Minggu, 17 Januari 2010

MENELUSURI SEJARAH MENGUAK JEJAK MEESTER CORNELIS

Begitulah judul acara yang digelar oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI) pada Minggu, 17 Januari 2010 ini. Judulnya aja sudah "melusuri sejarah", jadi acara ini benar-benar menelusuri jejak sejarah yang kali ini mengenai kawasan Jatinegara lama, Jakarta Timur.

Dalam menelusuri kawasan Jatinegara lama, kami nggak diperkenankan menggunakan kendaraan bermotor, baik motor atau mobil. Begitu pula sepeda yang nggak diizinkan beroperasi buat sementara waktu. Kami kudu menyusuri kawasan Jatinegara ini 100% dengan berjalan kaki. Walking tour kata orang bule. Seru abis!



Kalo ada kolektor nekad, kotak surat yang ada di kantor pos Jatinegara ini bisa diangkut. Pasalnya, kotak suratnya memang jadul banget alias sudah jadi barang antik yang nilainya miliaran rupiah, karena diproduksi tahun 1913 dan asli Belanda.

Kawasan Jatinegara memang identik dengan Meester Cornelis. Pria bule asli Belanda ini pada penjajahan Belanda memegang tampuk pimpinan di wilayah Jatinegara dan sekitarnya. Sejarah kehadiran Cornelis dimulai sejak 1661. Adalah guru agama Kristen asal Pulau Banda bernama Cornelis Senen. Dialah yang membuka kawasan hutan jati di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Jatinegara ini. Jabatannya sebagai guru agama itulah yang membuat Cornelis Senen mendapat tambahan gelar “Meester” di depan namanya. “Meester” sendiri artinya “Tuan Guru”.

Sejak akhir abad 17, Meester Cornelis mulai menguasai tanah di kawasan hutan jati itu. Masyarakat pun menyebutnya dengan kawasan Meester Cornelis. Kawasan hutan jati yang dibuka Meester Cornelis perlahan berkembang jadi kota Batavia. Pada 1924, Mester dijadikan nama kabupaten, yang terbagi dalam empat kawedanan. Kawedanan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang.



Menurut tour guide senior Maria, rumah-rumah yang ada di pinggir jalan sebelum pasar Jatinegara ini ditinggali oleh para centeng (foto kiri atas). Tugas centeng adalah menseleksi siapa yang mau berdagang di pasar. Nah, kalo rumah yang ada ada kaca patrinya ini (foto kiri bawah) konon merupakan tempat tinggal keluarga mafia Tionghoa. Kalo sudah lewat para centeng, para pedagang baru boleh menghadap mafia ini dan kalo sogokannya gede, pedagang bisa berdagang di dalam pasar Jatinegara.

Sedangkan, nama Jatinegara baru mulai digunakan pada awal pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942. Penggantian nama ini nggak lain buat menghilangkan nama-nama yang ada Belanda-Belanda-nya. Pemilihan nama Jatinegara lebih karena kawasan itu adalah hutan jati yang lebat.

Tur diawali di kantor pos Jatinegara yang berada persis di samping Polsek Jatinegara, jalan Matraman Raya No.22. Di kantor pos ini, seluruh peserta tur dikumpulkan dan di-briefing oleh Ketua KHI Asep Kambali. Selain Ketua KHI, pria kurus berkacamata ini juga dikenal sebagai sejarawan dan professional historical guide. Selain Asep, ada pula Alwi Shahab, seorang penulis senior dan budayawan, yang ikutan hadir.

Peserta kemudian dibagi beberapa kelompok, sesuai warna bendera. Ada kelompok merah, ada kelompok biru. Warna bendera ini nggak ada hubungannya dengan partai politik tertentu. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 10-15 orang dan mendapatkan seorang tour guide. Hampir 100% tour guide-nya masih muda-muda. Mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi. Ada yang dari Universitas Indonesia (UI) Fakultas Ilmu Budaya jurusan sejarah. Ada yang dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).


Jendela SMPN 14 yang lebar. Angin bisa masuk dengan leluasa. Model jendela besar seperti ini memang salah satu ciri khas bangunan Belanda. Bule-bule Belanda tahu, Indonesia itu panas, makanya kudu dibuat jendela yang lebar biar anginnya banyak masuk.

“Bangunan kantor pos ini masih asli,” kata tour guide kelompok biru yang dipimpin oleh Deni Kurniawan, lulusan UNJ jurusan sejarah. “Ciri khas bangunan yang dibuat zaman Belanda, yakni tembok dan batu-batu alam yang menempel pada dinding”.

Kotak surat yang ada di depan pintu masuk kantor pos ini memang jadul banget alias masih asli. Kalo lihat tahun pembuatan di bagian kanan kotak tersebut, ada angka 1913. Itu artinya dibuat pada tahun 1913. Selain angka 1913, ada tulisan: depenbrock & reiceps ulft. Menurut Alwi, kata “ulft” yang ada di tulisan itu adalah nama kota yang memproduksi kotak surat yang terbuat dari besi baja ini. Sekadar info, Ulft itu adalah kota yang ada di sebelah Timur Belanda.

Dari kantor pos, kami memulai penelusuran jejak sejarah yang sesungguhnya, yakni dengan melewati lapangan Kodam. Lalu berjalan ke arah Selatan menuju sebuah sekolah tua yang ada di kawasan Meester ini. Sekolah yang berada persis di samping Jatinegara Mal ini masih digunakan sebagai lokasi belajar SMP Negeri 14, Jatinegara.

Kalo dilihat dari struktur bangunannya, sekolah yang berada di jalan Matraman ini dibuat pada zaman Belanda. Menurut tour guide-nya, salah satu ciri khas bagunan Belanda adalah ada ruang di bawah bangunan yang digunakan sebagai saluran air. Orang-orang bule Belanda itu sudah punya visi jauh ke depan, bahwa saluran air di rumah rumah itu penting banget. Dengan memperhatikan saluran air, maka pada saat hujan, rumah kita nggak akan tergenang. Pembuangan air jadi lancar ke arah yang benar, yakni ke kali atau sungai.



