupakan satu-satunya di Batavia (baca: Jakarta). Pada tahun 1934 di sebelah selatan Weltevreden, dekat Manggarai dibangun Zwembad baru.

Zwembad Manggarai langsung mendapat tempat di hati masyarakat Batavia dan pengunjungnya meningkat cepat. Di antara pengunjung, terdapat para juara renang. Mereka ini biasanya bisa terlihat dengan logo ‘M’ bersayap yang ada pada seragam renang mereka. Di tahun 1935-an terutama di Jawa, memang banyak sekali lomba renang antarperkumpulan.

Ternyata Zwembad ini nggak cuma buat orang Belanda, tetapi beberapa sekolah menjadi pelanggan kolam renang ini. Maklum, saat itu belum ada kolam renang lain, salain Zwembad yang ada di Manggarai ini dan Cikini (sekarang kolam Cikini ada di dalam hotel Formula 1).

Salah satu sekolah yang menjadi pelanggan Zwembad adalah SMP 3 Filial yang berlokasi di Tebet Timur, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (pada tahun 1975 SMP 3 Filian diganti menjadi SMP 73). Menurut pak Soetono, mantan pelajar SMP 3 Filial yang kini bekerja di perusahan Lion Air, bayaran bulanan berenang di situ sekitar 15 perak.

"Waktu itu kalo pergi ke Zwembad saya naik bus robur," ucap pak Soetono yang rumahnya di Tebet Timur Dalam IX A no 8 ini. "Ada juga sih yang naik sepeda dan jalan kaki."

Pada tahun 80-an, Abdul Latief membebaskan toko-toko di dekat terminal Manggarai, termasuk kolam renang Zwembad. Selain toko-toko, beberapa pemukiman di situ juga dibebaskan. Tanah itu kelak berdiri Pasaraya Manggarai.


POHONG SENGON TEMPAT BERTEDUH

Ada toko tua di Manggarai yang sampai saat ini masih eksis. Toko ini berlokasi persis tepat di samping gedung Pasaraya Manggarai, tepatnya di jalan dr. Sahardjo no 13. Toko itu bernama Hiap Miauw.

Toko ini berdiri tahun 1932. Menurut pria beretnis Tionghoa yang ogah disebutkan namanya, nama Hiap Miauw memiliki arti. Hiap berarti kerjasama, sementara arti Miauw adalah makmur. Jadi Hiap Miauw dimaksudkan agar toko ini menjadi makmur, karena kerjasama yang baik antarsaudara.

“Kami adalah generasi kedua,” jelas pria yang kita sebut saja sebagai Engko Miauw. “Oleh karena toko kami punya arti, makanya dari dulu sampai sekarang kami tidak mau mengganti nama toko kami.”


Toko Hiap Miauw (kiri) dulu agak maju ke depan dan kalo mau ke toko kita seperti naik ke bukit, karena menjorok ke atas. Sementara lokasi pohon sengon ada di sebelah kiri, yang berada di posisi mobil parkir.

Menurut pak Syukur, toko Hiap Miauw sebelumnya menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga. Toko klontong, begitu istilahnya. Di toko ini, pak Syukur biasa beli beras yang bagus atau pulen.

“Harganya waktu itu masih 4 perak per liter,” ingat pak Syukur. “Dengan harga beras segitu, saya dapat beras yang enak banget!”

Sejalan dengan waktu, toko Hiau Miauw berubah, dari toko klontong menjadi toko bahan bangunan. Dari menjual beras dan kebutuhan rumah tangga, menjadi jualan cat tembok, tripleks, semen, kayu kaso, dan bahan bangunan lain. Tetapi Hiau Miauw nggak menjual pasir dan semen.

Tepat di sebelah toko Hiau Miauw, ada dua buah pohon sengon. Menurut Engko Miauw, pohon sengon itu ditanam sejak orangtua mereka hidup, sekitar tahun 30-an. Dua pohon itu kemudian tumbuh besar. Selain meneduhkan toko Hiau Miauw, juga meneduhkan jalan di depannya.

Oleh karena rimbun dan teduh, nggak heran banyak orang yang memanfaatkan pohon tersebut sebagai tempat beristirahat. Nggak cuma orang biasa, tetapi para pedagang pun ikut-ikutan berteduh di situ. Selain tukang buah-buahan, ada juga tukang becak.

