Rabu, 09 Desember 2009

SEBELUM SHOOTING, MENJELANG MEETING

Isu demo besar-besaran kemarin mendorong saya dan istri berangkat lebih pagi dari biasanya. Hal ini sekadar mengantisipasi terjadinya kemacetan di jalur tempat para demonstran berpawai-pawai ria. Maklumlah, jalan-jalan yang saya lalui buat menggantarkan istri - perempataan Kuningan dan jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat- termasuk jalur padat, dan pasti akan semakin padat kalo dilewati para demonstran.


Oleh karena pemerintah ketakutan, dikerahkan puluhan ribu aparat keamanan.

Itu baru soal kemacetan, belum soal kerusuhan. Menurut Badan Intelegen Nasional (BIN), aski demonstrasi bermotif politik ini ada yang menunggangi. Kalo ada yang menunggangi, kemungkinan bakal terjadi kerusuhan. Nggak heran kalo Polisi Republik Indonesia (Polri) via Kapolri Jenderal Bambang Hendarso menurunkan 12 ribu aparat yang siaga (on call). Selain itu, Mabes menyiagakan 555 personel Satuan Gegana Brimob dan gabungan anggota Mabes Polri.

Entah banyak orang yang ketakutan sehingga ogah ke kantor atau memang jalan di waktu pagi memang kosong, sehingga kami berhasil mengukir sebuah prestasi cemerlang. Meski nggak masuk ke Museum Record Indonesia (MURI) apalagi Guiness Book of World Records, Alhamdulillah, tepat pukul 7, keempat ban mobil kami sudah berada di lantai 3 gedung Menara Jamsostek.



Buat saya terlalu pagi buat pergi ke kantor, apalagi hari ini kebetulan saya hendak ke Citywalk buat shooting program stripping bernama Opini. Kalo pun memutuskan ke Citywalk, pasti masih terlalu pagi. Sebab, shooting program Opini yang disiarkan secara langsung terjadi pukul 11:00 wib. Nah, jeda waktu sebelum shooting saya manfaatkan buat breakfast soto mie dan setelah kenyang baru nonton aksi demonstrasi. So perfect isn't it?

Setelah live pukul 12, saya memutuskan buat melihat aksi demonstrasi lagi. Kalo sebelum shooting lokasi yang saya pilih adalah gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, maka venue setelah shooting saya pilih Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta Pusat dan Istana Negara. Ini saya lakukan buat mengisi jeda menjelang meeting dengan klien pukul 16:00 wib di foodcourt Electronic City, kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Daripada balik ke kantor di Kawasan Industri Pulogadung? Mending setelah live dari Citywalk, melihat aksi demonstrasi dalam rangka Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2009 ini.

Aksi demonstrasi dipusatkan di Monumen Nasional (Monas) dan Kawasan Bunderan Hotel Indonesia (HI). Kalo menurut koran-koran, mereka yang ikut demonstrasi berjumlah sekitar 5.000. Entahlah darimana angka 5.000 itu didapat. Yang pasti aksi ini diikuti oleh 50 elemen masyarakat dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia.



Seru juga berada di tengah-tengah para demonstran. Rasanya seperti mengenang kembali saat-saat genting pemerintahan Soeharto di tahun 1998. Dimana saat itu, ribuan mahasiswa sudah menguasai gedung MPR/ DPR. Nah, hari ini sebenarnya jumlah mahasiswa plus mereka yang melakukan demontrasi non-mahasiswa jumlahnya cukup banyak, tetapi aura sebagaimana tahun 1998 nggak begitu terasa.

Ketakutan pemerintah yang diucapkan Presiden RI kita semua, Soesilo Bambang Yoedoyono ternyata nggak terbukti. Bahwa nggak ada motif politik dalam aksi unjuk rasa kemarin. Nggak ada pula partai atau lembaga yang menunggangi. Entah kalo ada orang yang memang suka sekali menungganggang kuda. Suka menunggang kuda belum tentu berniat menunggangi demo ini, lho. Ya, nggak? Demonstasi berlangsung aman dan nggak mencekam. Kecuali di Makassar, Sulawesi Selatan yang aksi demonstrasi diwarnai aksi yang supernorak yang nggak pantas dilakukan oleh mereka yang mengaku kaum intelektual itu. Mereka sampai merusak restoran siap saji segala. Apa hubungannya ya?



Barangkali karena nggak terasa mencekam, banyak orang malah memanfaatkan demonstrasi dengan berfoto-foto ria. Nggak cuma anak-anak muda, para karyawan, serta nggak ketinggalan bapak-bapak dan ibu-ibu narsis, saling mengabadikan gambar dengan kamera mereka. Lumayanlah buat diperlihatkan pada teman-teman di Facebook atau jejaring sosial lain, atau buat dokumentasi yang akan dipamerkan pada anak-cucu kelak, dimana mereka bisa bercerita bahwa pernah mejeng di tengah aksi demonstrasi di Hari Antikorupsi tahun 2009.


Sebetulnya saya tergoda juga buat berfoto-foto juga dengan background para demonstran. Kapan lagi berfoto-foto di tengah demonstrasi gitu, lho? Waktu di kampus UI dahulu, nggak ada momentum buat melakukan aksi demonstrasi, kecuali demo masak atau demo produk MLM. Pas menggulingkan Presiden Soeharto tahun 1998 di gedung MPR/ DPR, saya belum senarsis sekarang. Namun dorongan buat berfoto ria dengan background demonstrasi nggak jadi saya lakukan. Ternyata saya lebih memilih bernarsis ria dengan Manohara yang kebetulan menjadi tamu di program Opini.

"Ayo Manohara kita bergaya!"

"Klik!"

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Senin, 07 Desember 2009

SOTO "ENDANG S. TAURINA" DEPAN PENJARA SALEMBA

Cobalah sebelum Anda masuk penjara, cicipi soto yang mangkal persis depan pintu penjara Salemba. Lebih tepatnya di tikungan samping pos polisi Kayu Awet, Jakarta Pusat. Sotonya Endang S. Taurina, bo! Alias enak banget! Kalo kata Bondan Winarno: mak nyos!


Semangkuk soto ayam plus nasi putih kayak begini cukup membuat perut Anda yang keroncongan menjadi rock n'roll. Asyiknya lagi, sotonya mak nyos. Apalagi makannya di bawah pohon rindang pas di depan penjara Salemba.

Terus terang sulit membayangkan ke-mak nyosan soto depan penjara ini. Satu hal yang pasti, seperti soto-soto yang rasanya enak, ada racikan bumbu. Dimana bumbu ini dibuat selama enam jam, sehingga menghasilkan kaldu ayam yang berbeda dari soto-soto Madura lain. Yang meracik bumbu aja bangunnya kudu jam 3 pagi sampai kemudian jadi pada pukul 9 pagi. Meski dimasaknya memakan waktu 6 jam, namun bumbu ini bisa tahan sampai 10 hari, bo!

Selain bumbu, setiap soto ditaburi oleh serbuk-serbuk berwarna merah muda, which is serpihan udang. Serpihan udang ini difungsikan buat menggantikan fetsin yang biasa digunakan oleh pedagang soto lain. Kelar meracik bihun dan aneka sayur, baru deh diguyur dengan kuah soto yang merupakan “jimat” dari kenikmatan si soto itu.



Bagi yang doyan ceker, menu lain selain kenikmatan sotonya, yakni ceker ayam. Anda mau makan ceker campur kuah soto doang juga nggak masalah. Mau makan nasi sama kuah aja juga nggak masalah. Yang masalah kalo Anda pinjam mangkok, tetapi nggak makan soto di situ, makannya di tempat lain. Wah, itu namanya kebangetan!

Menurut Supervisor soto Madura depan penjara Salemba ini, Cak Ali, dalam sehari mereka bisa menjual lebih dari 300 mangkok soto. Coba Anda kalikan kalo satu mangkok soto harganya Rp 6.000, maka si pedagang akan meraih keuntungan Rp 1.800.000. Itu baru hitungan kasar. You know what? Menurut Cak Ali, keuntungan kotor soto ini mencapai Rp 5 juta per hari! Anggaplah keuntungan bersih -setelah dikeluarkan buat yang masak (4 orang) dan meladeni pelanggan (4 orang)- adalah Rp 2 juta, maka dalam sebulan akan menghasilkan Rp 60 juta. Itu kalo asumsi 30 hari dalam sebulan dikalikan Rp 2 juta. hari. Kalo setengah aja untung, yakni Rp 30 juta, hidup akan indah berkilau!


Jika semangkuk soto, nasi putih, dan ceker kurang, Anda bisa menambah lauk-lauk ini, yakni sate ati ampela atau telur puyuh.


Beruntungnya, selama berdagang di pojokan dekat jalan Kayu Awet, soto Madura ini nggak pernah dipalakin oleh preman. Maklum, dekat pos polisi, bo! Memang sih nggak dipalakin, tetapi si pedagang soto tetap ngasih jatah makan ke polisi, yakni makan pagi dan makan siang. Makan malam? Beli sendiri tuh polisi! Masa nggk modal amat?! Lagipula, soto ini cuma datang dari jam 7 sampai jam 2 siang.

Nah, saya sarankan, mending sebelum Anda masuk penjara, karena kasus korupsi atau narkoba, mending cicipi dulu soto Madura depan penjara Salemba ini. Kalo sudah nyicipi, silahkan deh Anda mendekam di dalam sel. Kalo kebetulan Anda kanget makan soto ini lagi dan kebetulan sudah terlanjur di penjara, moga-moga ada Sipir yang baik hati bisa men-delivery service soto Madura ini.

Selamat menikmati!

MOHON MAAF, DALAM SEBULAN INI ANDA NGGAK BISA NYEMPLUNG KE KOLAM BUNDERAN HI

Terhitung sejak 27 November 2009, kolam di bundaran Hotel Indonesia (HI), dimana di tengah-tengahnya terdapat patung selamat datang itu, akan dibersihkan. Menurut Kepala Bidang Keindahan Kota Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta Debora Rolina Sitompul, pembersihan air mancur ini merupakan bagian dari pembersihan dan pengurasan air.

"Ini merupakan kegiatan rutin," kata Debora sebagaimana penulis kutip dari Kompas, Sabtu, 28 November 2009.

Tambah Debora, proses pembersihan dan pengurasan air ini akan memakan waktu sebulan. Nah, selama sebulan Anda nggak bisa lagi berenang di kolam itu, kecuali nekad nyebur tetapi nggak ada air.

Inilah gambar kolam yang sudah nggak ada airnya dan sedang dikuras uangnya, eh salah airnya.


Minggu, 06 Desember 2009

OLEH-OLEH DARI GREEN FESTIVAL 2009

Tahukah Anda, saat ini di dunia sedikitnya terdapat 880 juta kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan raya? Itu artinya apa? Artinya, satu dari tujuh orang di dunia memiliki kendaraan berbahan bakar fosil, sehingga menaikkan suhu bumi (Kompas, Minggu, 6 Desember 2009, hal. 11).

Tahukah Anda, akibat suhu bumi yang naik, es di kutub mencair, permukaan air laut naik, banir, kekeringan, badai, dan gelombang panas. Suhu bumi ini menyebabkan banyak flora yang berimigrasi, banyak pula yang musnah. Ekosistem laut pun ikut-ikutan rusak.

Tahukah Anda, asap yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor mengandung paling tidak 1.000 unsur beracun. Sektor transportasi menyumbang 24 persen emisi gas rumah kaca.

Seperti Green Festival sebelumnya, di Green Festival 2009 ini mengangkat informasi-informasi mengenai lingkungan, khususnya mengenai isu pemanasan global. Sebab, pemanasan globallah yang menimbulkan berbagai bencana, enggak cuma di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Nggak heran, di terowongan festival, dibuat dekorasi seolah kita mengalami, yakni mengenai es di kutub yang mencair, lalu kebakaran hutan akibat kekeringan, dan sampah.

Berikut ini, oleh-oleh saya dari ajang Green Festival 2009 lalu.


Tong sampah yang colourfull. Yang merah tempat sampah non organik, sedang yang warna hijau khusus buat sampah-sampah organik.







Terowongan di festival ini dibuat seolah kita berada di tempat kejadian sesungguhnya. Salah satunya, pohon-pohon gundul gara-gara ditebang. Nah, dekorasi yang keren-keren itu dimanfaatkan oleh para pengunjung buat foto-foto.



Tukang kolor ternyata laku juga. Bukan gara-gara kolornya ramah lingkungan, lho! Tetapi kebetulan yang beli memang lagi nggak punya kolor, kolor buat sepeda maksudnya.




Tahun 2009 ini si Manusia Pohon masih juga laku menjadi sasaran foto. Beberapa orang sempat memakai jasanya. Kalo saya pikir, ia mirip guru -tapi guru zaman dahulu kala-, dimana ia profesi tanpa tanda jasa. Maklum, ia nggak meminta sepersen pun mereka yang berfoto ria dengannya. Semua ia lakukan karena keikhlasan. Tapi juga karena nggak bisa protes, karena mulutnya nggak bisa teriak-teriak.




all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sabtu, 05 Desember 2009

HAJATAN DI KAMPUNG OGUT

Ketika menuliskan kisah ini, sayup-sayup masih terdengar alunan musik dangdut yang mengiringi seorang penyanyi dari kamar saya. Entah apa judul lagu dan penciptanya, karena saya nggak terlalu mengikuti lagu dangdut. Bahasa kasarnya, (maaf) I HATE DANGDUT! Namun satu hal yang pasti, lagu yang terdengar sampai ke kuping saya itu, berasal dari tetangga yang sedang menggelar hajatan bernama kawinan.

Sebenarnya antara rumah saya dengan si pemilik hajatan cukup jauh, kira-kira 400 meter. Tetapi loadspeaker yang dipasang di kanan dan kiri panggung dan segede-gede gajah itu kebetulan mengarah ke rumah saya. Saya nggak bisa membayangkan, bagaimana nasib tetangga yang kebetulan dekat dengan rumah yang menggelar hajatan. Boleh jadi sampai detik ini nggak akan bisa tidur. Yaiyalah! Baru mau merem aja, mata akan bergoyang-goyang sesuai irama dangdut yang dimainkan oleh para pemusik di atas panggung.


Undangan dari Robi. Nama saya salah. Sejak kapan nama saya berubah menjadi FABRYANTO? Ia ketolong banget dengan ada tulisan "mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan nama/ gelar". Kalo nggak ada kalimat itu. kelar deh! Saya nggak akan datang ke hajatan ini.

Saya juga nggak bisa membayangkan kalo ada tetangga dekat situ ada yang sakit gigi. Saya nggak yakin sakit giginya akan cepat sembuh mendengar irama dangdut. Saya juga nggak yakin hidupnya akan aman tenteram dengan kebisingan itu. Syukur-syukur masih bisa sabar, coba kalo bunuh diri, loncat dari salah satu mal kayak para pendahulu-pendahulunya yang loncat dari pusat perbelanjaan. Tapi katanya Meggy Z mending sakit gigi daripada sakit hati ya?

Begitulah kondisi di kampung saya kalo sedang ada acara, terutama hajatan. Sebuah tenda akan menutup jalan. Sehingga mereka yang sudah biasa melewati akses tersebut, terpaksa harus berputar. Selain tenda, sebuah panggung berukuran 3X3 meter juga turut andil menutup akses jalan.

Terus terang saya nggak tahu, apakah si pemilik hajat sudah melaporkan pada pihak RT, RW, maupun Kelurahan? Saya juga nggak begitu yakin, keluarga pengantin akan melaporkan kemeriahan di kampung saya ini ke polisi setempat, minimal ke Kapolsek. Padahal logikanya, ketika ada dangdutan, pasti menimbulkan suara berisik. Bukan cuma berisik di RT yang mengadakan hajatan, tetapi RT tetangga. Mending semua tetangga suka dangdut. Kalo ada yang suka rock n’ roll gimana dong? Kalo ada yang suka jazz gimana juga?

Selain itu soal izin RT atau RW, yang saya tahu, setiap ada keramaian, dibutuhkan surat izin keramaian. Izin ini diberikan oleh Kapolsek setempat dan diketahui sampai ke Polda. Tapi sekali lagi saya nggak yakin, izin-izin itu nggak dilakukan. Si pemilik hajat cukup sounding ke tetangga. Inilah bentuk toleransi yang terjadi di kampung. Seluruh warga sudah TST alias tahu sama tahu. Kalo ada salah seorang warga yang buat hajatan dan ada dangdutannya, ya si tetangga kudu maklumi, karena barangkali someday tetangga itu yang bikin hajatan dan membuat berisik seluruh kampung.


Robi (kiri) dan Babenya: Bang Mangne (kanan). Baru bisa married setelah tanah keluarga terjual. Maklumlah, Robi cuma bekerja sebagai kuli bangunan yang proyeknya serba nggak jelas. Sementara Bang Mangne cuma pensiunan hansip yang nggak ada uang pensiunnya. Hidup The Mangne Family cuma dari dua kontrakan di samping rumah mereka.

Baiklah kalo semua tetangga sudah bertoleransi, sekarang mari kita bicara soal keluarga dan si penggantinnya. Keluarga yang menggadakan hajatan di kampung saya ini biasa dikenal dengan panggilan Bang Mangne. Dahulu beliau adalah hansip kampung dan juga guru pencak silat saya. Meski badannya kecil, tetapi ia termasuk salah seorang jagoan kampung.

Hajatan yang dibuat Bang Mangne ini buat anak bontotnya yang bernama Ampusara. Namanya keren banget ya? Entah apa arti nama tersebut dan mengapa nama orang Betwai terdengar “aneh” begitu. Satu hal yang pasti, di kampung saya, Ampusara ini lebih ngetop dengan panggilan Robi.

Sesungguhnya Robi sudah lama ingin married. Tetapi kondisi keuangan keluarga Bang Mangne yang nggak bersahabat. Tahu sendiri, hansip kan nggak punya uang pensiun. Begitu pula dengan menjadi guru silat. Perguruan silat yang dipimpinnya tentu nggak memberikan uang pensiun. Satu-satunya sumber uang adalah mengkontrakkan sepetak tanah pada seorang Madura dan sebuah kamar kosong buat pasangan suami-istri asal pulau Jawa.

Tentu duit dari hasil kontrakkan nggak cukup buat menikahkan Robi. Walhasil, Bang Mangne beberapa bulan lalu menjual sebidang tanah berukuran 40 meter persegi, yang sebelumnya sempat ditawarkan kepada saya. Terus terang saya sempat tertarik. Maklum, tanah yang dijual itu masih berada di wilayah Cempaka Putih Barat, bo. Harganya pun relatif murah, yakni 900 ribu/ meter. Tetapi setelah saya timbang-timbang, harga segitu sama aja dengan risiko yang akan saya dapat, yakni nggak bisa masuk akses mobil dan berhimpitan dengan tetangga di samping kiri-kanan.

Dari hasil jual tanah itulah Bang Mangne akhirnya bisa mengawinkan Robi. Sebagai pemuda lulusan STM Pembangunan yang kerjaannya sebagai kuli bangunan partimer, Robi bersyukur Babenya bisa mengawinkannya dengan dara bernama Eni Nuraeni. Anehnya, meski dalam hajatan ini menyewa orkes dangdut yang sudah main dari siang tadi sampai sekarang, Robi nggak menyewa jasa photografer.

Barangkali photografer buat Robi dan keluarganya nggak begitu penting kali ya? Mereka lebih mementingkan dangdutan yang barangkali harganya jauh lebih mahal daripada meng-hire jasa photografer. Lucu! Aneh! Hajatan yang boleh jadi sekali seumur hidup nggak diabadikan dengan foto atau video. Semakin lucu, ketika saya bersama istri datang ke situ, Bang Mangne meminta saya mengabadikan momentum resepsi dan dangdutan itu. Ini gara-gara saya bawa camera pocket digital dan iseng-iseng mengabadikan suasana hajatan di kampung yang belum tentu saya diundang lagi.

“Sekalian di-video-in ya, Mas,” pinta istri Bang Mangne, seraya memanfaatkan kebaikan hati saya. Apa boleh buat...

“Baiklah!”

Selasa, 01 Desember 2009

GREEN OFFICE

Di kota-kota besar, ternyata masih banyak perkantoran yang sangat memperhatikan masalah penghijauan. Di tengah-tengah gedung pencakaran langit yang berdiri dengan gagah perkasa, terdapat green office. Building owner atau management building di green office begitu peduli lingkungan. Mereka menata gedung mereka agar terlihat asri, tetapi tidak meninggalkan kesan kumuh.

Seharusnya kantor-kantor lain bisa mencontoh green office yang ada di kota-kota besar. Menambah pohon atau tanaman merambat agar nampak hijau nggak merusak keindahan sebuah gedung, kok. Malah banyak keuntungan yang didapat dengan konsep green office ini, yakni para penghuni atau vendor building akan menhirup oksigen (O2) di tengah-tengah udara yang sudah terpolusi ini.

Ini di lokasi parkir di Landmark Building, Sudirman, Jakarta. Tanaman merambat dimanfaatkan buat atap di tempat parkir. Selain gedung jadi terlihat hijau, mobil jadi nggak terkena sinar matahari secara langsung.



Salah satu perkantoran yang juga saya suka adalah Siemens Bussiness Park di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan. Perkantoran di situ hijau banget. Banyak pohon. Keren! Ini buktinya, di salah satu tempat parkir ditanam pohon rambat.



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Senin, 30 November 2009

SEHARUSNYA BISA JADI JALUR HIJAU

Di Jakarta ini kalo dikumpulkan, banyak sekali lokasi yang bisa dijadikan "paru-paru kota". Yang dimaksud "paru-paru kota" dalam konteks ini adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang bermanfaat buat olahraga, entah itu jalan kaki atau bersepeda.

Ketika saya lokasi, banyak sekali tempat-tempat yang nggak produktif, yakni sebuah tanah yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Memang sih banyak tempat yang bukan punya pemerintah, yakni tempat-tempat yang merupakan tanah sengketa itu tadi. Tetapi sayang banget kalo bertahun-tahun nggak dikosongkan. Masa demi RTH, pemerintah nggak mampu beli tanah, atau menutup pengadilan, sehingga tanah menjadi tanah pemerintah sih? Asal tanah sengketa jangan dijadikan mal atau perkantoran aja kalo tanah-tanah sengketa dimenangkan pemerintah. Soalnya pengalaman banyak tanah-tanah yang seharusnya bisa dijadikan RTH justru malah dijual kepada pengusaha.

Berikut ini beberapa tempat yang saya sempat "sidak":

Tempat di bawah ini saya jumpai di samping dan belakang Wisma Aldiron Dirgantara, Pancoran, Jakarta Selatan. Menurut saya nggak produktif banget! Buat mencapai lokasi ini, kita kudu masuk dari kompleks Hanggar yang adanya di samping Wisma Aldiron.







Lokasi di bawah ini adanya di perempatan Cempaka Putih, tepatnya di pojokan Pulomas. Lokasi ini dahulu bekas pemukiman kumuh, yang konon tempat tinggal para pencuri, garong, jambret, dan kapak merah. Ketika ada penjambret menjambret, ia lari ke pemukiman ini dan seluruh warga tutup mulut. Nggak ada yang mau ngasih tahu si penjambret itu. Padahal mereka tahu. Sebenarnya Pemerintah Daerah (Pemda) - di zaman Soetiyoso- luar biasa sudah membongkar pemukiman kumuh ini. Dengan pembongkaran tersebut, kuantitas kejahatan di perempatan lampu merah Cempaka Putih relatif menurun.


Masih di perempatan Cempaka Putih. Dahulu tempat ini adalah kantor maupun pabrik Coca-Cola, makanya dikenal sebagai perempatan Coca-Cola. Namun ketika Coca-Cola nggak di situ lagi, tanah dibiarkan kosong. Nggak produktif. Padahal kalo bisa dimanfaatkan jadi taman hijau, wah keren banget!




Kalo ini RTH di dekat rumah saya. RTH ini dibangun setelah Gubernur pada saat periode Sutiyoso berhasil mengusir para pedangang keramik dan rotan yang sempat menimbulkan konflik.



all photos copyright by Brillianto K. Jaya