Tangga penyebrangan menuju Pasar Jatinegara tampak dari dalam pintu masuk SMPN 14 (foto kanan). Ruang kelas yang masih mempergunakan bangku yang terbuat dari kayu. Jadi inget zaman dulu waktu masih sekolah (foto kiri).

Selain saluran air, ciri bangunan Belanda adalah jendela. Mereka sadar, Indonesia bukan Belanda yang punya musim dingin atau bahkan salju. Indonesia cuma punya dua musim: hujan dan panas. Kebanyakan yang muncul adalah musim panas. Oleh karena itu, jendela rumah-rumah Belanda di Indonesia ini gede-gede. Hal tersebut dibuat agar angin bisa banyak masuk ke dalam rumah.

Dari SMPN 14, rombongan berjalan menuju ke stasiun kereta api Jatinegara. Tepatnya ke Dipo lokomotif Jatinegara. Buat menuju ke Dipo, kami melewati pasar burung dan anekahewan yang berada di seberang Pasar Jatinegara. Kira-kira sekitar 100 meter dari ujung pasar yang letakkan masih di jalan raya Matraman, sampailah kami di Dipo.


SMPN 14 satu-satunya sekolah tua bersejarah buatan Belanda.

Struktur bangunan di Dipo masih asli, termasuk alat pemutar lokomotif kereta produksi Delft, Belanda tahun 1913 yang masih dipergunakan sampai sekarang. Aset peninggalan Belanda ini ternyata bermanfaat banget buat PT. KA. Padahal usia alat pemutar ini sudah hampir mencapai seabad. Ya, begitulah kalo buatan Belanda, pasti selalu awet dan tahan lama.




Kami kemudian masuk ke dalam ruang listrik, dimana di situ segala perlistrikan kereta diatur. Meski menggunakan bangunan lama, peralatan listrik buat mengontrol masing-masing kereta sudah menggunakan peralatan modern dan baru. Padahal zaman Belanda, semua kereta belum menggunakan listrik, tetapi batu bara. Nah, kebetulan banget di dalam gedung itu masih ada sebuah gedung bekas menyimpan batu baru. Tempat penyimpanannya di bawah, mirip basement.

“Itulah salah satu alasan mengapa bangunan Belanda ada semacam basement-nya,” kata Maria, seorang tour guide senior yang ikut rombangan kami. “Tapi sekarang tempat bekas taro batu bara ini jadi kolam air, karena tergenang air hujan”.


Ruang bawah tanah yang dahulu dipergunakan sebagai gudang penyimpanan batu bara. Saat ini cuma berisi genangan air. Padahal saya ingin sekali melihat ada apa di bawah dan merasakan seolah saya berada saat zaman Belanda.

Kami lanjut berjalan menuju ke bangunan eks. Kodim. Buat menuju ke tempat ini, kami melewati stasiun kereta api Jatinegara. Menurut Maria, stasiun ini sudah banyak yang direnovasi. Memang sih, strukur bangunannya masih dipertahankan gaya stasiun kereta api zaman Belanda, tetapi kalo diperhatikan banyak item-item yang sudah nggak asli lagi. Lantai stasiun misalnya. Lantai yang sekarang, sudah diganti dengan keramik KW2 yang barangkali belinya di jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, dekat rumah saya.

“Kalo dulu, lantainya setebal kamus,” jelas Maria sambil memperlihakan ukuran ketebalan lantai dengan carinya. “Kalo dipukul sulit pecahnya. Tapi kalo keramik yang ada di stasiun ini, sekali pukul juga sudah pecah”.


Gedung eks Kodim 0505 yang konon katanya mau dijadikan Gedung Kesenian Jakarta Timur. Mari kita tunggu kebenarannya. Asal jangan sampai membongkar gedung tua, eh yang "berdiri" setelah itu adalah apartemen atau mal. Kalo ini terjadi, saya protes!

Ternyata kami nggak bisa masuk ke gedung eks. Kodim 0505 (eks. Landrad). Menurut Asep, KHI nggak dapat izin dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Katanya, Kepala Dinas-nya nggak pengen gedung ini diekspos di media. Mereka takut dipertanyakan mengapa gedung ini nggak dipertahankan. Atau kalo memang struktur bangunannya rapuh, kenapa nggak direnovasi aja? Sebenarnya aneh kalo mereka takut. Justru ketakutan ini malah menimbulkan kecurigaan, ya nggak? Jangan-jangan bagunan yang berada di atas tanah yang cukup luas ini akan berubah fungsi menjadi mal atau apartemen. Bukankah biasanya begitu? Ah, entahlah! Menurut Asep, eks. Kodim 0505 ini akan dijadikan gedung kesenian Jakarta Timur. Mari kita tunggu kebenarannya!


Nggak boleh ada orang yang boleh masuk lagi di eks Kodim.

Target selanjutnya adalah ke vihara Amurva Bhumi yang ada di dalam pasar Jatinegara. Buat mencapai vihara, rombongan kudu melawati pasar Jatinegara. Namanya juga pasar, jadi yang dijual pun macam-macam. Bukan cuma sayur-mayur, tetapi saya sempat bertemu dengan pedagang kodok dan pengrajin janur. Kami pun melewati kios-kios pedagang peralatan bagunan dan otomotif mirip kayak di pasar Poncol, Senen, Jakarta Pusat.

Menurut pedagang, sebenarnya buat menuju ke vihara Amurva, nggak usah lewat pasar juga bisa, yakni lewat jalan Matraman (samping gereja GPIB Koinonia). Namun gara-gara sudah terlanjur nyasar, kami terpaksa kudu melewati jalur pasar dan kios-kios tadi.