Seperti sudah saya jelaskan di atas, bahwa pohon sengon berdiri di jalan raya Sahardjo. Artinya, kendaraan umum yang ingin menuju ke Pasar Minggu, pasti melewati pohon sengon itu. Namun menurut pak Syukur, nggak semua kendaraan umum berani melewati pohon sengon.

“Beberapa tukang delman nggak berani, karena kuda delman seringkali ngamuk,” ungkap pak Syukur. “Maklumlah, pohon sengon itu ada ‘penunggunya’.”

Boleh jadi apa yang dikatakan pak Syukur benar. Pohon sengon yang ada di samping toko Hiau Miauw itu memang ada ‘penunggunya’. Maksud ada ‘penunggunya’, ada mahkluk halusnya gitu, lho. Terbukti, ketika zaman Gubernur Ali Sadikin meminta pohon itu ditebang, banyak orang yang jatuh sakit. Sedikitnya ada 4 orang yang sempat jatuh sakit.

“Ketika ada orang yang menebang sakit, penebangan pohon dihentikan,” ujar Engko Miauw.

Selain rimbun, tinggi pohon sengon mencapai lebih dari 15 meter. Kalo kita mendekat ke pohon itu, Anda pasti akan merasa seram. Maklumlah, akar pohonnya menonjol dan kalo udah tua, kulit pohonnya akan retak-retak nggak beraturan. Meski menyeramkan, konon pohon sengon bisa dibudidayakan, lho. Saya sempat dengar, pohon sengon bisa laku dijual mencapai 400 ribu rupiah perpohon. Bayangkan kalo punya 1000 pohon, kita bisa dapat uang sebesar Rp. 400 juta rupiah. Mantabs kan?

Anyway, akhirnya pohon sengon di samping toko Hiau Miauw berhasil ditebang. Penebangan ini berkaitan dengan pelebaran jalan Sahardjo. Selain pohon sengon, yang menjadi ‘korban’ di tahun 1976 itu adalah toko Hiau Miauw itu sendiri. Kalo sebelumnya toko tersebut berada persis di ujung aspal jalan Sahardjo yang sekarang ini, gara-gara pelebaran jalan, toko jadi mundur 1,5 meter.

“Dulu toko ini cukup tinggi, karena tanah menuju ke toko menanjak,” jelas Engko Miauw. “Kabarnya akan ada pelebaran jalan lagi. Kalo ada pelebaran, habislah toko kami.”

IKAN MABOK DAN IKAN SAPU-SAPU

Ada rutinitas tahunan yang terjadi di Manggarai zaman dahulu, yakni menangkap ikan di kali Ciliwung. Lho memangnya nggak bisa setiap hari menangkap ikannya? Eit, yang ditangkap bukan ikan sembarang ikan. Yang ditangkap oleh penduduk setempat adalah ikan mabok.

Ikan mabok bukan jenis ikan, tetapi hanya aktivitas ikan yang gayanya kayak ‘orang mabok’. Ikan-ikan tersebut muncul di atas sungai Ciliwung. Hal tersebut membuat penduduk setempat mudah mendapatkan ikan-ikan tersebut. Oh iya, jenis ikan yang ditangkap itu adalah ikan keting.


Ikan sapu-sapu. Mirip lele dan nampak seram. Kulitnya bertutul dan matanya putih.
“Ikan keting itu mirip kayak ikan lele,” ungkap pak Syukur. “Namun jenis ikan ini hilang seiiring dengan era Soeharto.”

Ikan keting hilang, muncul ikan sapu-sapu. Nah, ikan sapu-sapu ini juga mirip ikan lele. Namun jenis ikan ini unik, yakni bisa membersihkan sampah-sampah di sekitar sungai, sehingga sungai Ciliwung menjadi bersih gara-gara ‘disapu’ oleh ikan ini. Itulah kenapa namanya ikan sapu-sapu (Hyposarcus Pordalis).

Menurut buku Alam Jakarta karya Ady Kristanto dan Frank Momberg (penerbit PT. Rajagrafindo Persada, 2008, hal 118), ikan sapu-sapu dianggap sebagai alien species, yakni jenis ikan pendatang.

Ikan sapu-sapu dianggap sebagai ikan yang rakus. Ia senang makan apa saja. Hebatnya, ia mampu bertahan dalam lingkungan yang ekstrem, kayak sungai Ciliwung di Manggarai ini. Tempat tinggalnya di lubang-lubang di pinggir sungai. Ciri khas ikan sapu-sapu adalah punya kulit yang keras, sehingga kalo kita banting beberapa kali, ikan ini masih bisa bertahan hidup.

Sampai kini di sungai Ciliwung masih terdapat ikan sapu-sapu. Dulu, ikan ini punya khasiat sebagai obat. Makanya jangan heran, ada beberapa orang yang menangkap ikan sapu-sapu ini dan dijual. Pasar yang paling laku adalah etnis Tionghoa. Etnis ini memang mempercayai ikan sapu-sapu berfungsi buat obat.

"Tapi menjual ikan sapu-sapu nggak utuh. Cuma badannya saja. Sementara kepalanya dipotong dan dibuang ke kali. Saya geli melihat cara orang-orang yang menjual ikan sapu-sapu itu," ungkap pak Syukur.

Tambah pak Syukur, mereka yang melakukan penjualan ikan sapu-sapu akhirnya kapok. Mereka nggak berani lagi menangkap dan menjual. Soalnya mereka sempat didatangi oleh penguasa ikan sapu-sapu yang konon marah gara-gara cara mematikan dengan memotong kepala.

Selain sebagai obat, ikan sapu-sapu ini konon juga biasa dijadikan kerupuk. Tapi yang konsumsi sebagai kerupuk jumlahnya nggak banyak, karena dagingnya pahit rasanya. Namun kita dianjurkan tidak memakan ikan sapu-sapu ini. Bukan karena dagingnya pahit, tetapi karena ikan ini suka mengkonsumsi endapan sungai yang mengandung bahan-bahan tercemar, polutan. Endapan itu masuk dan terakumulasi ke seluruh tubuh ikan sapu-sapu ini. Kebayang dong kalo kita makan?

TERMINAL TERPADU MANGGARAI

Sekitar tahun 90-an, ada rencana memekarkan terminal Manggarai. Kalo dari tahun 70-an sampai dengan 90-an luas terminal cuma kurang lebih seribu meter persegi, maka menurut rencana akan diperluas sampai 70 hektar. Wow?!


Ketika Presiden Soeharto masih berkuasa, terminal Manggarai sempat akan menjadi terminal terpadu dan menjadi terminal terbesar se-Asia Tenggara.

Adalah Siti Hadiati Rukmana alias mbak Tutut yang punya proyek pemekaran terminal Manggarai ini. Nama proyek ini dikenal sebagai terminal terpadu Manggarai. Menurut pak Syukur, terminal ini akan menggusur warga sekitar Manggarai, dari depan terminal sampai ke hotel Haris.

"Tahun 90-an developer sudah masuk ke kampung dan menawar biaya penggusuran pada warga," ujar pak Syukur. "Saya nggak ingat berapa harga per meter yang ditawar developer itu."

Tambah pak Syukur, di terminal terpadu Manggarai ini, kereta apinya akan sampai ke airport. Saking luasnya, terminal ini akan menjadi terminal terbesar se-Asia Tenggara. Terminal Blok M kalah!

Namun sayang, proyek mantan putri Presiden Soeharto ini gagal total. Batal! Gara-gara Soeharto keburu lengser dari tahta. Padahal warga di sekitar Manggarai sangat mengidamkan mereka digusur. Kenapa?

"Soalnya harga gusurannya cukup besar," ucap pak Tamin Lubis. "Ibaratnya, kalo di Manggarai kita cuma punya tanah 100 m2, begitu digusur dan pindah ke pinggiran Jakarta kita punya tanah 700 m2. Lumayan kan?"

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Minggu, 07 Maret 2010

DARIPADA SEWA GEDUNG, MENDING RENOVASI

Akhirnya gedung serbaguna di Fakultas Film dan Televisi (FFTV), Institut Kesenian Jakarta (IKJ) kelar juga. Selasa, 2 Maret 2010 ini, sejumlah petinggi di kalangan IKJ berkumpul buat melakukan acara selamatan. Selain Dekan FFTV Gotot Prakosa, S.sn., M.Hum, hadir pula Rektor IKJ, Prof. Dr. Sardono W. Kusumo.

Menurut Gotot, sebelum memutuskan buat merenovasi ruang serba guna ini, pihak fakultas sempat terpikirkan menyewa gedung. Sebab, semakin lama jumlah mahasiswa FFTV semakin banyak. Sungguh sangat kurang representatif kalo pertambahan jumlah mahasiswa nggak diikuti dengan penambahan ruang kuliah, termasuk ruang eksebisi, entah itu eksebisi buat photografi atau pemutaran film.



“Setelah dihitung-hitung, sewa gedung lebih mahal,” ujar Gotot. “Akhirnya diputuskan untuk merenovasi ruang serba guna ini. Alhamdulillah ruang yang tadinya terlihat kurang representatif sekarang menjadi lebih modern seperti yang kita lihat sekarang ini.”

Perlu diketahui, sebelum menjadi ruang serba guna, beberapa tahun lalu di lokasi yang sama terdapat kantin mahasiswa FFTV. Setelah jumlah mahasiswa semakin banyak, kantin direlokasikan ke belakang, sementara lokasi bekas kantin dijadikan ruang serbaguna, dimana selain menjadi tempat kuliah umum, juga berfungsi sebagai ruang audio visual.



Setiap ada pemutaran film atau diskusi di FFTV, ruang serbaguna inilah yang dijadikan venue. Kebetulan kapasitas ruang serbaguna mampu menampung jumlah orang kurang lebih 60-100 orang. Kini oleh Ketua Jurusan Film dan Televisi, Hartanto, S.sn, yang dianggap sesepuh audio di Indonesia ini, ruang serbaguna ini menggunakan teknologi audio berkualitas digital.

“Dengan gedung baru ini kami ingin FFTV semakin produktif berkarya,” jelas Gotot. “Dari 600-an mahasiwanya, 5% berhasil menjuarai di berbagai festival film, baik festival film internasional, maupun nasional.”

Sementara Prof. Sardono lebih menekankan agar kita bersyukur dengan kondisi sekarang ini. Bahwa gedung IKJ berada dalam kompleks, dimana pusat kesenian selalu berlangsung. Berbeda dengan sekolah-sekolah kesenian yang ada, yang terpecah-pecah konsentrasinya, kalo nggak seni tari aja atau seni rupa. Sementara IKJ terdapat semua seni. Ada seni rupa, seni pertunjukan, dan seni audio-visual.



“Oleh karena itu kita bisa bersinergi satu sama lain,” jelas Sardono. “Kita bisa berkreasi dengan sangat luar biasa. Soal komersil sebuah kesenian, itu pasti akan ikut dengan sendirinya.”

Dalam kesempatan itu, Sardono mengingatkan kita semua lagi tentang sejarah IKJ. Bahwa lahan IKJ merupakan tanah wakaf Raden Saleh. Kita memang cuma mengenal beliau seorang pelukis. Padahal ia juga seorang ahli botani. Dahulu, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) seperti Kebun Raya Bogor yang terdapat aneka jenis pepohonan, dimana menjadi lokasi riset orang-orang Belanda. Singkat cerita, tanah kemudian dihibahkan ke Provinsi DKI Jakarta dan kemudian berdirilah IKJ.

“Saya berharap, idealisme pendahulu kita untuk menjadikan IKJ ini eksis bisa diteruskan ke adik-adik kita yang lebih muda,” ujar Prof. Sardono. “Kita tahu, pendiri-pendiri IKJ sudah berjuang sedemian keras tanpa berpikir tentang uang. Makanya kita nggak boleh lupa dengan mereka. Itu pula mengapa saya meminta melukis wajah-wajah orang yang telah berjuang untuk IKJ di gedung.”

Memang benar kata Presiden pertama kita Ir. Soekarno. Jangan sekali-kali "jasmerah", yakni "jangan melupakan sejarah". Tanpa para seniman terdahulu yang idealis, nggak akan mungkin IKJ eksis sampai sekarang, ya nggak? Sama aja dengan diri kita. Kalo kita melupakan sejarah, itu sama saja kita melupakan siapa orang yang berjasa melahirkan kita ke dunia ini.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

DUA RUMAH TUA DI JALAN CIANJUR ITU...

Rumah no 14 yang berada di jalan Cianjur ini memang sudah lama saya incar. Bukan hendak menggrebek penghuni rumahnya, lho. Tujuan saya nggak lebih dari sekadar ingin berkenalan dengan pemilik asli rumah ini dan numpang mengabadaikan rumah tua peninggalan Belanda ini.

Alhamdulillah, saat jadwal bersepeda Minggu (07/03/10), saya menyempatkan diri mampir ke rumah ini. Eh, ndilalah ada seorang ibu di beranda rumah. Tanpa membuang waktu, saya mencoba menghampiri Ibu yang mengenakan daster warna biru muda itu.



"Rumah ini bukan milik pribadi saya," ujar Ibu Evi. "Saya cuma kontrak. Pemilik aslinya etnis Tionghoa. Sekarang tinggal di Singapura."

Ibu Evi tinggal di rumah ini sejak tahun 80-an. Entah bagaimana ceritanya, ia bersama keluarganya bertahun-tahun ngontrak di rumah ini. Satu hal yang pasti, rumah itu dibagi dua keluarga yang masing-masing nggak ada hubungan keluarga. Ruang bawah ditinggali oleh Ibu Evi dengan anak-anaknya, sedangkan di paviliun dan di lantai dua ditinggali oleh orang lain. Oh iya, di atas ada kamar kos-kosan.



"Kira-kira duaratuslimapuluh kali ya?" ujar Ibu Evi mengingat-ingat harga kontrak per bulannya. "Mungkin juga limaratus ribu. Ah, nggak tahu, deh. Soalnya yang biasa bayar anak saya."

Wah, kalo benar harga kontrak per bulan antara Rp 250 ribu- Rp 500 ribu, menurut saya relatif murah ya? Bayangkan, lokasi strategis banget. Memang sih, kondisi rumahnya nggak begitu bagus, tetapi kalo dipikir-pikir, buat tidur dan tempat tinggal buat kesana-kemari asyik juga!

Di sebelah rumah tempat Ibu Evi, ada rumah bernomor 12. Rumah ini nggak berpenghuni. Menurut Ibu Evi, rumah sebelah ini juga dimiliki oleh etnis Tionghoa yang saat ini bermukim di Singapura. Kok semuanya bermukin di Singapura ya?



"Anak saya sering telpon-telponan dengan yang punya rumah," kata Ibu Evi. "Udah beberapa kali ganti satpam. Habis, banyak barang-barang yang dicuri terus."

Rumah bernomor 12 yang nggak berpenghuni ini berada persis di pojok jalan Cianjur. Waktu SMA dulu, saya masih ingat jalan ini sering dipakai buat mejeng para bencong asal Taman Lawang. Gara-gara bencong mejeng, tiap malam -terutama malam Minggu-, jalan situ macet banget. Ya, ngapaian lagi kalo bukan buat ngeliatin bencong yang memamerkan keseksian tubuh mereka.



Wah, saya jadi curiga, jangan-jangan pemilik rumah no 12 ini nggak tahan tiap malam di depan rumahnya ditonggkrongin bencong. Atau malah belum bayar bencong sehingga harus kabur ke Singapura? Ah, hanya dia dan Tuhan yang tahu!

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

NGARAK PENGANTIN SUNAT DI SABTU CERIA

Sudah lama banget saya nggak melihat langsung upacara tradisi Betawi. Paling-paling pada saat ulang tahun Jakarta yang nanti baru di bulan Juni. Kebetulan banget, tetangga di kampung saya menyelenggarakan hajat sunatan dengan menggunakan adat Betawi. Ada penganten sunat yang dinaikkan ke kuda, ada pawai tanjidor beserta ondel-ondel, ada pula odong-odong. Rame banget, deh! Nggak heran, peristiwa "langka" ini membuat hati saya riang gembira.


Pengantin sunat di atas kuda.

Terserah Anda mau bilang saya norak, udik, kampungan, nggak level, nggak soulfull, nggak masuk dalam gernerasi Blackberry. Whatever you said, lah! Saya nggak peduli. Saya lebih peduli melihat adat istiadat model begini terus dilestarikan, ketimbang tarian-tarian yang bukan “muhrim”-nya Indonesia. Maksudnya bukan berasal dari Indonesia. Tahu dong apa yang saya maksud?

Di Betawi, orang yang disunat juga disebut penganten sunat. Makumlah, biar cuma dipotong ujung daging penis seorang lelaki, tetapi ia disebut pengantin dan dihormati sebagai orang yang hari itu membawa kegembiraan warga. Kegembiraan? Yaiyalah! Ia dan keluarga membuat warga jadi terhibur. Biar cuma musik tanjidor, ondel-ondel berjoget begitu-begitu aja, atau odong-odong yang dinaikkan anak-anak singkong, tetapi semua itu menyenangkan. Ah, jadi meninggatkan masa-masa kecil saya dahulu kala.





Suasana Sabtu pagi ini benar-benar ceria. Dengan sinar matahari yang memancarkan sinar sekitar 38 derajat selsius, saya berada di antara beberapa warga yang melihat ondel-ondel berjoget dengan diiringi oleh tanjidor dari grup Bintang Seroja. Beberapa warga mengintip dari balik tembok, ada pula anak-anak yang mendekat di dekat ondel-ondel.

“Kami beranggotakan 17 orang, bang,” kata salah seorang pimpinan grup tanjidor ini. “Jumlah itu termasuk pemain ondel-ondel.”

Bintang Seroja adalah satu dari beberapa grup tanjidor yang masih eksis. Menurut pimpinannya, harga sekali main adalah Rp 2 juta. Harga segitu termasuk sewa alat, kostum, dan ondel-ondel.

“Biasanya kami cuma main dari jam 9 sampai bedug dzuhur-lah,” katanya. Maksudnya bedug dzuhur itu sekitar pukul 12-an.



Kelar main di depan rumah pengantin sunat, saatnya keliling. Ondel-ondel yang berada di depan mengawal pengantin, sementara pengantin naik kuda didampingi oleh Babe-nya. Sebelum ondel-ondel, ada dua pria yang membawa hiasan terbuat dari kertas warna-warni, seolah sebagai pilar. Sementara di belakang pengantin sunat, ada sebuah delman dan dua odong-odong yang semuanya diisi oleh anak-anak yang berasal dari keluarga pengantin.

Saya meninikmati suasana di kampung saya ini, sebagaimana anak-anak muda dan kaum the have menikmati International Java Jazz Festival (JJF) di arena JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Ternyata saya lebih menyukai lenggak-lenggok ondel-ondel dan hiruk pikuk karnaval adat Betawi ketimbang menikmati penyanyi soul R&B asal Springfield, Ohio, AS, John Legend yang dielu-elukan ribuan orang Indonesia itu. Saya cukup meng-elu-elukan Fadlan Bagas Pramana, si pengantin sunat, anak ke-3 pasangan bapak Ahmad Winata dan Ibu Maisaroh, S.Pd. Norak banget sih ogut? Ah, sekali lagi saya ucapkan: I DON’T CARE!

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

BAKMIE MA' NYOS TAHUN 70-AN DI JAKARTA

Buat Anda kelahiran Jakarta tahun 60-an dan 70-an, pasti kenal dengan tempat bakmi ayam yang paling ngetop di jalan Salemba. Nggak lain nggak bukan bernama Mio-Seng.

Why ngetop?

Pertama, bakminya udah pasti uendang banget alias enak. Nggak ngerti deh, ngebuatnya pake minyak babi apa enggak, ya kayak bakmie Gondangdia yang konon enaknya gara-gara minyak babi.



Yang kedua, Mio-Seng ini lokasinya tepat di sebarang kampus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Salemba. So, mahasiswa-mahasiswa kedokteran UI tahun 60-an dan 70-an pasti makan di situ. Bahkan zaman dahulu sebelum ada McD atau KFC, janjian buat kencan ya di bakmi ini.



Lebih dari itu, Mio-Seng sebenarnya bisa masuk ke 'toko bersejarah'. Betapa tidak, toko ini tahu banget peristiwa yang terjadi di Salemba, salah satunya ya Peristiwa Malari itu. Kalo toko ini bisa ngomong, pasti dia akan berbicara banyak soal itu.



Namun, toko kelontong dan juga kedai bakmi yang paling ma'nyos di tahun 60-an dan 70-an ini tinggal kenangan. Sebab, toko ini udah ditawarkan kepada khalayak umum, karena dijual.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya