Penggemar Micky Mouse nggak otomatis suka sama yang namanya tikus. Saya contohnya. Meski termasuk penggemar kisah tentang tokoh kartun produksi Walt Disney itu, saya justru pembenci tikus. Gara-gara benci, nggak heran di rumah saya harus bebas dari tikus.
Segala upaya buat menghilangkan tikus dari muka bumi rumah saya, tetap saja yang namanya tikus tetap ada. Memang luar biasa tikus. Dicegah di sini, muncul dari lubang sana. Menutup lubang di sana, lolos dari lubang di sini. Nggak heran, koruptor itu diposisikan kayak tikus.
Video di bawah ini saya liput ketika baru pulang kerja malam. Begitu baru mau naik tangga ke kamar saya yang ada di lantai atas, eh di bawah ada suara grasak-grusuk. Saya pikir suara politikus, eh ternyata suara tikus.
Persoalan tikus terus menjadi concern saya. Berbagai benda yang bisa mengusir tikus sudah saya kerahkan. Ada buah pace yang dipotong-potong. Ada bubuk-bubuk racun yang ditaburi di tulang atau makanan sisa. Yang belum memelihara jangkrik di rumah.
Setiap malam, mata saya selalu mengawasi lubang-lubang yang sudah saya tutupi dan calon lubang. Ibarat warga, saya selalu ronda atau siskamling. Soalnya saya yakin, tikus pasti bisa dihilangkan dari rumah saya. Kalo segala upaya belum juga bisa menghilangkan tikus, kayaknya saya akan bentuk KPT yang berafiliasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepanjangan KPT adalah Komisi Pemberantasan Tikus. Saya juga ikut-ikutan tren pemerintah pusat NKRI yang membuat lembaga pesaing KPK buat memberantas Mafia Peradilan, yakni dengan membuat mafia tikus. Kalo nggak berfungsi juga, yang salah siapa ya?
video copyright by Brillianto K. Jaya
"...dibilang backpacker bisa,nggak dianggap ya bisa juga..." "...dibilang suka makan, ya begitu, dituduh tahu kuliner nggak juga..."
Minggu, 10 Januari 2010
MESKI SUDAH DITUTUP, MASIH AJA ADA YANG MENYUMBANG KOIN
Begitulah kenyataannya. Meski Pritta Mulyasari sudah mengumumkan secara resmi kalo Koin Peduli Pritta ditutup, yakni dengan menyerahkan koin sumbangan dari masyarakat sebanyak Rp 810,940 juta ke Bank Indonesia, sampai saat ini masih banyak warga yang masih menyumbang koin.


Inilah liputan tvOne hari akhir penghitungan koin buat Pritta. Awalnya cuma buat membayar denda Rp 204 juta, eh koin yang didapat ber-truk-truk, yakni mencapai lebih dari 800 juta perak. Luar biasa!
Salah satunya pedagang koran bernama Pak Ahmad. Ketika saya sedang shooting sebuah program acara, Pak Ahmad membawa sekantong plastik berisi koin. Tentu nggak tega kalo ada orang yang mau menyumbang, kita tolak, ya nggak? Walhasil, koin tersebut dikirim ke markas Koin Peduli Pritta.

Pedagang koran ini menyerahkan koin, padahal koin sudah ditutup. Tapi kita nggak tega menolak.
Inilah liputan tvOne hari akhir penghitungan koin buat Pritta. Awalnya cuma buat membayar denda Rp 204 juta, eh koin yang didapat ber-truk-truk, yakni mencapai lebih dari 800 juta perak. Luar biasa!
Salah satunya pedagang koran bernama Pak Ahmad. Ketika saya sedang shooting sebuah program acara, Pak Ahmad membawa sekantong plastik berisi koin. Tentu nggak tega kalo ada orang yang mau menyumbang, kita tolak, ya nggak? Walhasil, koin tersebut dikirim ke markas Koin Peduli Pritta.
Pedagang koran ini menyerahkan koin, padahal koin sudah ditutup. Tapi kita nggak tega menolak.
YANG KONTROVERSI, JADI DAGANGAN LARIS DI LAMPU MERAH
Berawal ketika majalah Playboy pertama kali terbit. Kontroversi merebak. Organisasi Islam protes, karena pemerintah mengizinkan majalah yang di negara asalnya Amerika Serikat itu berisi wanita-wanita telanjang ini terbit.
Protes tinggal protes, Playboy tetap terbit underground. Nggak semua agen atau distributor berani menjual majalah ini. Namun di jalan raya, para pedagang koran di perempatan lampu merah memanfaatkan momentum ini. Sambil berjualan koran, para pedangan menjual Playboy. Majalah itu dimasukkan ke dalam plastik bersama koran-koran yang dijual.

Pedangan koran di perempatan lampu merah. Lebih untung gede jualan buku atau DVD kontroversial ketimbang jualan koran.
Jauh setelah itu, ada kontroversi lagi yang muncul, yakni film 2012. Sejumlah ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten Malang dan Jawa Timur melarang umat Islam menonton film 2012. Kenapa? Film tersebut dianggap sebagai mendahulukan kekuasaan Allah dalam menentukan hari kiamat, sehingga merusak akidah keimanan.
Lagi-lagi, kontroversi tinggal kontroversi. Larangan MUI tetap nggak digubris. Banyak orang Indonesia tetap saja memenuhi gedung bioskop. Mereka pasti penasaran dengan film yang disutradarai oleh Roland Emmerich, apalagi tema mengenai kiamat lagi happening. Meski banyak penonton yang antre di bioskop, tetapi momentum film 2012 dimanfaatkan oleh para pedangan asongan. Mereka tahu ada banyak calon penonton bioskop yang malas antre. Nah, yang malas antre dan penasaran dengan film berbiaya produksi 260 juta US$ ini, biasanya mereka beli DVD bajakan yang dijajakan di lampu merah.

Buku Gurita Cikeas yang dibajak dan dijual bebas di perempatan lampu merah. Selama pembajakan buku dibiarkan, penarikan buku oleh pemerintah sia-sia. Lagipula penarikan buku melanggar hak azasi mereka yang ingin mendapatkan informasi.
Terakhir adalah buku Gurita Cikeas karya George T. Aditjondro. Sampai tulisan ini dimuat, buku kontroversi ini masih beredar di lampu merah. Pedagang koran rupanya lebih tertarik menjual buku daripada koran. Maklum keuntungan dari satu buku bisa mencapai Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu sendiri.
Ketika saya berada di lampu merah, iseng-iseng tanya harga per eksemplar. Menurut salah seorang pedagang yang saya tanya, harganya Rp 125 ribu-Rp 135 ribu. Tetapi harga segitu cuma buat pejalan kaki alias mereka yang tanpa mobil.
"Kalo dijual ke penggendara mobil, harganya 150 ribu," jelas pedagang asongan itu.
Begitulah pedagang. Ya namanya juga pedagang. Pasti selalu memanfaatkan momentum, ya nggak? Maklumlah, lebih gede keuntungan menjual barang-barang yang jadi kontroversi ketimbang menjual koran.
Protes tinggal protes, Playboy tetap terbit underground. Nggak semua agen atau distributor berani menjual majalah ini. Namun di jalan raya, para pedagang koran di perempatan lampu merah memanfaatkan momentum ini. Sambil berjualan koran, para pedangan menjual Playboy. Majalah itu dimasukkan ke dalam plastik bersama koran-koran yang dijual.
Pedangan koran di perempatan lampu merah. Lebih untung gede jualan buku atau DVD kontroversial ketimbang jualan koran.
Jauh setelah itu, ada kontroversi lagi yang muncul, yakni film 2012. Sejumlah ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten Malang dan Jawa Timur melarang umat Islam menonton film 2012. Kenapa? Film tersebut dianggap sebagai mendahulukan kekuasaan Allah dalam menentukan hari kiamat, sehingga merusak akidah keimanan.
Lagi-lagi, kontroversi tinggal kontroversi. Larangan MUI tetap nggak digubris. Banyak orang Indonesia tetap saja memenuhi gedung bioskop. Mereka pasti penasaran dengan film yang disutradarai oleh Roland Emmerich, apalagi tema mengenai kiamat lagi happening. Meski banyak penonton yang antre di bioskop, tetapi momentum film 2012 dimanfaatkan oleh para pedangan asongan. Mereka tahu ada banyak calon penonton bioskop yang malas antre. Nah, yang malas antre dan penasaran dengan film berbiaya produksi 260 juta US$ ini, biasanya mereka beli DVD bajakan yang dijajakan di lampu merah.
Buku Gurita Cikeas yang dibajak dan dijual bebas di perempatan lampu merah. Selama pembajakan buku dibiarkan, penarikan buku oleh pemerintah sia-sia. Lagipula penarikan buku melanggar hak azasi mereka yang ingin mendapatkan informasi.
Terakhir adalah buku Gurita Cikeas karya George T. Aditjondro. Sampai tulisan ini dimuat, buku kontroversi ini masih beredar di lampu merah. Pedagang koran rupanya lebih tertarik menjual buku daripada koran. Maklum keuntungan dari satu buku bisa mencapai Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu sendiri.
Ketika saya berada di lampu merah, iseng-iseng tanya harga per eksemplar. Menurut salah seorang pedagang yang saya tanya, harganya Rp 125 ribu-Rp 135 ribu. Tetapi harga segitu cuma buat pejalan kaki alias mereka yang tanpa mobil.
"Kalo dijual ke penggendara mobil, harganya 150 ribu," jelas pedagang asongan itu.
Begitulah pedagang. Ya namanya juga pedagang. Pasti selalu memanfaatkan momentum, ya nggak? Maklumlah, lebih gede keuntungan menjual barang-barang yang jadi kontroversi ketimbang menjual koran.
KOTA KECIL AJA BISA, MASA JAKARTA NGGAK BISA?! MALU-MALUIN AJAH!!
Judul di atas buat mengejek sekaligus mengkritisi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Ternyata kota metropolitan sebesar Jakarta kalah canggih dengan salah satu kota di Bali, yakni Jembrana. Bukan cuma kecanggihan dalam menghilangkan angka kemiskinan dari 15,25% menjadi 8,39% cuma dalam tempo 2 tahun (2001-2003), tetapi menerapkan kebijakan good govermence dan clean govermence (baca: menghilangkan KKN di birokrasi).
Adalah Bupati Prof. DR.drg. I Gede Winarsa, yang berhasil menjadikan Jembrana maju pesat dalam hal administrasi kota. Daerah-daerah Bali lain yang lebih ngetop kayak Denpasar, Gianyar, atau Tabanan, justru kalah caggih. Jembrana meroket dari kota kecil dan miskin, menjadi kota maju.
Dahulu Jembrana adalah kota kecil dan miskin. Belakangan menjadi kota tercanggih dan sangat serius memberantas korupsi, karena pelayanan masyarakatnya sangat efektif. Jembrana menerapkan sistem sehingga sekolah benar-benar gratis dan kesehatan gratis buat seluruh warga. Angka kemiskinan pun bisa ditekan, dari 19,4% (2001) menjadi 10,9% (2003).
E-voting adalah satu keunggulan Jembrana dalam pemilihan langsung. Pemanfaatan informasi teknologi (IT) ini membuat Duta Besar (Diubes) Amerika Serikat untuk Indonesia, Ted Osius harus mengakui kehebatan Jembrana. Pasalnya, di Amerika saja masih menggunakan dua cara, yakni e-voting maupun sistem pencoblosan ala Pemilu nasional di negara kita.
“Amerika perlu 200 tahun untuk melakukan e-voting, tapi Jembrana hanya perlu sembilan tahun saja. Luar biasa. Sepertinya Amerika perlu belajar ke Jembrana,” ujar Osius.
Selain e-voting, Ted juga mengaku “kalah” dengan inovasi Jembrana mengasuransikan kesehatan seluruh penduduknya, yakni Jaminan Kesehatan Jembrana JKJ). Menurut Osius, di Amerika Serikat nggak semua penduduk menerima asuransi.
“Negara saya perlu belajar ke Jembrana,” kata pak Dubes.
Ambulan ini sangat canggih dan cuma dimiliki oleh Pemkab Jembrana. Nggak seperti ambulan yang ada di Indonesia ini, termasuk di Jakarta, ambulan milik Jembrana ini bisa sekaligus buat ruang operasi. Bukan cuma pamer kecanggihan, tetapi sistem kesehatan di Jembrana ok banget, karena seluruh warga mendapat pelayanan kesehatan gratis dengan sistem Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ).
Menurut Winarsa, ada rumus penanganan korupsi yang ia terapkan di Jembrana. Bahwa korupsi itu bukan cuma mengambil uang negara secara ilegal. Namun inefisiensi juga termasuk korupsi. Pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan menerapkan berbagai standar, baik biaya, prosedur maupun waktu. Yakni bagaimana kita bisa menutup celah korupsi dengan membuat berbagai macam standar itu tadi.
Sistem pelayanan perizinan yang dilakukan Jembrana memang efektif dan efisien. Gara-gara hal itu, nggak ada celah pegawai pemerintah daerah di Jembrana, melakukan korupsi. Itulah yang menyebabkan sistem pelayanan di Jembrana berstandar internasional yang bersertifikat ISO 9001. Bandingkan dengan Jakarta dan kota-kota besar lain. Dari tahun ke tahun nggak ada peningkatan soal sistem pelayanan. Nggak heran kalo korupsi masih tumbuh subur.
Sistem e-voting inilah yang membuat kagum Dubes Amerika Serikat. Pada pemilihan kepala desa (foto di atas adalah 4 kades), menggunakan sistem canggih dengan memanfaatkan teknologi informatika (IT). Pemilih cukup menempelkan KTP yang sudah ada chip ke e-voting, mereka tercatat sebagai pemilih. Hal ini membuat nggak ada lagi pemilih yang mencoba curang (memilih dua kali atau lebih) dan nggak perlu lagi menunggu penghitungan melalui quick count. Warga yang nggak bisa baca pun bisa memilih.
Menurut KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, pola pelayanan publik satu loket yang terstandar dan transparan di Jembrana, berdampak pada peningkatan iklim ivestasi daerah. Maklum, dengan sistem yang terstandar dan transparan, nggak ada pungli. Kondisi ini membuat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan KPPOD memberikan anugerah Investment Award kepada Pemkab Jembrana di akhir tahun 2009 lalu.
Selain Investment Award, Pemkab Jembrana juga sempat memperoleh Bung Hatta Award, karena dinilai telah berhasil dalam memperjuangkan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam bidang Pendidikan, kesehatan, perekonomian dan pelayanan publik. Soal pendidikan, di bawah kepemimpinan Bupati Winarsa, Jembrana yang dahulu menjadi kota termiskin di Bali ini berhasil membebaskan biaya sekolah. Nggak cuma dari SD, tetapi sampai di SMA. Hebatnya lagi, Pemkab juga memberikan beasiswa kepada lulusan SMA terbaik ke perguruan tinggi.
Salah satu sekolah di Jembrana. Selain gratis dari SD sampai SMA, Pemkab Jembrana juga memberikan makan siang gratis pada beberapa sekolah negeri. Hebatnya, siswa-siswa di Jembrana tidak mengizinkan anak sekolah menggunakan kendaraan pribadi, termasuk motor. Semua siswa di Jembrana menggunakan bus sekolah, dimana bus ini berhenti di tiap halte. Oh iya, mana ada SMA negeri di Jakarta punya kolam renang kayak SMA di Jembrana ini?
Kalo kota kecil kayak Jembrana aja bisa, masa kota segede Jakarta dan pemerintah pusat di Indonesia ini nggak bisa sih? Ah, jangan-jangan Jakarta dan pemerintah pusat memang nggak serius menangani korupsi. Mereka lebih suka membuat lembaga-lembaga yang judulnya memang buat memberantas korupsi atau mafia peradilan. Ujung-ujungnya cuma lyp service aja.
All photos copyright by Brillianto K. Jaya
Adalah Bupati Prof. DR.drg. I Gede Winarsa, yang berhasil menjadikan Jembrana maju pesat dalam hal administrasi kota. Daerah-daerah Bali lain yang lebih ngetop kayak Denpasar, Gianyar, atau Tabanan, justru kalah caggih. Jembrana meroket dari kota kecil dan miskin, menjadi kota maju.
Dahulu Jembrana adalah kota kecil dan miskin. Belakangan menjadi kota tercanggih dan sangat serius memberantas korupsi, karena pelayanan masyarakatnya sangat efektif. Jembrana menerapkan sistem sehingga sekolah benar-benar gratis dan kesehatan gratis buat seluruh warga. Angka kemiskinan pun bisa ditekan, dari 19,4% (2001) menjadi 10,9% (2003).
E-voting adalah satu keunggulan Jembrana dalam pemilihan langsung. Pemanfaatan informasi teknologi (IT) ini membuat Duta Besar (Diubes) Amerika Serikat untuk Indonesia, Ted Osius harus mengakui kehebatan Jembrana. Pasalnya, di Amerika saja masih menggunakan dua cara, yakni e-voting maupun sistem pencoblosan ala Pemilu nasional di negara kita.
“Amerika perlu 200 tahun untuk melakukan e-voting, tapi Jembrana hanya perlu sembilan tahun saja. Luar biasa. Sepertinya Amerika perlu belajar ke Jembrana,” ujar Osius.
Selain e-voting, Ted juga mengaku “kalah” dengan inovasi Jembrana mengasuransikan kesehatan seluruh penduduknya, yakni Jaminan Kesehatan Jembrana JKJ). Menurut Osius, di Amerika Serikat nggak semua penduduk menerima asuransi.
“Negara saya perlu belajar ke Jembrana,” kata pak Dubes.
Ambulan ini sangat canggih dan cuma dimiliki oleh Pemkab Jembrana. Nggak seperti ambulan yang ada di Indonesia ini, termasuk di Jakarta, ambulan milik Jembrana ini bisa sekaligus buat ruang operasi. Bukan cuma pamer kecanggihan, tetapi sistem kesehatan di Jembrana ok banget, karena seluruh warga mendapat pelayanan kesehatan gratis dengan sistem Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ).
Menurut Winarsa, ada rumus penanganan korupsi yang ia terapkan di Jembrana. Bahwa korupsi itu bukan cuma mengambil uang negara secara ilegal. Namun inefisiensi juga termasuk korupsi. Pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan menerapkan berbagai standar, baik biaya, prosedur maupun waktu. Yakni bagaimana kita bisa menutup celah korupsi dengan membuat berbagai macam standar itu tadi.
Sistem pelayanan perizinan yang dilakukan Jembrana memang efektif dan efisien. Gara-gara hal itu, nggak ada celah pegawai pemerintah daerah di Jembrana, melakukan korupsi. Itulah yang menyebabkan sistem pelayanan di Jembrana berstandar internasional yang bersertifikat ISO 9001. Bandingkan dengan Jakarta dan kota-kota besar lain. Dari tahun ke tahun nggak ada peningkatan soal sistem pelayanan. Nggak heran kalo korupsi masih tumbuh subur.
Sistem e-voting inilah yang membuat kagum Dubes Amerika Serikat. Pada pemilihan kepala desa (foto di atas adalah 4 kades), menggunakan sistem canggih dengan memanfaatkan teknologi informatika (IT). Pemilih cukup menempelkan KTP yang sudah ada chip ke e-voting, mereka tercatat sebagai pemilih. Hal ini membuat nggak ada lagi pemilih yang mencoba curang (memilih dua kali atau lebih) dan nggak perlu lagi menunggu penghitungan melalui quick count. Warga yang nggak bisa baca pun bisa memilih.
Menurut KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, pola pelayanan publik satu loket yang terstandar dan transparan di Jembrana, berdampak pada peningkatan iklim ivestasi daerah. Maklum, dengan sistem yang terstandar dan transparan, nggak ada pungli. Kondisi ini membuat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan KPPOD memberikan anugerah Investment Award kepada Pemkab Jembrana di akhir tahun 2009 lalu.
Selain Investment Award, Pemkab Jembrana juga sempat memperoleh Bung Hatta Award, karena dinilai telah berhasil dalam memperjuangkan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam bidang Pendidikan, kesehatan, perekonomian dan pelayanan publik. Soal pendidikan, di bawah kepemimpinan Bupati Winarsa, Jembrana yang dahulu menjadi kota termiskin di Bali ini berhasil membebaskan biaya sekolah. Nggak cuma dari SD, tetapi sampai di SMA. Hebatnya lagi, Pemkab juga memberikan beasiswa kepada lulusan SMA terbaik ke perguruan tinggi.
Salah satu sekolah di Jembrana. Selain gratis dari SD sampai SMA, Pemkab Jembrana juga memberikan makan siang gratis pada beberapa sekolah negeri. Hebatnya, siswa-siswa di Jembrana tidak mengizinkan anak sekolah menggunakan kendaraan pribadi, termasuk motor. Semua siswa di Jembrana menggunakan bus sekolah, dimana bus ini berhenti di tiap halte. Oh iya, mana ada SMA negeri di Jakarta punya kolam renang kayak SMA di Jembrana ini?
Kalo kota kecil kayak Jembrana aja bisa, masa kota segede Jakarta dan pemerintah pusat di Indonesia ini nggak bisa sih? Ah, jangan-jangan Jakarta dan pemerintah pusat memang nggak serius menangani korupsi. Mereka lebih suka membuat lembaga-lembaga yang judulnya memang buat memberantas korupsi atau mafia peradilan. Ujung-ujungnya cuma lyp service aja.
All photos copyright by Brillianto K. Jaya

Minggu, 03 Januari 2010
COBALAH MENCONTOH TEBET
“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak main-main dengan RTRW DKI 2010-2030,” ucap Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Kompas, Sabtu, 2 Januari 2010).
Pernyataan Gubernur tersebut buat memerangi dampak climate change alias perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global. Isu yang belakangan lagi hangat-hangatnya dibicarakan banyak orang ini, memang nggak bisa dianggap enteng. Pasalnya, gara-gara polusi udara dan kerusakan lingkungan akan mengakibatkan pemanasan global.
By the way, yang dimaksud dengan RTRW apa sih? Apakah Rukun Tetangga Rukun Warga? Oh, bukan! Kalo dua organisasi dalam kemasyarakatan tersebut sih sudah on the track, berjalan tanpa masalah. Arti RTRW kali ini adalah Rencana Tata Ruang Wilayah.
Seperti kita ketahui, di tahun 2009 lalu, Provinsi DKI Jakarta menggenjot penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dimana saat ini RTH di DKI Jakarta mencapai 9,3 persen dari luas wilayah Jakarta. Meski masih sedikit, tetapi usaha buat menambah jumlah RTH terus dilakukan.
Penambahan jumlah RTH tentu bukan cuma menutup beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang di tahun 2009 lalu terdapat 27 SPBU ditutup dan dikembalikan fungsinya sebagai RTH. Tetapi membokar bangunan-bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukan. Dengan begitu, Jakarta yang meski penuh dengan gedung-gedung pencakar langit, tetap hijau.
Sebenarnya, ada satu wilayah yang patut dicontoh, yakni Tebet. Wilayah ini memang menjadi wilayah favorit saya di Jakarta. Kenapa? Sebab, tata rumah di Tebet relatif teratur. Memang ada beberapa wilayah yang antara rumah satu dengan rumah yang lain rapat, seperti di wilayah Tebet Barat, di belakang rumah susun Tebet Barat dan Warmo. Saking padat, wilayah itu terlihat kumuh.
Menurut saya, wilayah Tebet tidak seperti wilayah yang masuk program perkampungan di era Ali Sadikin tahun 1966-1977 yang dikenal dengan proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) itu, dimana jalannya cuma bisa dilakui kendaraan motor atau sepeda, dan tentu saja pejalan kaki. Memang sih gagasan Gubernur ke-6 kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 yang akrab disapa Bang Ali itu bagus, yakni menampung banyak penduduk di satu wilayah. Namun belakangan, proyek MHT malah jadi pemukiman kumuh, karena terlalu padat penduduk. Lihat saja di Kayumanis, Jakarta Timur atau Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Beda dengan Tebet. Di wilayah ini, selain rumah-rumah relatif teratur, tidak rapat sebagaimana proyek MHT, juga terdapat jalur hijau. Di jalur hijau ini, warga bisa melakukan berbagai aktivitas, terutama buat anak-anak bermain. Sebelum pindah ke Cempak Putih, anak-anak saya selalu menikmati permainan di jalur hijau, karena biasanya di situ terdapat ayunan, perosotan, atau permainan lain.

Pertigaan di wilayah Tebat. Kalo jalan yang arah sebelah kanan menju ke Warmo dan Casablanca. Sementara yang ke arah kiri ke arah MT Haryono dan Tebet Timur.
Saya perhatikan, jalur hijau itu selalu ada per Rukun Warga (RW). Satu RW, satu jalur hijau. Luar biasa bukan? Sudah punya jalur hijau, Tebet pun masih punya hutan yang lokasinya di Tebet Barat. Nama formalnya Hutan Kota Tebet (HKT).
Saya membayangkan, wilayah-wilayah Jakarta bisa “disulap” seperti di wilayah Tebet –tidak termasuk Kebon Baru dan Lapangan Ros. Rumah-rumah yang sempit, kumuh, dan MTH ditata kembali. Meski di Tebet Utara –jalan mulai dari Dunkin Donnuts sampai Warmo- sudah berubah fungsi menjadi jalur bisnis, namun jalurnya tetap tidak terlihat kumuh. Di tiap RW tetap memiliki jalur hijau sebagai tempat bermain anak-anak. Memang sih kayak mimpi di siang bolong, tetapi bukan tidak mungkin buat dilakukan. Why not?
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Pernyataan Gubernur tersebut buat memerangi dampak climate change alias perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global. Isu yang belakangan lagi hangat-hangatnya dibicarakan banyak orang ini, memang nggak bisa dianggap enteng. Pasalnya, gara-gara polusi udara dan kerusakan lingkungan akan mengakibatkan pemanasan global.
By the way, yang dimaksud dengan RTRW apa sih? Apakah Rukun Tetangga Rukun Warga? Oh, bukan! Kalo dua organisasi dalam kemasyarakatan tersebut sih sudah on the track, berjalan tanpa masalah. Arti RTRW kali ini adalah Rencana Tata Ruang Wilayah.
Seperti kita ketahui, di tahun 2009 lalu, Provinsi DKI Jakarta menggenjot penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dimana saat ini RTH di DKI Jakarta mencapai 9,3 persen dari luas wilayah Jakarta. Meski masih sedikit, tetapi usaha buat menambah jumlah RTH terus dilakukan.
Penambahan jumlah RTH tentu bukan cuma menutup beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang di tahun 2009 lalu terdapat 27 SPBU ditutup dan dikembalikan fungsinya sebagai RTH. Tetapi membokar bangunan-bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukan. Dengan begitu, Jakarta yang meski penuh dengan gedung-gedung pencakar langit, tetap hijau.
Sebenarnya, ada satu wilayah yang patut dicontoh, yakni Tebet. Wilayah ini memang menjadi wilayah favorit saya di Jakarta. Kenapa? Sebab, tata rumah di Tebet relatif teratur. Memang ada beberapa wilayah yang antara rumah satu dengan rumah yang lain rapat, seperti di wilayah Tebet Barat, di belakang rumah susun Tebet Barat dan Warmo. Saking padat, wilayah itu terlihat kumuh.
Menurut saya, wilayah Tebet tidak seperti wilayah yang masuk program perkampungan di era Ali Sadikin tahun 1966-1977 yang dikenal dengan proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) itu, dimana jalannya cuma bisa dilakui kendaraan motor atau sepeda, dan tentu saja pejalan kaki. Memang sih gagasan Gubernur ke-6 kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 yang akrab disapa Bang Ali itu bagus, yakni menampung banyak penduduk di satu wilayah. Namun belakangan, proyek MHT malah jadi pemukiman kumuh, karena terlalu padat penduduk. Lihat saja di Kayumanis, Jakarta Timur atau Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Beda dengan Tebet. Di wilayah ini, selain rumah-rumah relatif teratur, tidak rapat sebagaimana proyek MHT, juga terdapat jalur hijau. Di jalur hijau ini, warga bisa melakukan berbagai aktivitas, terutama buat anak-anak bermain. Sebelum pindah ke Cempak Putih, anak-anak saya selalu menikmati permainan di jalur hijau, karena biasanya di situ terdapat ayunan, perosotan, atau permainan lain.
Pertigaan di wilayah Tebat. Kalo jalan yang arah sebelah kanan menju ke Warmo dan Casablanca. Sementara yang ke arah kiri ke arah MT Haryono dan Tebet Timur.
Saya perhatikan, jalur hijau itu selalu ada per Rukun Warga (RW). Satu RW, satu jalur hijau. Luar biasa bukan? Sudah punya jalur hijau, Tebet pun masih punya hutan yang lokasinya di Tebet Barat. Nama formalnya Hutan Kota Tebet (HKT).
Saya membayangkan, wilayah-wilayah Jakarta bisa “disulap” seperti di wilayah Tebet –tidak termasuk Kebon Baru dan Lapangan Ros. Rumah-rumah yang sempit, kumuh, dan MTH ditata kembali. Meski di Tebet Utara –jalan mulai dari Dunkin Donnuts sampai Warmo- sudah berubah fungsi menjadi jalur bisnis, namun jalurnya tetap tidak terlihat kumuh. Di tiap RW tetap memiliki jalur hijau sebagai tempat bermain anak-anak. Memang sih kayak mimpi di siang bolong, tetapi bukan tidak mungkin buat dilakukan. Why not?
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
MUSIM HUJAN, POHON TUMBANG! HATI-HATI, BRO!
Harian Kompas melaporkan, sedikitnya ada sekitar 50 pohon tumbang dan lebih dari 131 pohon patah di Jakarta (Kompas, Kamis, 23 April 2009). Dari lima kotamadya Jakarta, yang paling parah terjadi di wilayah Jakarta Pusat. Ada sekitar 31 pohon yang tumbang, sedang pohon patah sebanyak 106 batang.
Musim hujan begini, bukan cuma manusia yang bisa tumbang, pohon sebagai mahkluk hidup pun ikut tumbang. Menurut Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Hery Basworo, hujang yang mengguyur Jakarta yang disertai angin yang dahsyat, menyebabkan beberapa pohon tumbang dan patah.
Wilayah Jakarta Pusat yang terparah ada di kawasan Taman Monas, Pejambon, Lapangan Banteng, dan jalan Suprapto. Menurut data Kepala Bidang Pertamanan Dinas Peramanan dan Pemakaman DKI Jakarta Dwi Bintaro, pada tahun 2009 lalu, di depan Hotel Borobudur ada 2 pohon tumbang; lalu di Lapangan Banteng ada 9 pohon tumbang dan 22 pohon patah; di Taman Monas ada 70 pohon patah; 2 pohon patah di Merdeka Barat; dan 11 pohon patah di Merdeka Timur.

Ini salah satu sudut di jalan Manggarai yang saya suka. Masih penuh pohon, jadi terlihat asri. Namun kita memang kudu hati-hati kalo musim hujan, pohon saja bisa tumbang, terutama pohon tua. Sebenarnya serba salah. Kalo pohon tua dipotong, maka keasrian ini bakal hilang. Kalo nggak ditebang, takut ada yang jadi korban.
Di luar Jakarta Pusat, beberapa pohon juga mengalami nasib yang sama, misalnya di Terminal Pasar Minggu, Kalibata, dan Warung Buncit. Untungnya, jumlahnya nggak separah Jakarta Pusat.
So far, belum ada manusia yang tertimpa pohon yang tumbang maupun patah. Moga-moga sih jangan ya. Namun begitu, menurut Walikota Jakarta Selatan Syahrul Effendi, ada sekitar 63 rumah yang rusak akibat diterjang angin yang luar biasa dahsyatnya di wilayah Jakarta Selatan.
Nah, bagi warga Jakarta yang menjadi korban, tertimpa pohon tumbang atau patah, silahkan melapor ke Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta di jalan KS. Tubun, Jakarta Pusat. Kalo warga di luar Jakarta, silahkan lapor juga di Dinas Pertamanan dan Pemakaman di wilayah Anda.
Musim hujan begini, bukan cuma manusia yang bisa tumbang, pohon sebagai mahkluk hidup pun ikut tumbang. Menurut Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Hery Basworo, hujang yang mengguyur Jakarta yang disertai angin yang dahsyat, menyebabkan beberapa pohon tumbang dan patah.
Wilayah Jakarta Pusat yang terparah ada di kawasan Taman Monas, Pejambon, Lapangan Banteng, dan jalan Suprapto. Menurut data Kepala Bidang Pertamanan Dinas Peramanan dan Pemakaman DKI Jakarta Dwi Bintaro, pada tahun 2009 lalu, di depan Hotel Borobudur ada 2 pohon tumbang; lalu di Lapangan Banteng ada 9 pohon tumbang dan 22 pohon patah; di Taman Monas ada 70 pohon patah; 2 pohon patah di Merdeka Barat; dan 11 pohon patah di Merdeka Timur.
Ini salah satu sudut di jalan Manggarai yang saya suka. Masih penuh pohon, jadi terlihat asri. Namun kita memang kudu hati-hati kalo musim hujan, pohon saja bisa tumbang, terutama pohon tua. Sebenarnya serba salah. Kalo pohon tua dipotong, maka keasrian ini bakal hilang. Kalo nggak ditebang, takut ada yang jadi korban.
Di luar Jakarta Pusat, beberapa pohon juga mengalami nasib yang sama, misalnya di Terminal Pasar Minggu, Kalibata, dan Warung Buncit. Untungnya, jumlahnya nggak separah Jakarta Pusat.
So far, belum ada manusia yang tertimpa pohon yang tumbang maupun patah. Moga-moga sih jangan ya. Namun begitu, menurut Walikota Jakarta Selatan Syahrul Effendi, ada sekitar 63 rumah yang rusak akibat diterjang angin yang luar biasa dahsyatnya di wilayah Jakarta Selatan.
Nah, bagi warga Jakarta yang menjadi korban, tertimpa pohon tumbang atau patah, silahkan melapor ke Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta di jalan KS. Tubun, Jakarta Pusat. Kalo warga di luar Jakarta, silahkan lapor juga di Dinas Pertamanan dan Pemakaman di wilayah Anda.
Jumat, 01 Januari 2010
SIRIK NGELIHAT NEGARA LAIN KOK BISA YA?
Perkara sirik, iri, atau dengki memang nggak boleh dimiliki oleh kita. Oleh agama saya dan pasti agama Anda, sifat-sifat negatif tersebut masuk kategori dosa. Namun, entahlah, kalo yang disirikin itu adalah sesuatu yang sebetulnya buat kepentingan bersama, buat kebaikan kita.


Cobalah Anda tengok ke situs berita foto Kompas.com, ada artikel mengenai kampanye naik sepeda ke kantor yang digalakkan oleh pemerintah Jepang. Khusus di artikel yang ditulis oleh Robert Adhi Ksp (Senin, 28/12/09) itu, membahas mengenai kota Fukuoka, Jepang yang menjadikan sepeda sebagai alat transportasi terhormat.
Gara-gara sepeda dihormati, Pemerintah setempat menyediakan trotoar yang lebar, yang dapat dimanfaatkan baik oleh pesepeda maupun pejalan kaki. Pemerintah juga sudah menyediakan sepeda-sepeda sewaan di sejumlah lokasi publik.
Dengan penghormatan terhadap alat transportasi yang ramah lingkungan ini, gaya hidup bersepeda bagi masyarakat Jepang, makin gokil. Selain kesadaran buat sehat, juga mengurangi perubahan iklim semakin tinggi. I wish it could be in Jakarta and whole Indonesia.
Menurut Pengamat Budaya Garin Nugroho yang penulis kutip dari buku Jangan Hanya Bisa Mengeluh Macet: 1001 Wajah Transportasi Kita karya Bambang Susantono (PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), jumlah motor dan mobil pribadi tumbuh seperti deret ukur. Sementara jumlah jalan tumbuh seperti deret hitung.
"Tapi tidak ada politik kebijakan dengan penegakan hukum dan pemikiran ke depan," kata Garin.


Lain lagi yang diungkapkan oleh Pengusaha Muda Sandiaga Uno yang juga penulis kutip dari buku yang sama. Menurutnya secara yakin, produktivitas bangsa akan naik 10-20 persen kalo pemerintah Indonesia sanggup membenahi masalah sektor transportasi. sebab, daya saing tentu akan meningkat.
"Pembangunan sistem transportasi seperti 'killing two birds with one stone'," kata pria berkacamata minus ini. "Solusi tidak terbangunnya infrastruktur serta peningkatan daya saing."
Dengan keseriusan pemerintah, saya dan banyak orang yang ingin menjadikan kota ini bebas macet pasti nggak akan sirik lagi dengan negara lain. Negara lain bisa, masa kita nggak bisa?! Ah, barangkali kalo kita sudah nggak punya hutan lagi dengan negara-negara pengekspor kendaraan bermotor, impian ini bisa terwujud. Tapi kapan ya?
all photos copyright Robert Adhi Ksp (Kompas.com)
Cobalah Anda tengok ke situs berita foto Kompas.com, ada artikel mengenai kampanye naik sepeda ke kantor yang digalakkan oleh pemerintah Jepang. Khusus di artikel yang ditulis oleh Robert Adhi Ksp (Senin, 28/12/09) itu, membahas mengenai kota Fukuoka, Jepang yang menjadikan sepeda sebagai alat transportasi terhormat.
Gara-gara sepeda dihormati, Pemerintah setempat menyediakan trotoar yang lebar, yang dapat dimanfaatkan baik oleh pesepeda maupun pejalan kaki. Pemerintah juga sudah menyediakan sepeda-sepeda sewaan di sejumlah lokasi publik.
Dengan penghormatan terhadap alat transportasi yang ramah lingkungan ini, gaya hidup bersepeda bagi masyarakat Jepang, makin gokil. Selain kesadaran buat sehat, juga mengurangi perubahan iklim semakin tinggi. I wish it could be in Jakarta and whole Indonesia.
Menurut Pengamat Budaya Garin Nugroho yang penulis kutip dari buku Jangan Hanya Bisa Mengeluh Macet: 1001 Wajah Transportasi Kita karya Bambang Susantono (PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), jumlah motor dan mobil pribadi tumbuh seperti deret ukur. Sementara jumlah jalan tumbuh seperti deret hitung.
"Tapi tidak ada politik kebijakan dengan penegakan hukum dan pemikiran ke depan," kata Garin.
Lain lagi yang diungkapkan oleh Pengusaha Muda Sandiaga Uno yang juga penulis kutip dari buku yang sama. Menurutnya secara yakin, produktivitas bangsa akan naik 10-20 persen kalo pemerintah Indonesia sanggup membenahi masalah sektor transportasi. sebab, daya saing tentu akan meningkat.
"Pembangunan sistem transportasi seperti 'killing two birds with one stone'," kata pria berkacamata minus ini. "Solusi tidak terbangunnya infrastruktur serta peningkatan daya saing."
Dengan keseriusan pemerintah, saya dan banyak orang yang ingin menjadikan kota ini bebas macet pasti nggak akan sirik lagi dengan negara lain. Negara lain bisa, masa kita nggak bisa?! Ah, barangkali kalo kita sudah nggak punya hutan lagi dengan negara-negara pengekspor kendaraan bermotor, impian ini bisa terwujud. Tapi kapan ya?
all photos copyright Robert Adhi Ksp (Kompas.com)
Langganan:
Postingan (Atom)