Vihara Amurva konon berdiri 370 tahun lalu. Ketika kami datang, beberapa orang sedang mengadakan rapat mengenai perayaan Cap Go Meh yang akan dilaksanakan pada 28 Februari mendatang. Rapatnya sangat serius, karena perayaan ini membutuhkan kordinasi dengan instansi terkait dan butuh dana yang nggak kecil. Menurut penjaga vihara, biaya tahun lalu mencapai kurang dari Rp 400 juta.

Cap Go Meh adalah tradisi yang lahir dari perayaan Imlek. Seperti orang Tionghoa di seluruh dunia, orang Tionghoa di Indonesia pun merayakan Imlek buat menyambut tahun baru China. Kalo orang Islam mengadakan Idul Fitri atau orang Kristen merayakan Natal, maka orang Tionghoa merayakan Imlek.




Tahun baru Imlek muncul dari tradisi masyarakat Tiongkok, dimana merupakan tradisi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas panenan dan sekaligus harapan agar musim berikutnya, agar memperoleh hasil panen yang jauh lebih baik.

Imlek selalu dirayakan selama 15 hari berturut-turut. Sebagai hari puncak, yakni hari ke-15 disebut dengan Cap Go Meh. Dalam tradisi Hokkian berarti malam ke-15 yang merupakan puncak perayaan Imlek, dan Cap Go Meh dirayakan secara khusus. Soal detail perayaan Cap Go Meh, saya akan ceritakan kisahnya ya. Kebetulan di vihara, saya sempat berjumpa dengan ketua panitia yang siap memandu saya selama perayaan di bulan Februari nanti.

Perjalanan wisata Jatinegara tua dalam rangka menelusuri jejak Meester Cornelis berakhir di gereja Koinonia. Gereja yang berada di pojok jalan Matraman Raya, Jakarta Timur ini masih mempertahankan keaslian struktur bangunan serta bangku-bangku yang terbuat dari kayu itu.Meski temboknya sudah berkali-kali dicat, namun gaya arsitektur Belanda-nya masih terasa. Nggak heran kalo pada tahun 2005, Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta Aurora Tambunan menganugerahkan gelar sadar pelestarian kebudayaan, karena berhasil memelihara gereja sebagai cagar budaya. Plakat yang terbuat dari seng berwarna emas dengan lambang Pemprov DKI Jakarta itu dipanjang di depan pintu masuk gereja.

Sebelum pamit pulang, saya pamit pada Asep selaku Ketua KHI. Saya bilang, aktivitas ini luar biasa, karena menumbuhkan kecintaan pada sejarah. Sebetulnya bukan baru kali ini saja KHI menyelenggarakan wisata menelusuri jejak sejarah, tetapi sudah dilakukan berkali-kali. Bahkan Asep mengajak saya lagi buat ikutan ke Cirebon pada akhir bulan Januari ini, dimana kali ini bakal menyusuri jejak Wali Songo. Mendapat tawaran itu, spontan saja saya jawab: “Hayo! Siapa takut?!”

KOMUNITAS HISTORIA INDONESIA (KHI)
Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia
Telpon: (021) 3700.2345 | M.0818.0807. 3636
Phone : (021) 3700.2345, Mobile : 0818-0807-3636
E-mail/FB : komunitashistoria@yahoo.com

Mailing list: http://groups.yahoo.com/group/komunitashistoria
Homepage : http://www.komunitashistoria.org

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sabtu, 16 Januari 2010

MEMANG DASAR JODOH, KETEMU BUKU "MEMBONGKAR GURITA CIKEAS" TANPA SENGAJA

Terus terang sejak diluncurkan dan menjadi kontroversi, saya nggak ada niat sama sekali buat beli buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro ini. Pasalnya, secara garis besar saya bisa menerka kandungan dari buku terbitan Galang Press, Yogyakarta, 2010 ini. Lebih dari itu, banyak orang bilang, buku karya mantan wartawan Tempo (1971-1979) ini seharusnya bisa lebih gokil. Maklumlah, buku doktor lulusan Cornell University, Ithaca, New York ini sebelumnya cukup tebal dan berbobot, nggak kayak buku Membongkar Gurita Cikeas yang cuma 174 halaman dan lebih banyak mengutip dari artikel-artikel di koran maupun majalah.


Saya beruntung banget dapat buku Membongkar Gurita Cikeas. Wong nggak ngotot banget buat membeli, eh memang dasar jodoh. Di depan mata ada yang menjual. Buku asli, harga asli.

Beberapa waktu lalu, iseng-iseng saya tanya harga buku yang dicover depan bergambar gurita mengenakan topi raja Jawa dan terdapat kutipan almarhum Abdurrahman Wahid ("Bukankah SBY berkata akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini?") di penjual buku di lampu merah. Setelah pemerintah melarang peredaran buku Membongkar Gurita Cikeas dan sempat melakukan sidak ke toko-toko buku, harga jualnya jadi nggak make sense, naik 200%. Dari aslinya seharga Rp 36 ribu, menjadi Rp 135 ribu. Bahkan buat pembeli yang bermobil harganya dinaikkan lagi menjadi Rp 150 ribu.


Buku asli, harganya pun asli. Nggak di-mark up oleh pedagang buku lampu merah yang menjual dengan harga 135 ribu sampai 150 ribu perak per eksemplar.


Padahal buku yang dijual di lampu merah adalah buku bajakan. Seperti kita tahu, kalo kita beli buku di lampu merah nggak rileks, sebagaimana kalo kita membeli di toko buku. Kudu cepat, karena takut lampu hijau tiba-tiba menyala, sementara kita belum sempat mengecek buku, membayar, atau menerima kembalian. Kalo kejadinnya kayak begitu, mobil di belakang kita pasti akan membunyikan klaskon. Menyebalkan bukan? Gara-gara nggak punya banyak waktu, kita pun nggak bisa tahu apakah isi bukunya benar-benar sama dengan buku aslinya. Sebab, pengalaman kalo beli buku apalagi DVD di jalan raya, kita nggak mungkin sempat ngecek.

Alhamdulillah, tanpa sengaja pas jalan-jalan sama istri, saya menemukan buku "Membongkar Gurita Cikeas" dengan harga asli, yakni Rp 36 ribu!

"Ini buku asli, Pak," jawab si penjual.


Putri kami kedua cengengesan begitu melihat cover buku yang ada guritanya. Komentarnya: "Lucu ya guritanya pake topi Raja Jawa!"

Memang dasar jodoh, tanpa basa-basi, saya langsung membeli. Saya sempat bingung ketika si penjual bertanya kenapa saya hanya membeli saya. Saya nggak berpikir buat membeli beberapa eksemplar dan menjual pada mereka yang masih penasaran dengan buku ini. Apalagi ada teman saya yang pengen banget mengkoleksi buku kontroversi ini.

Ah, memang dasar bukan otak dagang, ya saya tetap aja cuek ditawarin oleh si pedagang buat membeli beberapa eksemplar. Padahal sih kalo mau beli sepuluh atau duapuluh Insya Allah masih bisa. Kalo perlu uang sisa di ATM dihabiskan buat memborong buku itu dan menjualnya dengan harga sedikit lebih tinggi, Rp 50 ribu perak misalnya. Tapi sekali lagi, saya nggak tertarik buat jadi pedagang, ya kesempatan emas ini nggak saya ambil, deh.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 15 Januari 2010

MIRANDA S. GOELTOM: OTAK MODERNISASI MUSEUM BANK INDONESIA

Barangkali tak banyak orang tahu, siapa otak di balik modernisasi museum Bank Indonesia (BI) yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Juli 2009 lalu. Dia tak lain adalah Miranda Goeltom. Gara-gara beliau, museum BI jadi jauh lebih keren dari sebelumnya. Bahkan saat ini museum BI dianggap sebagai museum terbaik di Indonesia dan paling siap menghadapi 'Tahun Kunjungan Museum 2010' yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Ir. Jero Wacik, SE pada 30 Desember 2009 lalu.

Miranda Swaray Goeltom. Begitulah nama panjang wanita berdarah Batak kelahiran Jakarta, 19 Juni 1949 ini. Selama ini, ia memang dikenal sebagai Deputy Gubernur BI yang cukup kontroversial. Betapa tidak, ia dianggap wanita ambisius yang menginginkan posisi tertinggi di BI. Bayangkan, sejak dikalah oleh Burhanuddin Abdullah yang meraih posisi Gubernur BI pada tahun 2003 sampai akhir masa jabatannya, Miranda tetap mengincar jabatan sebagai Gubernur BI. Namun di pemilihan berikutnya, ia kalah lagi dengan pesaing kuatnya: Boediono. Setelah Boediono maju dalam pencalonan wakil presiden bersama SBY, Miranda cuma mengisi posisi sebagai Pejabat Pelakasana Tugas Harian Gubernur BI.


"Saya beruntung didukung oleh orang-orang gila, sehingga saya yang gila ini bisa mewujudkan impian saya," ujar Miranda.


Di luar sepak terjangnya di BI, Miranda adalah otak di balik konsep museum BI yang kini begitu modern dan bisa disejajarkan dengan museum-museum di luar negeri. Ia sangat serius menggarap museum BI. Saking seriusnya, ia membuat sebuah unit khusus di BI yang menangani museum BI ini. Di unit ini terdapat orang-orang yang sangat kompeten di bidangnya. Ada peneliti yang khusus mengumpulkan data-data dan sejarah tentang Bank Indonesia. Ada ahli komunikasi visual, dimana bertugas membuat visualisasi museum agar enak dinikmati, sehingga penggunjung betah. Ada pula para seniman yang merancang tata letak, diorama, patung-patung, serta instalasi yang ada di ruang pamer.

Hasilnya? Luar biasa! Menakjubkan! Kayaknya museum BI yang sangat siap menghadapi 'Tahun Kunjungan Museum 2010' ini. Bukan omong kosong, oleh Miranda, museum BI disulap menjadi museum yang terkonsep, menghibur, ada interaksi dengan penggunjung, nyaman, dan yang tak kalah penting, tidak berdebu dan WC-nya tidak jorok.

Kesungguhan wanita yang juga dikenal sebagai guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) untuk menjadikan museum BI "cantik", berawal dari "provokasi" salah seorang direksi yang berada di lingungan BI. Ia bernama Poernomo yang saat ini menjadi Peneliti Sejarah Utama di Unit Khusus Museum BI.

"Sebelum direnovasi, saya bilang ke Ibu (Miranda-pen) begini: Ibu serius nggak mau menggarap museum?" ucap Poernomo seraya mengingat masa-masa awal sebelum renovasi dilakukan beberapa tahun lalu. "Ternyata Ibu marah dan meminta saya untuk menjadi Ketua tim renovasi museum BI".

Menurut Poernomo, tidak semua pejabat bisa mampu melakukan sebagaimana Miranda lakukan, yakni "mempercantik" museum. Biar dikasih budget yang sama, sentuhan masing-masing orang pasti berbeda. Kata pepatah: man behind the gun. Benar juga sih. Yang terjadi kebanyakan dikorup dulu uangnya, baru merenovasi museum dengan sisa uang yang ada.

"Saya nggak pernah pusing dengan budget, karena bukan saya yang mengurus pengadaan barang di museum ini," ujar Miranda. "Saya cuma punya konsep!"

Boleh jadi, konsep yang di otak Miranda luar biasa. Di luar dari kemampuannya di bidang hitug-menghitung uang, ia memiliki sense of art yang tinggi. Hal ini bisa dimaklumi, karena selama ini pergaulannya dengan seniman-seniman cukup intens.

"Saya beruntung punya orang-orang gila," aku Miranda mengomentari orang-orang dari unit khusus museum BI yang ada di belakang konsepnya. "Saya salut dengan mereka. Di BI, unit yang ngurusin museum itu dianggap nggak elit. Kalo ngurusin moneter, baru dianggap elit. Siapa yang mau ngurusin museum? Makanya saya bilang, mereka itu gila. Dan saya bersyukur punya orang-orang gila kayak mereka".

Kalo membicarakan soal budaya dan museum dengan Miranda, butuh waktu yang cukup lama. Soalnya, ia begitu antusias. Ia bisa berbicara A sampai Z. Nggak cuma memandingakan museum satu dengan museum lain, tetapi soal impiannya terhadap museum di tanah air.


Miranda ingin sekali mengurusi museum-museum yang ada di Indonesia ini, dimana hampir seluruh museum nggak siap dengan 'Tahun Kunjungan Museum 2010'. Selain nggak menarik, WC-nya bau dan nggak ada AC-nya.


"Saya sedih banget dengan kondisi museum di Indonesia," ujar wanita yang setiap hari masih rajin jogging selama 45 menit dan bersepeda setiap Sabtu sepanjang 30 km ini. "Bayangkan, untuk menemukan canting (alat untuk membatik-pen) kuno, saya harus melihat di Singapura. Museum di Indonesia ini nggak punya".

Ia sering mengusulkan pada Menteri Keuangan Sri Mulyani agar menyisihkan dana buat "mempercantik" semua museum di Indonesia. Bukan cuma "mempercantik", tetapi mengembalikan benda-benda purbakala yang saat ini ada di museum-museum di luar negeri. Namun sayang, jawabannya selalu soal prioritas. Museum nggak termasuk prioritas utama di Indonesia ini, tetapi di tempatkan di paling buncit.

"Jadi wajar kalo kita melihat museum-museum yang ada di Indonesia ini seperti apa, ya nggak? Wong nggak jadi prioritas, kok?"

Itulah yang membuatnya cuma bisa geram dengan kondisi yang ada. Pada saya, Miranda sempat tercetus keinginannya buat mengurus museum yang ada di Indonesia ini. Buat saya, keinginanan Miranda sekali lagi patut diacungkan jempol. Saya yakin, hal itu bukan karena mengurus museum banyak uang atau seolah mengejar "kursi basah". Tetapi lebih kepada kepeduliannya terhadap warisan bangsa, apalagi tahun ini sudah ditetapkan sebagai 'Tahun Kunjungan Museum 2010'.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

WAS INSPIRED BY TRANSMILENIO

The buses called Transjakarta. Those are faster than other public transportations because they run on a special lane, the busway.

Transjakarta began operatin in 2004. Started on January 15, 2004. Transjakarta Bus or usually called busway was inspired by Transmilenio. It is a successful bus system in Bogota, Columbia.


A poster at Transjakarta's shelter

The busway was made to provide Jakartans with a more comfortable and reliable means of transportation. And of course to save the environment from climate change.



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 14 Januari 2010

KALO SEMUA MUSEUM KAYAK BEGINI, PASTI BANYAK PENGUNJUNG YANG DATANG

Pencanangan tahun 2010 ini sebagai Tahun Kunjungan Museum 2010 oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Ir. Jero Wacik, SE di Balairung Gedung Sapta Pesona Jakarta pada 30 Desember 2009 lalu, dianggap terburu-buru oleh banyak pihak. Alasannya sederhana, hampir semua museum di Indonesia ini, belum siap lahir bathin buat menarik jumlah orang buat menggunjungi museum. Menurut data Kompas.com (16/4/09), jumlah pengunjung museum per tahun sangatlah miris, yakni cuma 2 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa ini.

Lalu apa yang membuat orang tertarik buat datang ke museum?


Museum Bank Indonesia (BI) tampak luar. Satu-satunya museum di Indonesia yang sudah siap lahir dan bathin dalam menyambut 'Tahun Kunjungan Museum 2010'. Museum BI ini pula yang bisa dijadikan pilot project buat semua museum di Indonesia.

Direktur Ullen Sentalu Museum, KRT Thomas Haryonagoro saat hadir pada diskusi 'Tahun Kunjungan Museum 2010', yang digelar Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, beberapa waktu lalu di Museum Bank Mandiri, Jakarta, mengatakan, kesan museum di masyarakat selama ini adalah: (1) nggak atraktif; (2) nggak aspiratif; (3) nggak menghibur; dan (4) pengelolaan seadanya.

Tambah Thomas, ada beberapa kelemahan lain yang nggak kalah penting, antara lain (5)sumberdaya manusia di museum memprihatinkan; (6) edukator atau programmer kurang profesional; (7) kehumasan lemah, sehingga kurang aktif dalam pemasaran stagnan.

Saya sangat setuju dengan Thomas. Selama ini kondisi museum sangat memprihatinkan. Di Indonesia, museum bukan sebagai tujuan yang menarik dalam agenda kunjungan di saat libur. Masyarakat kelas menengah atas lebih suka jalan-jalan ke mal. Padahal terkadang ke mal nggak beli apa-apa atau makan di restoran tertentu, tetapi niatnya cuma jalan-jalan, rekreasi.


Ada permainan yang mengajak pengunjung berinteraksi, yakni "tangkap koin". Ini sangat menyenangkan buat Anda dan anak-anak.

Pemandangan di mal lebih nikmat daripada pergi ke musuem. Makanya jangan marah kalo kita akan dibilang orang aneh: kok jalan-jalan ke museum? jalan-jalan ya ke mal. Miris memang, tetapi itu kenyataannya. Museum cuma jadi nomor duapuluh atau bahkan ke seratus dalam perioritas kebanyakan orang.

Meski sebanyak 89 Museum, Asosiasi dan Komunitas Museum yang tersebar di seluruh tahan air telah mempersiapkan kalender kegiatan menarik selama satu tahun -mulai dari pameran, seminar, atraksi budaya, pameran foto, apresiasi, hingga menanam pohon-, namun semua hal tersebut belum menyentuh hal yang esensial, yakni perbaikan secara fisik, termasuk konsep museum sebagaimana dikatakan oleh Thomas. Kalender kegiatan itu cuma kulit aja. Coba kalo 'Tahun Kunjungan Museum 2010' sudah habis dan kondisi museumnya masih tetap sama, apa yang terjadi?



Uang termasuk bagian dari sejarah. Kalo kita melihat uang, pikiran kita langsung berputar-putar, mengenang uang dipajang. Uang yang terbuat dari kain ini merupakan alat tukar sah kayak uang (foto kiri). Kalo telapak tangannya pas, maka nilai selembar kain ini sama dengan sebutir telur. Uang kertas ini (foto samping) merupakan uang kertas yang diterbitkan di masing-masing kota. Ada uang kertas Lampung, Aceh, maupun Jakarta.


Hari ini, saya dibuat takjub dengan museum Bank Indonesia (BI). Museum yang berlokasi di jalan Pintu Besar Utara no 3, Jakarta ini keren! Nggak cuma soal kebersihan dan penataan ruang pamer yang keren, tetapi sangat menghibur. Ada ruang yang mengundang interaksi pengunjung. Yang juga nggak kalah penting, WC-nya nggak bau, bersih, dan seluruh ruang difasilitasi oleh penyejuk udara, sehingga para pengunjung nggak kepanasan. Kalo semua museum kayak museum BI, saya yakin para penggunjung bakal banyak yang datang.

Sejarah museum BI nggak bisa lepas dari BI itu sendiri. BI berdiri sejak tahun 1953. Pada awal berdiri, BI menempati gedung tua yang pernah digunakan buat rumah sakit, yang berada di jalan Pintu Besar Selatan 3, Jakarta Kota. Saat itu namanya belum BI, tetapi De Javasche Bank (DJB). Ini terjadi tahun 1828, saat Belanda masih bercokol di bumi Indonesia yang tercinta ini.

Singkat cerita, berdirilah museum BI ini. Museum BI resmi dibuka pada 15 Desember 2006. Yang membuka tahun itu adalah Gubernur Bank Indonesia, Bahanuddin Abdullah. Setelah direnovasi lagi, museum BI diresmikan kembali oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yoedoyono (SBY) pada tanggal 21 Juli 2009.


Di tiap periode, terdapat benda-benda kuno dan juga patung. Televisi merek Sharp ini masih berfungsi dengan baik. Selama museum buka, televisi ini memutarkan dokumentasi tentang BI.


Begitu SBY melihat patung-patung yang ada di museum ini kayak patung di foto ini, dia tanya patungnya dibuat di negara mana? Begitu dijelaskan patung ini asli buatan seniman Bandung, SBY kaget.

Menurut Peneliti Sejarah Madya Senior Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Tongam P. Simanjuntak, belum pernah terjadi dalam sejarah, seorang Presiden berlama-lama di dalam museum. Baru kali ini, ada Presiden setelah meresmikan sebuah fasilitas, bisa bertahan 1,5 jam. Hal tersebut cuma terjadi ketika meresmikan museum BI.

"Dia sempat kaget ketika patung-patung yang ada di dalam museum buatan Bandung," kata Tongam. "Pak SBY kira dibuat di luar negeri."

Ruang di dalam museum dibuat per periode. Ada periode penjajahan Belanda, lalu pada saat revolusi fisik, kemudian era Soeharto, dan sekarang ini. Di setiap era, penggunjung dapat membaca ulasan-ulasan -baik sejarah BI, maupun sejarah Indonesia pada umumnya- yang terpampang di digital printing yang ditempel di tembok. Yang menarik, di tiap periode dibuat dengan konsep berbeda.


Moza Pramita didampingi oleh Deputy Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S. Gultom menjelaskan konsep telepon-telepon yang ada di kotak-kotak itu.

Ketika masuk ke revolusi fisik, kita akan banyak mendengarkan suara Bung Karno membacakan teks proklamasi. Begitu pula ketika memasuki periode krisis moneter di tahun 1998, kita dibuat seolah mengalami pada saat krisis. Ruangan ini dibuat remang-reman berwarna merah. Maksudnya simbol merah adalah kritis. Yang menarik, di ruang ini ada 16 kotak, dimana di dalam kotak terdapat telepon yang bergerak-gerak seolah berdering.

"Maksud dari telepon-telepon ini adalah penggambaran pada saat krisis moneter, telepon di BI tidak pernah berhenti berdering," jelas Tongam. "Kami kerja 24 jam non stop!"

Di museum BI, ada permainan yang mengajak pengunjung berinteraksi, yakni "tangkap koin". Ini sangat menyenangkan buat Anda dan anak-anak. Caranya, angkat tangan Anda dalam posisi terbuka. Usahakan koin masuk ke dalam tangan Anda. Kalo masuk, tutup tangan Anda agar koin nggak bisa keluar. Kalo koin terperangkap, maka seketika koin akan memberikan info mengenai koin yang Anda tangkap itu. Luar biasa bukan?

Permainan yang nggak kalah seru adalah menyusun huruf. Mirip scrabble gitu deh. Ada sebuah persegi panjang mirip sebuah meja, yaitu sebuah multimedia interaktif. Di multimedia itu terdapat kotak kosong dan kotak 3 dimensi yang melayang ke sana-ke mari. Nah, kotak yang berisi sebuah huruf itu kudu kita giring buat dimasukkan ke dalam kotak kosong. Begitu seterusnya sampai di kotak kosong itu membentuk sebuah kalimat. Seru pokoknya!


Inilah jadwal waktu kunjungan.

Jadi, kalo Anda mengajak anak-anak jalan ke museum BI nggak akan menyesal. Selain mempelajari sejarah BI, kita juga jadi mengenal istilah-istilah dalam dunia perbankan.

Buat Anda yang hendak berkunjung ke museum, aksesnya juga mudah. Kalo Anda naik mobil, bisa langsung parkir di halaman museum BI. Kalo yang naik kendaraan umum, cari arah ke kota dan turun di halte persis depan museum BI. Bagi yang biasa busway, Anda turun di terminal akhir di kota, lalu berjalan menuju ke museum BI lewat terowongan (underpass).

Selamat berwisata ke museum BI!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

KETAGIHAN BER-OUTBOND RIA

Punya dua anak perempuan ternyata menarik juga. Pertama, mereka bisa jadi sangat wanita sekali. Suka dandan, bergaya ala pragawati, suka Barbie, dan melanggak-lenggok bagai penari. Di satu pihak, mereka nggak takut melakukan aktivitas rada ekstreem yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki.

Begitulah yang dilakukan oleh kedua anak kami, Anjani (10 tahun) dan Khaira (5 tahun). Salah satu aktivitas yang paling mereka gemari adalah flying fox. Kegemaran mereka ber-flying fox ini gara-gara dahulu kala pertama kali melakukan aktivitas yang sama di wisata Taman Buah Mekarsari, dimana di lokasi itu terdapat flying fox. Rupanya mereka ketagihan dan sampai sekarang tiap liburan, mereka selalu minta dimasukkan agenda melakukan aktivitas flying fox.


Anjani (10 tahun) di depan rute outbondHolic Taman Impian Jaya Ancol.











Khaira (5 tahun) tanpa pengawalan kami, dia begitu lincah menjalani rute yang ada di outbondHolic.

Liburan lalu, kami memutuskan buat mencoba outbondHolic Ancol Adventure Park yang ada di dalam Taman Impian Jaya Ancol. Kebetulan selama ke Ancol, kami belum pernah mencoba wahana ini. Nah, mumpung liburan, kami datang ke wahana yang berada dekat Pasar Seni Ancol.

OutbondHolic berdiri di lahan seluas lebih dari 1,5 hektar. Wahana ini didisain seperti kita berada di hutan yang ada jalur-jalurnya (trekking), dimana di situ terdapat dua lokasi atau istilahnya sirkuit. Sirkuit pertama buat anak-anak usia 6-12 tahun, sedang lokasi kedua buat orang dewasa yang berusia 12 tahun ke atas. Setiap sirkuitnya dibagi berdasarkan empat zona yaitu zona hijau, zona biru, zona merah dan zona hitam.Setiap zona terdapat kurang lebih tujuh sampai delapan games. Di tiap sirkuit, terdapat tim profesional yang akan membimbing peserta outbond buat melakukan trekking ke area outbond.


Permainan di outbondHolic yang penuh tantangan. Kalo anak yang nggak biasa berpetualang, nggak mungkin berani, apalagi anaknya berjenis kelamin perempuan.

Permainan di outbondHolic dimulai dari sirkuit yang sangat ringan sampai tingkat kesulitan yang paling tinggi. Semua ini dilakukan sepanjang 480 meter dengan ketinggian sekitar 7 lantai gedung bertingkat.

Wahana outbondHolic ini memang bukan cuma sekadar tempat rekreasi, tetapi punya tujuan mulia, yakni (1) leadership & followership (kepemimpinan dan kekompakan); (2) personal & team confidence (kepercayaan diri individu dan kelompok); (3) team work building (kerjasama kelompok); (4) problem solving & decision making (pemecahan permasalahan dan solusi); (5) mentality development (pengembangan potensi diri); (6) corporate development (pengembangan perusahaan); (7) team work building (membangun kerjasama kelompok); (8) positive mental attitude (membangun sikap mental professional); dan tentu saja fun (kegembiraan, kesenangan).



Ternyata pengalaman berkunjung ke outbondHolic Ancol makin membuat kedua anak kami tergila-gila pada hal-hal yang sifatnya petualangan. Bukan cuma flying fox, tetapi petualangan-petualangan yang menantang atau menaikkan adrenalin. Sebagai orangtua, kami sih asyik-asyik aja melihat anak kami melakukan aktivitas yang penuh petualangan dan seharusnya cuma dilakukan oleh anak-anak laki. Bukan kami mau melatih kedua anak kami yang perempuan ini menjadi anak tomboy. Tapi ingin menjadikan seorang anak perempuan sama tangguhnya dengan anak laki.


all photos copyright Brillianto K. Jaya & Sindhi Diah Savira

Selasa, 12 Januari 2010

JALAN-JALAN NAIK BUSWAY DENGAN BANG YOS

Menyebut nama Sutiyoso, nggak bisa lepas dari busway. Sutiyoso, ya busway. Maklumlah, gara-gara mantan Gubernur DKI Jakarta ke-12 inilah ada busway.



Busway-busway yang parkir di kawasan Monas (foto atas). Saat jalan-jalan dengan bang Yos, bertepatan dengan hari ulang tahun Satuan Pamong Praja (Satpol PP). Mereka sedang mengadakan upacara. Begitu lihat ada bang Yos, mereka langsung mengerubung dan cium tangan. Maklum, mantan big bos.

Sutiyoso lahir di Semarang, 6 Desember 1944. Pangkat terakhir pria lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1968 ini adalah Letjen. Pada 6 Oktober 1997, ia memulai periode lima tahun pertama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang menggantikan Soerdjadi Soedirja. Pada Pilkada berikutnya, yakni tahun 2003, Sutiyoso terpilih lagi untuk lima tahun kedua.

Sepanjang dua periode menjadi gubernur, ia sering mengundang kontroversi dengan menggulirkan berbagai kebijakan. Salah satunya yakni proyek angkutan umum busway. Ketika Program busway direalisasikan pada tahun 2003, banyak warga Jakarta yang nggak setuju. Sebagian besar dari mereka yang kontra mengatakan, busway makin memperparah kemacetan Jakarta. Lebih dari itu, busway belum tentu merupakan solusi yang tepat buat mengatasi kemacetan kota Jakarta. Tahu nggak apa kata Bang Yos saat itu?



Bertepatan kami jalan-jalan, juga ada demo di depan Balai kota. Demo mengenai Upah Minumum Regional (UMR). Kebetulan banget, di masa jadi Gubernur, Sutiyoso menaikkan UMR jauh lebih tinggi dari seluruh provinsi di Indonesia. "UMR tidak sembarangan dibuat," kata bang Yos. "Kalo salah menetapkan, bisa timbul PHK". Kok bisa? Kalo kemampuan perusahaan dalam menggaji karyawan nggak seimbang dengan keuntungan perusahaan -misalnya jauh di atas UMR-, maka perusahaan bisa bangkrut. Ujung-ujungnya PHK.


"Sebelum ada busway, Jakarta juga sudah macet,kok" kata Sutiyoso enteng (TEMPO Interaktif, 15 Desember 2003).

Meski sebagian warga menentang dengan proyek busway, lambat laun banyak warga yang merasakan keuntungan naik busway, termasuk saya. Busway ternyata sangat berguna bagi banyak warga, terutama kelas menengah ke bawah. Nggak heran kalo protes yang sebelumnya terjadi, lenyap sudah.

Namun protes kembali terjadi, ketika jalur busway yang akan melintasi kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan. Di awal bulan September 2007, banyak spanduk di sepanjang jalan raya Pondok Indah yang isinya mencerminkan dua kekhawatiran warga. Pertama, pembukaan jalur busway akan memangkas pohon-pohon yang ada di situ. Yang kedua, kalo busway beroperasi dan bus angkutan umum lain beroperasi, maka kemacetan di Pondok Indah akan semakin parah.


Sambil berjalan masuk ke halte dan naik busway, para demonstran berteriak "HIDUP BANG YOS!" Walah, untung mereka pro pada bang Yos, kalo nggak, acara jalan-jalan naik busway bareng bang Yos bisa bubar, cong! Bisa-bisa kami ditimpuki sandal. Mending sandal, kalo ditimpuki uang seratus ribuan segepok gimana?


"Nantinya bus yang melewati daerah itu akan kita cabut dan digantikan oleh TransJakarta, tolonglah warga setempat memahami dan mengerti, pikirkanlah kepentingan warga lainnya," kata Sutiyoso.



Selama perjalanan, kalo nggak ngobrol sama penumpang atau penjaga pintu busway, bang Yos melihat kelakuan para penggendara motor yang melintas di jalur busway.

Beruntunglah, beberapa hari lalu, saya berkesempatan jalan-jalan bareng dengan mantan Gubernur DKI ini, naik busway. Selain saya, ada Nico Siahaan dan teman-teman saya yang kebetulan hari itu bertugas membuat liputan Bang Yos naik busway.

Kami naik busway dari halte Medan Merdeka Barat (depan Balai kota) menuju ke Pulogadung. Busway yang kami tumpangi ini menyusuri rute halte Gambir, Senen, dan Letjen Suprapto. Sebelum ITC, Cempaka Mas, kami berhenti dan kembali ke balai kota.


Inilah palang otomatis. Meski belum semua jalur dipasangin, namun bisa jadi solusi agar kendaraan bermotor nggak mempergunakan jalur busway.

Selama perjalanan, Sutiyoso berdiri di samping supir dan beberapa kali menyaksikan sepeda motor dan pejalan kaki masuk jalur busway. Ia sempat geleng-geleng kepala melihat kelakuan pengendara motor.

"Nanti kalau sudah beroperasi mereka masih lewat jalur khusus, tilang saja," kata Sutiyoso kepada Kepala Dinas Perhubungan DKI Rustam Effendy saat itu (Kompas Cybermedia, 13 Januari 2004).


Mejeng dulu, ah!

Pernyataan Sutiyoso enam tahun lalu -saat menjelanag beroperasinya busway pada tanggal 15 Januari- harusnya bisa direalisasikan. Nyatanya sampai sekarang, banyak kendaraan bermotor tetap nekad menggunakan jalur busway, termasuk motor.

Belakangan sih Pemerintah Kota (Pemkot) DKI Jakarta sudah membuat palang busway otomatis di tiap ujung jalan busway, dimana palang itu baru akan terbuka kalo yang masuk jalur memang busway, dan begitu busway masuk jalur, palang secara otomatis akan tertutup. Meski belum semua jalur busway dipasangi palang, namun penggunaan palang ini merupakan solusi yang baik agar kendaraan bermotor nggak menggunakan jalur busway. Buat apa juga kalo ada jalur khusus busway, kendaraan bermotor non-busway bisa masuk?

Selama perjalanan, bang Yos juga menyapa pada petugas penjaga pintu busway dan beberapa orang yang naik busway. Mayoritas mengatakan, busway itu memang luar biasa. Kendaraan umum ini memang sangat berpihak pada rakyat kecil. Bayangkan, cuma dengan 3.500 perak, kita bisa keliling Jakarta. Mau ke Kalideres ada. Mau ke Ragunan, juga ada. Lebak bulus, ada. Barangkali yang kudu jadi perhatian Pemkot, armada busway kudu ditingkatkan. Sebab, setiap hari gara-gara armada nggak tepat waktu -mungkin gara-gara kurang-, terjadi penumpukan penumpang di halte-halte transit, kayak di Harmoni maupun di halte kecil kayak Duku Atas.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya